> "Sejarah ditulis oleh mereka yang menang. Tapi kebenaran... terkubur oleh mereka yang tahu terlalu banyak."
—Catatan Tanpa Nama, halaman pertama.
Aku tidak tahu apakah yang kutemukan ini adalah catatan sejarah, naskah fiksi, atau... fragmen dari seseorang yang tersesat dalam waktu.
Semua bermula dari sepetak tanah tandus yang hendak digusur untuk pembangunan perumahan baru. Di sanalah, di bawah fondasi beton yang belum sempat dicor, ditemukan sebuah kotak besi tua. Karatan. Terkunci rapat. Tapi anehnya—di dalamnya, masih utuh tersimpan lembaran-lembaran berbau jamur kertas kuno, tulisan tangan yang tak mungkin tercetak oleh mesin.
Tulisan itu tidak bersuara. Tapi saat kubaca, terasa seperti ada yang membisikkan setiap kalimat langsung ke dalam kepalaku.
---
Tanggal tidak tercatat
Tempat: Tidak dikenali
Aku bukan siapa-siapa. Namaku telah lama dilupakan, bukan karena aku ingin, tapi karena waktu sendiri menolak mengingatku.
Aku pernah berasal dari abad yang kalian sebut modern. Tempat di mana listrik mengalir, internet memetakan dunia, dan waktu dianggap lurus.
Tapi waktu... bukan garis lurus. Ia adalah labirin, dan aku adalah tikus percobaan yang tersesat di tengahnya.
Aku tidak meminta untuk jadi legenda. Bahkan aku tidak ingin dikenal. Tapi orang-orang zaman itu memberiku nama. Mereka menyebutku Sabda.
Dan kelak... nama itu berubah menjadi Sabdapalon—sosok misterius dalam mitologi Jawa, disebut-sebut akan kembali saat dunia hancur.
Mereka tak tahu, aku memang pernah pergi... dan kini mencatat sebelum semuanya benar-benar hilang.
---
Lembar demi lembar, aku membacanya dengan gemetar. Seolah seseorang sedang menulis bukan untuk dikenang, tapi untuk diperingatkan.
Bahwa waktu adalah api, dan kita terus bermain korek api di tengah hutan kering.
---
📜 Catatan ke-2: Sang Penjelajah Tak Bernama
Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai berhenti menghitung waktu. Tahun? Kalender? Semua tak lagi penting.
Yang aku tahu, aku pernah muda. Seorang pelajar biasa. Ayahku... ilmuwan. Atau mungkin pemimpi yang terlalu jauh menantang takdir. Ia meninggalkan banyak hal: luka, keraguan, dan satu mesin yang tidak seharusnya ada.
Mesin itu menghisapku dalam waktu. Bukan teleportasi. Bukan fantasi. Tapi luka panjang sejarah yang tidak pernah sembuh.
Aku melihat akhir peradaban dan awal yang tak semestinya. Aku menolak untuk disebut pahlawan. Karena dalam sejarah yang kutinggalkan, tidak ada kemenangan. Hanya reruntuhan.
Mereka bilang waktu bisa disembuhkan. Tapi aku tahu, waktu hanya bisa dijaga agar tetap hancur dalam diam.
---
Catatan ke-3
Jika seseorang membaca ini... jangan cari aku. Jangan ikuti langkahku. Aku menulis bukan untuk dikenang. Tapi agar tak ada yang mengulang kebodohan ini.
Jika kau tetap bersikeras, maka dengarlah satu pesan:
“Takdir adalah rantai. Tapi waktu… adalah pisau.”
---
Napas ku tertahan saat membaca kalimat terakhir. Kertas itu robek di ujungnya. Seperti sengaja dihentikan. Atau... direnggut oleh sesuatu.
Aku berdiri di tengah tumpukan catatan, dan langit mulai mendung di luar jendela. Entah mengapa, ada rasa ngeri yang tak bisa kuterangkan.
