Malam ini adalah malam yang tenang di sebuah perkampungan di pinggir kota. Malam yang gelap dan sepi.
Langit hitam legam, tanpa bulan maupun bintang. Tak ada suara, tak ada angin. Seolah dunia sedang menahan napas.
Di sebuah rumah, terdengar jerit seorang perempuan. Suara yang diikuti tangisan bayi yang baru lahir.
Malam itu, sebuah kehidupan baru hadir ke dunia.
“Perempuan… cantik sekali,” ucap seorang bidan berseragam sederhana, sambil menyerahkan bayi mungil yang masih merah ke sang ibu yang terbaring letih.
Sang ibu tersenyum kecil. Keringat membasahi wajahnya, tapi tangannya gemetar saat menyentuh wajah putri kecilnya.
“Cantik sekali…” bisiknya lirih.
Di sampingnya, sang suami masih menggenggam erat tangan istrinya. Wajahnya basah oleh air mata haru.
“Cantiknya anakku… persis ibunya,” katanya pelan. Ia lalu mendekat, mengambil bayi itu dari pelukan bidan, lalu menggendongnya hati-hati—seolah takut bayi itu akan terluka jika disentuh terlalu kasar.
Dengan bangga, sang ayah keluar dari kamar menuju ruang depan. Beberapa pria dan wanita tua sudah duduk bersila di lantai, mengelilingi kalender Jawa yang terbuka lebar.
Mereka tak menyambut dengan tawa. Hanya diam. Menatap bayi itu sekilas, lalu kembali menunduk menghitung angka, tanggal, dan jam.
Salah satu dari mereka bergumam pelan, “Rabu Legi… jam siji lewat patbelas. Anak ini… bawa sengkala.”
“Ditambah lagi… darah bapaknya keras. Keturunan kasar. Pasti bawa petaka,” sambung yang lain.
Malam itu, walaupun sebuah kehidupan baru lahir, tak ada suka cita.
Yang ada hanya tatapan muram dari para anggota keluarga yang mengatakan bahwa bayi itu adalah pertanda buruk.
Hanya karena waktu lahirnya.
Hanya karena dia tak datang di jam dan hari yang “dianggap tepat”.
Maka sejak detik itu, bayi mungil itu dijauhi. Dicap sebagai pembawa sial oleh keluarganya sendiri.
Bayi mungil itu tak akan tumbuh di pangkuan ibunya. Itu karena keluarga sang ibu tak menerima bayi mungil yang tak bersalah itu hidup di rumah mereka. Ia akan dibawa pergi sejauh-jauhnya, bahkan sebelum ia sempat mengenal harum pelukan sang ibu.
Hanya sehari setelah kelahirannya, ia diantar ke rumah orang tua sang ayah. Seorang nenek tua yang tinggal di rumah kayu bersama suaminya. Rumah yang akan menjadi tempat bayi itu tumbuh.
Anak itu tumbuh dengan sehat tanpa kekurangan makan dan minum. Sang nenek selalu memastikan anak itu makan dengan nasi hangat, bajunya juga bersih, juga selimut kecil selalu menutup tubuhnya setiap malam. Tapi semua itu tak menutup sebuah fakta bahwa anak itu tumbuh tanpa teman. Sang nenek dan kakek tak pernah membiarkan nya keluar dari rumah, bahkan jika hanya untuk bermain dengan anak tetangga.
Jika dia berani keluar, maka anak itu akan dipukul oleh sang nenek memakai tongkat kayu. Begitu pula jika dia tak patuh, maka anak kecil itu akan dipukul habis-habisan. Anak itu hanya bisa melihat anak-anak lain bermain dari jendela.
"Alisha! Jangan di jendela terus! Waktunya makan siang, habistu tidur" panggil sang nenek sambil menyiapkan makanan.
Nama anak itu Alisha Zhakia, tentu saja nama itu tak berasal dari ayah maupun ibu anak itu, melainkan dari teman sang ibu yang merasa kasihan pada bayi mungil yang sudah diasingkan bahkan sebelum dia sempat di beri nama oleh orang tuanya.
"iya nek, Alisha ke sana" sahut Alisha yang beranjak dari tempatnya kemudian pergi ke dapur. Saat makan siang, Alisha tak sengaja menjatuhkan gelas kelantai dan membuat sang nenek marah.
"kamu itu bisa tenang gak sih! Coba jadi perempuan itu yang tenang! Tahu aturan!" maki sang nenek sambil memukul tangan Alisha dengan rotan kemudian beranjak mengambil gelas yang jatuh dan mengepel air yang tergenang.
"maaf nek" sahut Alisha dengan nada takut.
"gak usah nyahut! kamu itu gak usah tumbuh jadi beban kayak ibumu itu" maki sang nenek yang membuat Alisha kecil hanya menunduk diam dan melanjutkan makannya.
Ia tak tahu apa salah ibunya. Ia bahkan tak pernah melihat wajah ibunya sekalipun, atau bahkan tau nama sang ibu. Yang ia tahu hanya ia harus patuh kepada sang nenek dan kakeknya, dan tak bertanya apapun karena itu hanya akan membuat mereka marah.
Segera setelah Alisha kecil menghabiskan makanan nya dan mencuci piring nya, dia kembali ke kamar nya untuk tidur siang. Namun, suara piring pecah kembali terdengar dari dapur, disusul dengan teriakan maki dari sang nenek dan bentak dari sang kakek. Ya, mereka berkelahi lagi. Itu sudah menjadi rutinitas Alisha kecil untuk bersembunyi di kamarnya dan mendengar kakek dan neneknya berkelahi. Ia bahkan hafal dengan nadanya, juga kalimat makian yang akan selalu diucapkan oleh mereka. Suara teriakan dan amarah yang meledak setiap hari, bak jam weker yang rusak dan tak pernah dimatikan.
Semua itu awalnya menakutkan bagi Alisha kecil, tapi makin lama dia sudah terbiasa. Tapi hal yang paling menakutkan baginya adalah ketika mereka selesai bertengkar dan semuanya kembali hening. Karena pada saat itu juga, sang nenek akan menghampiri nya dan mengatakan kalimat-kalimat yang sangat menyakitkan bagi Alisha kecil.
"kamu juga salah, pembawa sial! Kalau kau gak lahir, pasti semuanya gak bakal makin berantakan!" bentak sang nenek pada Alisha.
Malam harinya, Alisha sedang berbaring di kamarnya sambil menatap ke arah langit-langit. Ia tak menangis bahkan usai di bentak seperti itu oleh neneknya. Itu karena dia sudah terbiasa, dianggap sebagai anak pembawa sial dimana-mana, bahkan oleh keluarga nya sendiri. Terkadang dia bertanya-tanya, apakah dia punya ibu dan ayah yang menyayangi nya. Tapi dia selalu memendam semua pertanyaan itu dalam kepalanya, karena dia berpikir kalau semua itu hanya akan berakhir sia-sia.
Itulah yang dipikirkan oleh Alisha kecil, anak kecil yang baru berusia tiga tahun. Dimana anak sepantaran nya seharusnya menjalani hidup dengan bahagia dan penuh kasih sayang. Berbeda dengan kehidupan Alisha kecil yang penuh dengan makian dan pukulan.