PRIA JUBAH HITAM TENGAH MALAM
BAB I — Jendela yang Tak Pernah Tertutup
Namaku Halmahera. Nama yang katanya diambil dari sebuah pulau di negeri jauh, tempat ayah pernah jatuh cinta pada senja dan mati dalam kabut. Tapi tak ada hal puitis dalam hidupku. Aku hanya gadis biasa. Terlalu biasa. Terlalu rapuh. Terlalu mudah untuk dilupakan… atau dihancurkan.
Setiap pagi aku mengepang rambutku dua. Bukan karena aku suka, tapi karena ibu berkata itu membuatku tampak “tidak menakutkan.” Kadang aku pikir, dirikulah hantu dalam cerita rakyat yang sering ibu ceritakan: sunyi, dikurung takdir, tak diinginkan dunia.
Kami tinggal di pinggiran kota Budapest, tepat di garis antara kehidupan dan kehancuran. Ayah meninggal tiga tahun lalu—kata polisi, karena kecelakaan mobil. Kata ibu, karena dikejar sesuatu yang tak terlihat. Sejak itu, hanya ibu yang menopang rumah kami, menjual kue di sudut jalan, dengan tubuh yang semakin menua dan mata yang semakin gelap.
Berbekal beasiswa, aku diterima di Hungarian International School. Tapi sekolah itu bukan tempat untuk anak-anak seperti aku. Tempat itu dingin, penuh cermin dan bayangan. Anak-anaknya seperti arwah terperangkap dalam tubuh manusia: indah tapi kejam.
Aku dipanggil “tikus got” oleh Zico, Erik, dan Ethan. Mereka menyiramku dengan susu, menyembunyikan buku-bukuku, mencoret lokerku dengan gambar bangkai.
Maleya dan Geo satu-satunya yang memberi warna. Maleya, dengan rambut merah menyala dan senyum licik yang mempesona. Geo, pendiam, kutu buku, berkacamata tebal — versi pria dari diriku yang lebih halus. Tapi kadang, aku meragukan segalanya. Bahkan kebaikan mereka.
Malam-malamku berubah saat mimpi-mimpi itu datang. Mimpi yang terasa lebih nyata dari kenyataan. Di sana, aku berdiri dalam lembah pekat kabut, dan sosok berjubah hitam berdiri di ujung tanah retak. Ia menatapku. Bukan dengan mata, tapi dengan kegelapan. Matanya seperti cermin—memantulkan bagian tergelap dari dalam diriku yang tak pernah berani kutatap.
Dan setiap kali aku terbangun, ada suara langkah. Di luar jendela. Daun pintu bergetar. Udara menjadi lebih dingin. Bayangan… bergerak.
Aku mencoba berkata pada ibu. Tapi ia hanya menatapku lelah, lalu memelukku lebih erat dari biasanya. “Kadang, Halmahera, yang mengikuti kita… bukanlah hantu. Tapi sesuatu yang kita panggil tanpa sadar.”
Pagi itu, Erik ditemukan mati di kamar mandi sekolah. Lehernya koyak, matanya membeku. Tidak ada darah. Tubuhnya seperti dikeringkan dari dalam. Zico dan Ethan menyusul seminggu kemudian, ditemukan di lapangan belakang dengan wajah penuh ketakutan… dan rongga dada kosong.
Semua orang ketakutan. Tapi aku tahu… kematian itu bukan tanpa alasan.
Mimpi-mimpiku semakin dalam. Sosok berjubah hitam itu kini tak hanya berdiri. Ia berjalan. Mendekat. Terkadang… aku mendengar namaku keluar dari bibirnya: “Halmahera…”
Dan saat semuanya mulai berantakan, toko kue ibu bangkrut. Kami terusir dari rumah. Dan dengan satu koper dan rasa putus asa, kami pindah ke desa Obanya — sebuah tempat yang bahkan tidak ada di peta.
Tempat itu seperti rahim waktu. Tua. Lembab. Dingin. Dan... haus darah.
BAB II — Darah dalam Kabut Obanya
Obanya bukan sekadar desa. Ia seperti makam bagi hal-hal yang ditinggalkan dunia: bangunan berlumut, udara yang tak pernah kering, dan kabut yang merayap di siang hari seolah ingin menelan segalanya. Kami tinggal di rumah peninggalan nenek—sudah lama kosong, dengan dinding penuh jamur dan pintu yang seakan menghela napas setiap malam.
Orang-orang di desa itu tak bicara banyak. Mereka menatap kami seperti kami kutukan berjalan. Setiap malam bulan purnama, mereka menyalakan lilin, menggantung bawang putih, dan menggambar simbol aneh di tanah. Aku mengira semua itu takhayul. Sampai kudapati seekor anjing mati di depan rumah kami.