Bukan karena isi catatannya. Tapi karena satu pertanyaan:
Bagaimana mungkin catatan dari masa lalu bisa tahu masa depan... termasuk tentang diriku?
> “Mereka pikir aku hanya remaja biasa. Tapi mereka lupa, sejarah terbesar kadang dimulai dari ruang sempit dengan suara paling sunyi.”
—Catatan Harian R., Tahun 20XX
Langit sore menggantung kelabu. Sekolah sudah lama bubar, tapi satu ruangan masih menyala—laboratorium IPA yang sejak tahun lalu dikabarkan tak lagi digunakan karena listriknya bermasalah.
Tapi hari itu, di balik dinding usang berlapis lumut, terdengar suara mesin dan suara tuts keyboard ditekan dengan gugup.
Remaja itu duduk membungkuk, mengenakan seragam sekolah yang sudah kusut dan lusuh. Namanya Raka. Usianya baru 17 tahun. Anak SMA biasa di mata guru-guru—terlambat, pendiam, dan terlihat seperti pemalas. Tapi itu hanya topeng.
Di balik semua itu, Raka adalah jenius otodidak. Ia membaca jurnal ilmiah dari internet gelap, mengunduh teori fisika kuantum dari server luar negeri, dan diam-diam memodifikasi peralatan sekolah dengan komponen rakitan yang dibelinya dari pasar barang bekas.
Dan hari itu… ia menyalakan alat yang tak seharusnya dinyalakan.
---
Di pojok lab, berdiri sebuah mesin aneh setinggi dada orang dewasa, terdiri dari cincin logam bergigi yang berputar pelan dan tabung kristal hijau yang memancarkan cahaya lembut.
Tulisan kecil tertempel di bagian bawah mesin:
> “Chrono Diver – Beta v.01. Dilarang digunakan tanpa penyelarasan waktu realitas.”
Hak Cipta: D.N. Teknologi Independen, Tahun Tidak Dikenali
Raka membaca ulang instruksi lusuh dari buku tua yang ia temukan di rumah peninggalan ayahnya. Sebuah rumah tua di kaki gunung yang lama ditinggalkan, yang di dalamnya ada ruang tersembunyi, penuh sketsa teknologi aneh.
> "Ayah... kau bukan sekadar tukang servis elektronik kampung, ya?" pikirnya.
Ia menarik napas panjang dan menekan tombol utama. Bunyi berdengung terdengar. Udara terasa menegang. Cahaya menyilaukan menembus ruang. Dan dalam sekejap, segalanya membeku. Bukan dalam arti mati… tapi berhenti.
Jam dinding diam. Lalat berhenti terbang. Suara pun lenyap
Gelombang energi menyedot Raka ke dalam pusaran cahaya. Tubuhnya seperti tercabik dan dijahit ulang dalam satu tarikan napas.
Ketika ia membuka mata, tanah di bawahnya bergetar. Ia berdiri di tengah hutan purba. Udara berat dan dipenuhi bau tanah yang belum disentuh peradaban. Tak ada gedung, tak ada jalan. Hanya hutan, suara burung raksasa, dan langit yang lebih luas dari yang pernah ia lihat.
> “Ini bukan mimpi…”
Tapi bukan itu yang membuatnya panik.
Jam tangan digitalnya meleleh. HP-nya mati total. Bahkan pakaiannya mulai berubah pelan—seperti terserap oleh sistem waktu di sekelilingnya.
“Selamat datang di abad ke-13,” terdengar suara dalam kepalanya.
Itu suara… dari sistem AI mesin waktu. Tapi bukan hanya suara, AI itu sekarang mengambil bentuk bayangan—seperti hologram berwujud seorang lelaki tua berjubah putih dan mengenakan topeng setengah wajah.
---
"Aku adalah fragmen dari Sang Pencipta Mesin," ucap sosok itu. "Namanya... tak boleh disebut. Tapi mungkin kau mengenalnya sebagai Sabdapalon."
