Senja itu, angin datang tanpa aba-aba. Langit mendung seperti sedang murung. Tapi Ayas tetap berdiri di bawah pohon flamboyan, tempat di mana segalanya bermula—dan mungkin berakhir.
Ia menatap layar ponselnya. Sudah tiga puluh pesan terkirim, belum satupun dibaca. Tapi tetap, dia percaya Alea akan datang. Karena cinta mereka bukan cinta sembarangan. Bukan yang mudah padam hanya karena badai kecil.
Alea datang, akhirnya. Dengan rambut basah dan langkah yang berat. Bukan karena hujan, tapi karena beban yang ia pikul di dadanya.
"Aku datang," suaranya lirih. Tapi bagi Ayas, itu seperti bisikan dari dunia yang hampir ia tinggalkan. Dunia tempat Alea masih ada.
"Kenapa kamu pergi waktu itu?" Ayas langsung bertanya, tidak ingin membuang waktu dengan basa-basi.
Alea menghela napas. "Karena aku harus memilih, Yas . Antara kamu, atau keluargaku. Dan kamu tahu, ibu sakit, ayah bangkrut, dan aku harus jadi dewasa dalam semalam."
Ayas menunduk. Ia tahu semua itu. Tapi ia juga tahu, Alea tidak pernah memberinya pilihan. Ia hanya menghilang—tanpa kabar, tanpa penjelasan.
"Kamu tahu, aku bisa terima kalau kamu bilang itu semua dari awal. Tapi kamu malah memilih pergi, kayak aku nggak berarti apa-apa."
Alea menggigit bibirnya. "Aku pergi karena aku takut, Yas . Takut aku malah nyeret kamu ke semua masalahku. Cinta kita terlalu panas. Aku takut kita kehabisan napas cuma buat terus nyalain api itu."
"Kalau cinta kita api," potong Ayas, "maka aku rela terbakar. Tapi bukan begini caranya. Bukan dengan kamu pergi, lalu sekarang datang dengan wajah lelah kayak kita nggak punya masa lalu."
Sunyi.
Burung-burung terbang menjauh. Angin merobek keheningan. Mata Alea mulai basah.
"Aku akan menikah bulan depan, Yas."
Kalimat itu seperti pukulan keras ke dada Ayas. Dunia serasa berhenti. Pohon flamboyan yang indah pun seketika kehilangan warna.
"Apa?"
"Dia baik, Yas. Dia bukan kamu, tapi... dia aman. Dia stabil. Dia nggak bikin aku takut kehilangan."
Ayas tertawa kecil. Pahit. "Jadi semua kenangan kita? Semua ciuman, pelukan, dan janji-janji di bawah hujan itu, apa? Debu?"
Alea menangis. Tapi ia tidak menyangkal.
"Aku mencintaimu, Ayas. Dan akan selalu begitu. Tapi cinta saja nggak cukup. Aku butuh masa depan. Dan kita... kita cuma api. Indah, tapi membakar."
Ayas mengangguk pelan. Matanya merah, tapi ia tidak menangis. Hanya satu kata keluar dari mulutnya.
"Baik."
Alea melangkah mundur. Air mata masih jatuh di pipinya, tapi ia tak berhenti berjalan.
Ayas menatap punggungnya sampai hilang di tikungan. Hatinya seperti padang terbakar—panas, hancur, dan kosong. Tapi ia tahu, api itu tetap menyala. Di dalam dada. Hanya saja, kini tak ada lagi yang memeluknya.
Beberapa minggu kemudian, Ayas duduk sendiri di kafe tempat mereka biasa bertemu. Meja yang sama. Lagu yang sama. Tapi Alea kini hanya bayang-bayang. Sebuah nama yang tak bisa ia sebut tanpa sesak.
Dan ketika kabar pernikahan Alea sampai ke telinganya, ia hanya tersenyum. Sepi.
Karena kadang, cinta bukan untuk memiliki. Tapi untuk dikenang. Seperti api yang pernah membara, membakar segalanya… lalu padam, menyisakan abu kenangan yang tak bisa ditiup angin.
--TAMAT--