Anggrek ungu itu mekar sempurna di sudut taman, warnanya begitu pekat, seolah menyimpan rahasia ribuan tahun dalam setiap kelopaknya yang lembut. Diandra merasakan tarikan aneh setiap kali matanya tertumbuk pada bunga itu. Bukan sekadar bunga hias, melainkan bagian dari jiwanya yang lama hilang, yang kini terasa ingin kembali menemukan jalannya.
Diandra adalah seorang penata taman yang berbakat, mengabdikan setiap serat kehidupannya untuk keindahan flora. Tangannya cekatan merawat setiap pucuk, matanya jeli melihat potensi keindahan di antara dedaunan. Namun, di balik ketenangan profesinya, ada kekosongan yang selalu menghantuinya—sebuah melodi yang belum usai, sebuah wajah yang samar-samar muncul dalam mimpinya, seringkali diiringi aroma tanah basah dan asap dupa. Ia sering terbangun dengan perasaan rindu yang mendalam, meski tak tahu siapa atau apa yang ia rindukan.
Suatu sore yang lembap, saat ia sedang menata ulang koleksi anggrek di sebuah rumah mewah bergaya kolonial, ia bertemu dengannya. Namanya Aksa, seorang seniman patung kontemporer yang karyanya banyak diminati. Ia sedang mengamati sketsa patung barunya di teras. Mata Aksa begitu teduh, menenangkan, dan senyumnya... senyum itu membawa Diandra pada sebuah de javu yang kuat. Saat Aksa berbicara, suaranya terasa begitu akrab, seolah pernah menenangkan hatinya di masa yang sangat jauh. Sentuhan jarinya yang tak sengaja menyentuh punggung tangan Diandra saat mereka mengambil pot yang sama, bahkan aroma tubuhnya yang samar seperti kayu cendana, semua terasa familier, seperti rumah yang telah lama ia rindukan dalam mimpi.
"Anggrek ini... indah sekali," ucap Aksa, menunjuk anggrek ungu yang sama yang selalu memikat perhatian Diandra. "Warnanya mengingatkanku pada sesuatu yang sangat lama, sesuatu yang hangat dan penting."
Diandra terkesiap. Ia tak menyangka Aksa merasakan hal yang serupa. "Aku juga merasakan hal yang sama. Seolah ada cerita yang ingin diungkapkan oleh warna ungu itu."
Sejak pertemuan itu, mereka menjadi tak terpisahkan. Setiap detik yang mereka habiskan bersama terasa seperti potongan puzzle yang perlahan menyatu, membentuk gambaran yang utuh dan indah. Mereka berbagi cerita masa kecil, tawa renyah tentang lelucon konyol, dan keheningan yang nyaman, di mana kata-kata tak lagi diperlukan. Aksa sering mengundang Diandra ke studionya, membiarkannya mengamati saat ia mengukir batu, dan Diandra akan menceritakan tentang keajaiban pertumbuhan tanaman. Ada ikatan yang kuat, yang melampaui logika dan waktu.
Namun, ada satu mimpi yang sering datang pada mereka berdua, secara terpisah namun dengan detail yang mencengangkan. Diandra sering terbangun dari mimpi tentang sebuah kuil kuno yang diselimuti kabut pagi, di bawah rembulan purnama yang agung. Ada ribuan anggrek ungu mekar di sekelilingnya, dan ia, dalam mimpi itu, mengenakan kain tradisional. Di sampingnya, seorang pria gagah, dengan tatapan penuh janji. Mimpi itu selalu berakhir dengan suara gemuruh perang dan perpisahan yang menyakitkan. Aksa pun sering bercerita tentang mimpi serupa, tentang seorang wanita anggun di tengah anggrek ungu, sebuah janji yang terucap, dan kehancuran yang menyayat hati. Mereka berdua belum berani menghubungkan titik-titik mimpi itu.
Suatu hari, saat mereka menjelajahi pasar antik yang ramai, Diandra menemukan sebuah bros perak berbentuk anggrek ungu yang persis sama dengan bunga di mimpinya. Bros itu tampak tua, dengan ukiran yang halus dan detail. Diandra merasakan getaran aneh saat mengambilnya. Tiba-tiba, Aksa yang berdiri di sampingnya, meraih bros itu dari tangannya. Ketika Aksa menyentuh bros itu, kilasan memori menyerbu benaknya, lebih jelas dan nyata dari sebelumnya.
Wajah Aksa memucat, matanya membesar. "Kita pernah di sini," bisik Aksa, suaranya tercekat, matanya berkaca-kaca dipenuhi kilasan masa lalu. Ia melihat dirinya sebagai seorang prajurit dengan baju zirah, dan Diandra sebagai seorang wanita lembut dengan selendang anggrek ungu. "Diandra... kau adalah Anjani-ku. Dan aku, aku adalah Arjuna-mu."
Memori itu menyerbu Diandra seperti air bah yang tak terbendung. Ia melihat dirinya, seorang gadis kuil yang tenang bernama Anjani, yang menjaga taman anggrek suci. Dan di sampingnya, Arjuna, seorang prajurit gagah berani dari kerajaan seberang, yang sering datang diam-diam untuk melihatnya. Cinta mereka bersemi di masa lalu yang jauh, di sebuah negeri yang kini hanya tinggal reruntuhan. Janji suci mereka diucapkan di bawah naungan ribuan anggrek ungu yang sakral, di kuil yang sama yang muncul dalam mimpi mereka. Mereka bersumpah untuk selalu bersama, di kehidupan mana pun. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Perang besar pecah, memisahkan mereka selamanya. Arjuna gugur dalam pertempuran yang kejam, dan Anjani, tak sanggup menahan duka, meninggal tak lama setelahnya karena kesedihan yang mendalam, dengan janji terakhir untuk menemukan Arjuna di kehidupan selanjutnya.
Air mata Diandra tumpah, membasahi pipinya. "Arjuna..." panggilnya, nama itu terasa begitu alami di lidahnya, seolah ia telah memanggilnya selama ribuan tahun.
Aksa menariknya ke dalam pelukan erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi, seolah takut waktu akan kembali memisahkan mereka. "Kita sudah menemukan satu sama lain, Anjani. Kali ini, tidak ada yang bisa memisahkan kita. Tak ada perang, tak ada janji yang terputus."
Diandra dan Aksa tahu bahwa takdir telah membawa mereka kembali bersama. Anggrek ungu itu bukan hanya sekadar bunga, melainkan benang merah takdir yang mengikat dua jiwa melalui reinkarnasi. Mereka telah menemukan akhir dari melodi yang belum usai, mengisi kekosongan yang selama ini mereka rasakan. Kini, mereka akan menulis babak baru dari kisah cinta abadi mereka, yang bersemi kembali, lebih kuat, lebih indah, dan semekar anggrek ungu yang menjadi saksi bisu janji mereka di masa lalu. Setiap kelopak anggrek itu kini bukan lagi hanya memori, melainkan janji untuk masa depan yang tak lekang oleh waktu.