Tubuhnya kaku. Lehernya berlubang. Kulitnya keriput seperti disedot dari dalam. Matanya kosong, membeku dalam ketakutan abadi.
Malam-malam berikutnya, aku tak bisa tidur. Ketukan datang dari jendela kamarku—pelan, sabar, seolah pengetuknya tahu aku sedang mendengarkan. Saat aku menarik tirai, kabut terbelah... dan aku melihatnya.
Jubah hitam. Wajah tersembunyi di balik tudung. Ia tidak bergerak. Tidak bicara. Tapi aku merasakannya — tatapan itu. Hangat… tapi menjerat.
Aku mundur, tubuhku menggigil. Tapi suara itu menyusulku… dari dalam ruangan.
“Halmahera...”
Suaranya seperti es yang pecah di air hangat. Dalam. Nyaris lembut. Tapi tak asing. Seolah aku pernah mendengarnya… dalam darahku sendiri.
Besoknya, aku melihat Geo di tepi hutan. Atau seseorang… yang menyerupainya. Rambutnya sedikit lebih panjang. Wajahnya pucat, dan sorot matanya seperti malam yang tidak berujung. Ia tersenyum.
“Geo?” tanyaku ragu.
“Bukan. Tapi dia pernah jadi bagian dari aku,” jawabnya. “Namaku Haddes.”
Dari situlah semuanya jatuh. Atau mungkin... naik ke tempat yang lebih gelap.
Haddes berkata ia berasal dari Kerajaan Bawah Tanah — dunia bayangan yang menempel pada dunia manusia seperti luka di balik kulit. Ia sudah mengamatiku sejak kecil. Mimpiku? Bukan sekadar mimpi. Itu adalah panggilan darah. Ia mendengar ketakutanku, kesepianku. Dan ia datang bukan untuk menakutiku… tapi untuk memilikiku.
“Aku telah menyingkirkan mereka yang menyakitimu,” ucapnya lembut. “Tak ada lagi tangan kotor yang akan menyentuhmu. Hanya aku.”
Cinta? Bukan. Ini… obsesi yang diberi bentuk. Ia mencintai bukan karena aku indah, atau kuat, atau istimewa. Tapi karena aku rusak. Dan rusaknya aku, adalah bagian dari dirinya.
Malam itu, aku mendengar bisikan dalam tidurku. Suara Maleya—atau seseorang yang menyamar sebagai dirinya. Saat kubuka mata, Maleya berdiri di kakiku, matanya menyala biru, rambutnya seperti api yang melayang.
“Ileya,” katanya. “Itulah namaku yang sebenarnya. Aku adalah darah kerajaan bayangan. Dan kau... gadis kecil hina… telah mencuri hatinya.”
Ia melompat ke atas tubuhku, mencengkeram leherku. Tapi aku tak bisa bangun. Jiwaku terperangkap di batas antara dunia dan neraka.
Saat napasku habis dalam mimpi, aku terbangun… bukan di kamarku. Tapi di tempat yang tak memiliki matahari.
Istana itu tinggi. Gelap. Berkilau dari obsidian dan cermin darah. Kabut menjalari setiap jendelanya. Dan di singgasana tertinggi, berdirilah Haddes.
“Akhirnya, kau bersamaku,” katanya.
Aku dijadikan permaisuri. Dipakaikan gaun dari kabut malam dan mahkota dari tulang para pemberontak. Di mata semua makhluk bawah tanah, aku ratu. Tapi di dalam diriku, aku mati.
Ileya mencoba membunuhku lagi. Tapi kali ini, Haddes membunuhnya terlebih dahulu. Ia mengoyak jantungnya dan menyajikannya dalam piala kaca.
“Tak ada yang boleh menyakitimu. Bahkan dewi kematian sekalipun.”
Aku tak tahu lagi… apakah aku masih manusia. Atau sudah jadi bagian dari mimpi buruk ini.
Tiap malam, aku duduk di jendela istana yang tinggi dan menatap dunia manusia. Di balik cermin kabut, kulihat ibuku menangis sendirian. Tapi aku tak bisa menyentuhnya.
Aku telah menjadi milik seseorang… yang mencintaiku cukup dalam untuk menghancurkan segalaku.
BAB III — Gerbang yang Tak Pernah Tertutup
Istana bawah tanah tak mengenal waktu. Tak ada siang, hanya malam abadi. Langitnya menggantung kelam, dihiasi bintang merah yang berdenyut seperti luka terbuka. Di sana aku hidup… atau lebih tepatnya, dipertahankan. Haddes memperlakukanku bak dewi. Tapi di balik semua pemberian itu — gaun kabut, cermin pengintai, anggur darah dari sungai kematian — aku tahu, ini bukan cinta. Ini adalah pengurungan yang dibungkus kelembutan.