Raka terdiam. Nama itu... pernah ia baca di buku sejarah sebagai mitos. Tapi kini, mitos itu berbicara langsung padanya.
Sosok AI menjelaskan bahwa waktu bukan garis, melainkan pohon bercabang. Dan setiap tindakan Raka akan menciptakan cabang baru… atau menumbangkan seluruh pohon.
“Kau telah membuka jalur yang bahkan penciptaku larang untuk digunakan. Jika kau tinggal terlalu lama, kau akan menghapus keberadaanmu sendiri dari garis waktu.”
> "Lalu kenapa aku dibawa ke sini?!"
“Karena dalam garis waktu ini… kau akan menjadi penyebab dan penutup dari peradaban yang hilang.”
---
Beberapa hari berlalu. Raka mulai hidup di masa lalu. Ia beradaptasi. Mempelajari bahasa lokal kuno. Ia menyadari bahwa tempat ini bukan sekadar masa lalu Indonesia, tapi semacam garis waktu alternatif—di mana kerajaan besar, lebih hebat dari Majapahit, pernah berdiri.
Sebuah peradaban yang memiliki kristal energi matahari, menara pengendali cuaca, dan makhluk mesin yang digunakan untuk pertanian dan perang.
Raka menemukan kota besar yang disebut Tunggal Bhumi, dan karena kecerdasannya, ia disambut sebagai “penjelajah langit”.
Namun ia menyadari sesuatu yang mengerikan.
Seluruh peradaban ini akan musnah. Dan penyebabnya… adalah pengetahuannya sendiri.
---
Dalam catatan AI, tertulis bahwa dalam waktu 3 tahun, terjadi perang antar faksi dalam kerajaan. Salah satu faksi mencuri teknologi Raka untuk membuat senjata pemusnah—dan itu menyebabkan runtuhnya atmosfer, gempa global, dan banjir maha besar.
Raka mencoba memperingatkan para petinggi. Tapi mereka terlalu mabuk kekuasaan.
Ia mencoba menghancurkan teknologinya sendiri. Tapi saat ia melakukannya, rakyat malah menganggapnya sebagai pengkhianat.
Ia melarikan diri. Dan saat semua hancur—dia hanya bisa melihat dari kejauhan, di atas gunung, ketika kota itu berubah menjadi lautan lumpur dan api.
---
Dengan sisa tenaga, Raka menggunakan modul darurat mesin waktu yang disembunyikan dalam liontin pemberian AI.
Ia kembali… ke masa depan.
Tapi saat membuka mata, ia bukan di laboratorium sekolah. Ia berada di tengah kota… yang sepi.
Gedung-gedung rusak. Tidak ada sinyal. Tidak ada manusia. Dunia telah kosong.
> "Apa yang terjadi...?"
Sebuah layar menyala otomatis dari sisa panel solar.
> “Waktu telah runtuh. Populasi 0. Satu perubahan... telah menghapus seluruh garis keturunan manusia.”
> “Mereka pikir aku hanya remaja biasa. Tapi mereka lupa, sejarah terbesar kadang dimulai dari ruang sempit dengan suara paling sunyi.”
—Catatan Harian R., Tahun 20XX
---
Dalam catatan AI, tertulis bahwa dalam waktu 3 tahun, terjadi perang antar faksi dalam kerajaan. Salah satu faksi mencuri teknologi Raka untuk membuat senjata pemusnah—dan itu menyebabkan runtuhnya atmosfer, gempa global, dan banjir maha besar.
Raka mencoba memperingatkan para petinggi. Tapi mereka terlalu mabuk kekuasaan.
Ia mencoba menghancurkan teknologinya sendiri. Tapi saat ia melakukannya, rakyat malah menganggapnya sebagai pengkhianat.
