Udara pagi itu lembut menyapu daun jendela, membawa aroma embun dan bau tanah yang baru saja disentuh cahaya matahari. Di rumah kayu dua lantai yang terletak di pinggiran kota kecil yang tenang, seorang gadis remaja sedang sibuk mengikat rambutnya dengan pita berwarna merah muda. Namanya Aira, siswi SMA yang ceria, polos, dan punya satu kebiasaan aneh: ia selalu menyiapkan dua bekal sarapan setiap pagi, walau ia hanya makan satu.
“Masih belum turun juga…” gumam Aira sambil melirik tangga dengan wajah kecewa. “Padahal udah aku masakin telur dadar kesukaannya.”
Tepat ketika ia hendak naik ke lantai atas, suara langkah pelan terdengar turun menapaki anak tangga. Lelaki muda dengan kemeja abu-abu dan rambut hitam sedikit acak muncul dari balik tikungan, dengan wajah setenang salju musim dingin.
"Jangan naik. Aku sudah bangun," ucapnya datar.
Aira tersenyum. “Pagi, Kak Ray.”
"Sudah makan?"
"Belum. Nunggu Kakak dulu,” jawab Aira sambil tersipu, lalu duduk di kursi dapur.
Ray, kakak laki-laki Aira yang hanya terpaut enam tahun darinya, adalah orang yang sulit dibaca. Ia tidak banyak bicara, jarang tersenyum, dan lebih sering terlihat seperti karakter pria dingin dalam drama. Tapi Aira tahu satu hal: Kakaknya sangat memperhatikannya, meskipun ekspresinya tidak pernah memperlihatkan itu secara gamblang.
Saat mereka sarapan bersama, Ray hanya makan sedikit, sementara Aira mengoceh tentang mimpi lucu semalam.
“Aku mimpi ada kucing yang bisa ngomong. Dia bilang, ‘Jangan lupa bawa payung, Aira.’ Lucu, ya?”
Ray hanya mengangguk sekali. “Bawa payung hari ini. Cuaca mendung.”
Aira terdiam sejenak, lalu matanya membulat. “Eh? Kok tahu?”
“Dengar ramalan cuaca tadi pagi.”
“Oh… ya juga, ya.” Aira tertawa kecil. “Kucing dalam mimpiku bukan cenayang, ternyata Kakak.”
Ray memandangi adiknya yang tertawa, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Ia tidak tertawa, tapi ada sedikit tarikan lembut di sudut bibirnya.
Hidup Aira dan Ray tak seperti kebanyakan keluarga lainnya. Orang tua mereka bekerja di luar negeri, dan sudah bertahun-tahun mereka hanya tinggal berdua. Ray yang waktu itu baru lulus kuliah memilih bekerja dari rumah sebagai ilustrator dan editor buku, agar bisa tetap mengurus adik semata wayangnya.
Aira tumbuh sebagai gadis yang ceria tapi ceroboh. Ia bisa tersesat hanya karena belok ke gang yang salah, bisa menangis hanya karena digoda teman sekelasnya, dan bisa jatuh dari tangga meski sudah berpegangan. Karena itu, Ray menjadi sosok yang diam-diam selalu memperhatikan. Ia tak banyak bicara, tapi tindakannya selalu penuh pertimbangan.
Contohnya hari itu, ketika Aira pulang dari sekolah dengan wajah murung. Ia duduk lesu di meja makan, membuka bekal yang isinya belum tersentuh.
“Ada yang bilang bekalku terlalu ‘imut’...” katanya pelan. “Katanya cuma anak TK yang pakai cetakan nasi berbentuk beruang…”
Ray menghampirinya, memeriksa bekal itu, lalu berkata dengan suara datar:
“Keluarin cetakan yang bentuk kelinci besok.”
“Eh?”
“Kalau mau imut sekalian, jangan setengah-setengah.”
Aira terdiam. Lalu wajahnya meledak merah, dan ia tertawa sampai berkaca-kaca. “Kakak… Kakak jahil!”
Tapi diam-diam, itu menyemangatinya. Ray tidak pernah membelanya secara langsung, tapi cara ia menyikapi semuanya membuat Aira merasa dimengerti tanpa perlu dijelaskan panjang lebar.
Malam hari, Aira suka duduk di ruang kerja Ray sambil mengerjakan PR. Ia tahu kakaknya butuh fokus, tapi ia suka mencuri-curi pandang dan mengamati wajah serius kakaknya saat menggambar. Kadang Ray sadar, dan akan mengalihkan pandangannya sebentar untuk bertanya:
“Kau ngelamun atau mikir?”
“Mikir,” jawab Aira. “Mikirin Kakak juga.”
Ray hanya menjawab dengan satu kata. “Jangan.”
“Kenapa?”
“Fokus ke PR-mu.”
Namun lima menit kemudian, secangkir teh hangat tiba-tiba muncul di sebelah Aira. Ia tersenyum, tahu bahwa itu “maaf” dari Kakaknya yang terlalu kaku untuk bilang “terima kasih sudah menemaniku”.
Suatu hari, Aira jatuh sakit. Demam tinggi dan batuk membuatnya tergeletak di tempat tidur. Dalam kondisinya yang setengah sadar, ia merasa ada tangan yang menyentuh dahinya dengan handuk dingin.
"Minum dulu."
Suara Ray. Tapi lebih pelan. Lebih lembut.
Aira membuka mata sedikit, melihat kakaknya duduk di sisi tempat tidurnya sambil menyuapkan bubur. Tangannya terlihat kaku, seperti tak biasa melakukan ini.
“Maaf, Kak… merepotkan…”
“Kalau bukan Kakak, siapa lagi?” jawab Ray, suara tetap dingin tapi ada nada tak rela di dalamnya. “Tidur saja. Aku di sini.”
Malam itu, Ray tidak pergi dari kamar adiknya. Ia duduk di kursi semalaman, membaca buku sambil sesekali mengecek suhu tubuh Aira. Saat subuh datang dan Aira mulai tenang, Ray mengelus kepala adiknya pelan.
"Jangan gampang sakit. Aku nggak suka lihat kamu lemah," bisiknya, meskipun tahu Aira mungkin tidak mendengarnya.
Aira tumbuh sedikit demi sedikit. Dari anak yang polos jadi remaja yang lebih mandiri, tapi tetap membawa kehangatan dalam rumah itu. Sementara Ray tetap Ray. Dingin, diam, dan terlalu tanggap dalam cara yang tidak pernah berisik.
Suatu sore, setelah pulang dari sekolah, Aira menemukan sebuah lukisan baru di dinding ruang kerja Ray. Lukisan itu adalah gambar seorang gadis remaja yang tertawa lebar sambil memegang payung dan memakai pita merah muda.
Aira tertegun.
“…Aku?”
Ray muncul di belakangnya. “Klien ingin tokoh remaja yang ‘terlihat hidup dan polos’. Jadi, aku pakai referensi yang nyata.”
Aira terdiam lama. Lalu ia berkata pelan, “Kalau aku tumbuh dewasa nanti, Kakak tetap akan jagain aku, kan?”
Ray menatapnya, lalu menjawab dengan satu kalimat yang terdengar sederhana, tapi bagi Aira itu lebih hangat dari pelukan:
“Kamu nggak akan pernah sendirian.”
Dan Aira percaya itu.
Karena meskipun kakaknya dingin, dia adalah rumah yang diam-diam selalu menyalakan lampu ketika hari mulai gelap.
—TAMAT—