“Aku mencintaimu,” katanya setiap malam sambil menyisir rambutku dengan jari dinginnya. “Aku tahu semua sisi gelapmu. Aku mencintai mereka.”
Dan malam-malam itu aku bertanya dalam hati: apakah aku punya sisi terang yang masih bisa dicintai?
Sampai aku melihatnya.
Cermin obsidian istana memperlihatkan bayangan dunia atas. Dan di balik layar kabut itu, kulihat Geo — Geo yang asli. Ia duduk di perpustakaan sekolah, memeluk buku usang yang dulu sering kami baca bersama. Matanya sembab. Tangannya gemetar saat menuliskan namaku di halaman terakhir buku itu:
“Halmahera, aku tahu kamu masih hidup. Aku tahu kamu tidak memilih pergi.”
Aku menjerit dalam diam. Air mata tak bisa keluar di dunia ini. Tapi jiwaku… jiwaku bergetar. Aku harus kembali.
Malam itu, aku berhadapan dengan Haddes.
“Aku ingin kembali,” kataku, pelan tapi tegas.
Wajahnya tak menunjukkan marah. Tapi udara di sekelilingnya mendadak membeku.
“Untuk apa?” tanyanya. “Untuk dunia yang menertawakanmu? Untuk manusia-manusia yang ingin menghancurkanmu?”
“Aku memilih. Itu yang manusia lakukan.”
Ia menatapku lama. Lalu tersenyum. Tapi senyum itu seperti dinding yang retak—indah namun berbahaya.
“Kalau kau ingin kembali, aku akan membiarkanmu. Tapi ingat ini, Halmahera: setiap kali kau menatap ke belakang, aku akan ada. Dalam bayangan, dalam napasmu, dalam detak jantungmu.”
Ia menekankan jari di dadaku. “Cintaku tidak punya batas. Dan obsesi tidak pernah bisa mati.”
Aku kembali ke tubuhku. Seperti bangun dari kubur.
BAB IV — Cahaya yang Membusuk
Tubuhku gemetar saat membuka mata. Ibu menjerit pelan, pelukannya seperti pelindung yang rapuh tapi penuh kasih. “Kamu kembali… oh Tuhan… kamu kembali…”
Aku hidup. Tapi sesuatu dalam diriku… tertinggal di sana.
Aku bertemu Geo. Ia memelukku, mencium keningku seperti dulu, seolah waktu tidak pernah berlalu. Tapi aku tahu ada jarak. Tak kasat mata. Seperti selubung antara dua alam.
“Kita harus menghancurkan gerbang ke kerajaan bawah tanah,” ucapku. “Haddes... dia tidak akan menyerah.”
Geo menatapku dengan ketakutan yang belum pernah kulihat sebelumnya. “Aku tahu. Karena aku juga... pernah ke sana.”
“Apa?”
Ia menarik lengan bajunya. Luka berbentuk simbol kerajaan bawah tanah terukir di kulitnya — seperti luka bakar yang tak pernah sembuh.
“Aku pernah memanggilnya. Bertahun-tahun lalu. Saat aku kehilangan kakakku. Aku ingin membalas kematian itu… dan dia datang. Tapi harganya adalah... jiwaku. Aku melarikan diri. Tapi bagian dariku... masih di sana.”
Dunia runtuh di dalamku. Geo bukan hanya teman. Ia adalah bagian dari kutukan ini. Dan mungkin... itulah kenapa Haddes bisa masuk ke dalam hidupku. Karena pintu pertama dibuka oleh Geo.
Kami mencoba menghancurkan gerbang. Ritual dilakukan. Darah dipersembahkan. Tapi saat malam bulan baru tiba, gerbang tetap terbuka.
Dan pada malam itu—ia kembali.
BAB V — Cinta yang Mencekik
Haddes muncul di kamar, seperti bayangan yang tumbuh dari lantai. Wajahnya lebih pucat, matanya lebih dalam.
“Aku datang menjemputmu,” katanya pelan. “Aku sudah membiarkanmu pergi. Kini, giliranmu membalasnya.”
Aku berlari. Geo mencoba melindungiku. Tapi Haddes hanya melambaikan tangan. Dan Geo terlempar ke dinding seperti boneka kain. Darah mengalir dari hidungnya.
“Kau pikir dia mencintaimu?” gumam Haddes padaku. “Dia menciptakan lubang dalam jiwamu. Aku hanya mengisinya.”
“Aku tidak mencintai siapa pun!” teriakku. “Aku hanya ingin bebas!”
Haddes mendekat, meraih leherku, bukan untuk mencekik, tapi untuk menyentuh nadi di sana.
“Bebas?” bisiknya. “Kau telah menjadi bagian dariku. Bahkan kematian tak bisa memisahkan kita.”