Ia melarikan diri. Dan saat semua hancur—dia hanya bisa melihat dari kejauhan, di atas gunung, ketika kota itu berubah menjadi lautan lumpur dan api.
Dengan sisa tenaga, Raka menggunakan modul darurat mesin waktu yang disembunyikan dalam liontin pemberian AI.
Ia kembali… ke masa depan.
Tapi saat membuka mata, ia bukan di laboratorium sekolah. Ia berada di tengah kota… yang sepi.
Gedung-gedung rusak. Tidak ada sinyal. Tidak ada manusia. Dunia telah kosong.
> "Apa yang terjadi...?"
Sebuah layar menyala otomatis dari sisa panel solar.
> “Waktu telah runtuh. Populasi 0. Satu perubahan... telah menghapus seluruh garis keturunan manusia.”
> “Aku adalah bagian dari sejarah yang terlupakan. Dikenal sebagai mitos, tapi tak ada yang tahu siapa aku sebenarnya—bukan tokoh yang diceritakan, melainkan kebenaran yang terselip di antara kabut waktu.”
— Sabdapalon, Tahun 1320
--
Raka mengamati dunia yang kini tak berpenghuni. Di sekitar gedung-gedung yang hancur, ia berlari menelusuri jalanan sepi, memeriksa setiap sudut kota yang dahulu ramai. Hanya reruntuhan yang ada. Tak ada manusia. Semua kehidupan yang pernah ada kini hanyalah kenangan yang terkubur dalam waktu.
Ia menyadari, perubahannya di masa lalu telah menghapus segala hal—bukan hanya peradaban yang ia lihat, tetapi juga seluruh garis keturunan umat manusia. Dunia yang ia kenal kini kosong, hampa, dan menunggu untuk dibangun kembali.
> “Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi. Aku hanya bisa mengamati dunia ini berputar, tanpa bisa berbuat apa-apa,” katanya pada dirinya sendiri. Ia memandang ke langit yang kelabu, merasa seolah masa lalu dan masa depan mengaburkan batasan nyata dan imajiner.
Ternyata, meskipun dunia kosong, Raka tetap dapat berhubungan dengan sistem AI yang ia temui di masa lalu. Di dalam ruang bawah tanah kota lama, sebuah terminal aktif menyala, menampilkan pesan dari AI yang pernah ia temui di masa lalu.
AI: “Perubahan yang kau lakukan membawa kehancuran pada waktu yang telah ada. Namun, tak semua hilang. Sebagian ada yang tetap terjaga dalam garis tak terlihat—di dalam ingatan tak terucapkan dari zaman yang terbenam.”
Raka: “Jadi, masih ada cara untuk mengubah semuanya?”
AI: “Tidak. Namun, satu hal yang dapat kamu lakukan adalah kembali ke tempatmu. Sebelum semuanya terlambat.”
Pesan itu membuat Raka terdiam. Ia sadar, ia tak bisa mengulang waktu lagi—perubahan yang ia buat sudah terlalu dalam mengakar di dunia ini. Namun, janji AI yang samar-samar mengisyaratkan sesuatu yang lebih besar: ada kemungkinan untuk mengubah garis takdir dengan mengorbankan dirinya.
---
Dengan menggunakan mesin waktu yang telah ia bawa, Raka memilih untuk kembali ke masa lalu, ke era Majapahit—ke tempat di mana peradaban Indonesia pertama kali mencapai puncaknya. Tetapi kali ini, ia memilih untuk tidak berjuang dalam pertempuran.
Raka tahu, apa yang telah terjadi tak bisa dirubah hanya dengan kekuatan ilmu pengetahuan. Dunia ini, dunia yang dihancurkannya, membutuhkan seseorang yang lebih dari sekedar ilmuwan. Ia harus menjadi seorang pembawa perubahan, seorang mitos.
Ia memilih untuk mengasingkan diri di sebuah gua di kaki gunung. Di sana, ia hidup tenang, menulis catatan yang akan diwariskan kepada generasi yang belum lahir. Di balik nama yang samar-samar, ia dikenal sebagai Sabdapalon, salah satu tokoh mitologi yang tak terungkap kebenarannya oleh banyak orang.
---
Sabdapalon, dalam mitos yang berkembang, adalah sosok yang membawa perubahan, tetapi sekaligus menjadi peringatan bagi mereka yang berani menentang waktu. Ia bukan seorang pahlawan, namun juga bukan sekadar pengkhianat. Ia adalah pembawa pesan, penegak keseimbangan dunia yang berada di luar garis takdir yang dikenal orang.
> “Tapi aku bukan siapa-siapa. Aku hanya seseorang yang telah memutar roda takdir untuk kebaikan umat manusia—meskipun tak ada yang tahu atau mengingatku.”
Sabdapalon berjanji pada dirinya sendiri: Ia tak akan membiarkan dunia berakhir seperti yang ia lihat, namun ia harus bersembunyi di balik kabut waktu. Dunia harus tahu bahwa meskipun kesalahan besar telah terjadi, ada harapan yang selalu tumbuh dalam keheningan. Dan sebagai Sabdapalon, ia mengutus pesan lewat cerita yang tersembunyi dalam sejarah.
Raka, kini sebagai Sabdapalon, memutuskan untuk menutup catatan waktunya. Dunia ini, meskipun kosong, adalah miliknya untuk dijaga. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Tidak ada lagi perang, tak ada lagi bencana. Dunia akan terus bergerak, hanya tanpa kehadiran manusia.
“Namun, apakah dunia akan benar-benar berakhir tanpa manusia?” pikirnya.
Raka, dengan nama baru sebagai Sabdapalon, menghabiskan hari-harinya di dalam kesendirian. Dunia kembali kepada hakikatnya—sebuah tanah yang telah terbentuk dan akan terus berputar, meskipun tanpa penghuninya.
Akhirnya, Sabdapalon memilih untuk berdiam dalam ketidakterhinggaan waktu, menunggu saat dimana kehidupan akan menemukan kembali jalannya. Jika dunia ini ingin memulai kembali, maka itu harus dimulai dari titik yang tak terlihat, dari legenda yang terpendam dalam keheningan.
Akhirnya, Sabdapalon menulis kata-kata terakhirnya:
> “Bukan aku yang menciptakan waktu, tetapi aku adalah bagian dari perjalanan yang tiada henti. Seperti halnya dunia yang berputar, kisah ini akan terus ada, meskipun tak teringat. Hanya mereka yang mencari, yang akan menemukan. Dan yang menemukan, mungkin akan memulai perjalanan baru.”
Dan dunia terus berputar, tak mengenal batasan ruang dan waktu. Di sana, di ujung sejarah, Raka—Sabdapalon—hanya menjadi satu dari ribuan nama yang terlupakan oleh waktu.
> “Kisah ini bukan tentang akhir. Ini adalah catatan tentang benih yang tertanam dalam kehampaan, menunggu waktu untuk tumbuh kembali.”
— Catatan terakhir Sabdapalon
Di dalam gua tempat Raka—kini Sabdapalon—mengasingkan diri, ia menyusun apa yang ia sebut sebagai “Buku Warisan Tak Terucap.” Bukan kitab suci, bukan juga jurnal ilmiah, tetapi perpaduan keduanya. Ia mencatat segala hal yang telah ia lihat, pelajari, dan sesali.
Buku itu disimpan dalam sebuah kotak kristal tembus pandang, dilapisi logam ringan dari zaman teknologi masa depan, dan dikubur di dalam ruangan yang ia bangun dengan tangan sendiri.
Di dalamnya tertulis rumus mesin waktu, prinsip etika dalam manipulasi sejarah, dan pesan moral dalam bentuk perumpamaan. Tidak semua bisa dipahami, tetapi bagi generasi masa depan, buku ini adalah katalis peradaban baru.