Aku mencoba menusuknya dengan belati ritual. Tapi darah yang keluar... bukan darahnya. Melainkan darahku sendiri.
Tubuhku lunglai. Dan di detik terakhir sebelum kesadaranku hilang, aku sadar: aku tidak pernah benar-benar kembali. Dunia ini… hanyalah pantulan istana obsidian. Geo, ibuku, dunia manusia... semuanya hanya semu.
EPILOG — Ratu dari Dunia Tanpa Cahaya
Aku terbangun di ranjang obsidian. Di sampingku, Haddes duduk, menggenggam tanganku dengan jari-jari dingin dan penuh sayang.
“Kamu sempat lari jauh kali ini,” katanya. “Tapi lihat? Kamu selalu kembali.”
Aku ingin menjerit. Tapi yang keluar hanya bisikan. “Kenapa?”
Ia mencium dahiku.
“Karena hanya dalam gelap... kamu benar-benar hidup.”
Dan aku? Aku tidak menolak lagi.
Aku menjadi Ratu. Aku menjadi kegelapan. Bukan karena kutukan. Tapi karena cinta... yang menelanku sampai tulang.
Dan setiap malam, aku duduk di jendela istana, menatap dunia manusia, dan berkata dalam hati:
“Cinta sejati... adalah luka yang tak pernah sembuh.”
Tiga malam setelah tatapan itu, mimpi-mimpiku berubah. Aku tak lagi berdiri jauh dari sosok berjubah hitam. Aku sudah berada di dekatnya. Tapi bukan aku yang berjalan ke arahnya. Ia yang menyeretku masuk.
Aku terbangun dalam dunia kelam—tanpa lantai, tanpa langit, hanya kabut dan bisikan. Di hadapanku berdiri istana dari bayangan. Pilar-pilar tinggi terbuat dari tulang dan kaca hitam. Daun pintu menganga perlahan, seolah tahu aku akan datang.
Di dalam, ia menungguku. Haddes.
Wajahnya masih tersembunyi di balik bayangan, tapi kini suaranya lebih jelas. Dalam, lembut, dan menggema seperti doa kutukan.
“Kau milikku. Sejak pertama kali kau menangis di dunia ini, aku telah memegang nadimu.”
Ia menunjukkan sesuatu—cermin hitam besar, setinggi dinding, berbentuk oval dengan ukiran aneh yang bergerak sendiri. Di dalamnya… bukan bayanganku. Tapi serangkaian kenangan. Foto-foto hidupku, dari bayi, masa kecil, saat ayah meninggal, bahkan saat aku sendirian di perpustakaan, menangis pelan.
“Aku menyaksikanmu. Selalu. Bahkan sebelum kau bermimpi tentangku.”
“Mengapa…?” bisikku, tak bisa menatap langsung ke matanya.
“Karena kau… kosong. Dunia menelantarkanmu. Tapi aku… aku melihat keindahan dalam kehancuranmu. Aku jatuh cinta pada luka-lukamu, Halmahera. Aku ingin memilikinya. Aku ingin memilikimu.”
Di belakangnya, dinding berubah menjadi ruang kecil—penuh potret wajahku. Semua dilukis dengan arang. Ratusan. Dengan ekspresi berbeda-beda: tertawa, menangis, terkejut, marah. Salah satunya memperlihatkan aku tertusuk, dengan Haddes memeluk jasadku, tersenyum bahagia.
Aku ingin lari. Tapi kaki tak bergerak. Dinding cermin memantulkan ketakutanku, dan juga hasratnya yang membusuk.
“Aku menghapus mereka yang menyakitimu,” katanya sambil menyentuh rambutku. “Karena kau terlalu suci untuk disentuh manusia biasa. Mereka mencemari cahaya yang kau pendam. Tapi aku… aku menyembahnya.”
Tanganku bergetar saat ia menyodorkan gaun hitam dari kabut dan duri.
“Kenakan ini. Jadilah ratu dari kehancuran. Bersama aku. Selamanya.”
Beberapa malam kemudian, saat aku berhasil menyusup ke bagian terdalam istana, aku menemukan ruang rahasia. Terkunci dengan darah.
Di dalamnya: miniatur rumahku di Budapest. Disusun persis seperti aslinya. Bahkan ada boneka-boneka kecil—aku, ibu, Geo, semua dari lilin dan rambut asli. Setiap detik di dunia nyata, Haddes merekam dan meniru, menciptakan ilusi bahwa ia telah menguasai hidupku sepenuhnya.
Di tengah ruangan, terdapat meja altar. Dan di atasnya, sehelai surat yang ditulis dengan darah:
“Jika kau menolak menjadi milikku, maka aku akan menghancurkan dunia yang pernah memilikimu. Kau tidak lahir untuk bebas. Kau lahir untukku. Aku adalah takdirmu.”
TAMAT