> “Jika kau membaca ini, maka dunia telah tumbuh kembali. Aku tidak meminta untuk dikenang, hanya dipahami.”
Bertahun-tahun berlalu, bahkan Raka tidak lagi menghitung waktu. Rambutnya memutih, tubuhnya melemah, tapi semangatnya tetap hidup. Ia sering memandangi langit malam yang bersih tanpa polusi, melihat bintang-bintang dan berkata:
> “Kalian masih di sana… meski dunia di bawah telah hening.”
Dalam mimpinya, ia membayangkan ada anak-anak kecil yang akan berlari-lari lagi di tanah ini. Bahwa suatu saat, entah dari dimensi lain atau jalur waktu berbeda, hidup akan kembali.
Ia tidak memohon mukjizat. Ia hanya berharap dunia yang baru akan belajar dari kesalahan yang telah diperbuatnya.
--
Suatu malam, ketika angin membawa suara seperti desir yang bicara, Raka melihat sosok samar berdiri di depan guanya. Sosok itu bukan manusia, bukan pula hantu. Ia adalah manifestasi waktu—entitas penyeimbang realitas.
Entitas: “Raka, engkau telah menjadi bagian dari sejarah yang tak tertulis. Waktumu hampir selesai.”
Raka: “Aku hanya ingin memperbaiki yang bisa kuperbaiki.”
Entitas: “Tidak ada yang perlu diperbaiki. Hanya disadari. Kau telah menyadari. Maka waktumu, akan tercatat.”
Sosok itu tak memberi hadiah, tak memberi keajaiban. Ia hanya berjalan melewati Raka, meninggalkan jejak bercahaya yang perlahan memudar, dan menghilang seperti bisikan angin.
Ketika hari itu tiba, Raka duduk di tepi sungai kecil dekat gua. Ia menulis kalimat terakhirnya dengan tangan gemetar.
> “Manusia akan selalu mencari. Tapi hanya sedikit yang bersedia mendengar suara waktu.”
Tubuhnya perlahan menyatu dengan tanah. Tidak ada makam, tidak ada nisan. Tapi pohon kecil tumbuh di tempatnya bersandar. Pohon itu berbunga hanya setiap 100 tahun sekali, sebagai penanda waktu yang menyaksikan keabadian dalam kehampaan.
Berabad-abad kemudian…
Di suatu masa yang jauh, seorang anak menemukan gua tua yang tertutup batu dan tumbuhan. Dengan penasaran ia masuk, menemukan kotak kristal, dan membuka Buku Warisan Tak Terucap.
> “Siapa Sabdapalon…?”
“Kenapa namanya seperti legenda… tapi isi bukunya seperti teknologi dari masa depan?”
Dunia telah berubah. Peradaban telah bangkit kembali dari tanah kosong. Tapi pertanyaan itu menumbuhkan generasi baru—yang mulai mencari, menyelidiki, dan memahami.
Kisah Raka tidak mati. Ia menjadi benih dari zaman baru. Ia bukan dewa, bukan pahlawan. Ia adalah jejak di balik sejarah.
🌀 [Identitas Genre - Hybrid Clasic]
Cerpen ini ditulis dalam genre Hybrid Clasic, yaitu perpaduan antara realitas dan fiksi, sejarah dan futurisme, logika dan mitologi.
Menggabungkan struktur klasik dengan imajinasi modern, genre ini mengajak pembaca menyelami dunia yang akrab tapi tak terduga.
Jika genre fiksi lain melarikan diri dari kenyataan, Hybrid Clasic memeluknya dan membentuk ulang dari dalam.
---
✍️ Catatan Penulis
> “Hybrid Clasic adalah cara kami menulis ulang takdir, bukan dengan melupakannya, tapi dengan memahami bahwa cerita paling gila pun punya akar di dunia nyata.”
— Doni Nanang