Minggu sore itu, langit sedikit mendung tapi tetap cerah. Udara sejuk menelusup di sela-sela dedaunan taman. Crista duduk di bangku panjang dekat air mancur, mengenakan blus putih sederhana dan celana jeans favoritnya. Rambutnya diikat ekor kuda, dan matanya terus menerus melirik jam tangan. Hatinya berdebar, menunggu sosok yang sangat dia rindukan: Gerry.
Sebenarnya, Gerry sudah melihat Crista dari kejauhan. Ia berdiri di balik pepohonan kecil, bersama seorang perempuan cantik berambut panjang. Tapi perempuan itu bukan pacarnya. Dia adalah teman lama Gerry yang dengan senang hati membantu rencana kecil yang sudah Gerry susun diam-diam.
"Ayo, kita jalan pelan-pelan lewat depan Crista. Gandeng tanganku ya, pura-pura mesra," bisik Gerry sambil tersenyum penuh rencana.
Temannya mengangguk dan mengikuti skenario itu. Mereka berjalan perlahan, bergandengan tangan dengan gerak-gerik penuh kemesraan. Sesekali tertawa kecil, seperti sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta.
Crista yang menatap jalanan dengan penuh harap langsung membeku ketika melihat Gerry berjalan bersama gadis lain. Tatapannya terhenti. Mulutnya sedikit terbuka, tak percaya. Dadanya seperti diremas. Ia merasa tertampar, dikhianati. Bahkan, Gerry tampak tertawa seperti tak bersalah sama sekali.
Air mata menggenang di pelupuk mata Crista. Tanpa pikir panjang, ia berdiri dan berlari menjauh dari taman. Sepatu flat-nya menghentak tanah kerikil, meninggalkan bangku yang tadinya penuh harapan.
Ia bersembunyi di sebuah kafe kecil di ujung taman. Duduk sendiri di pojok ruangan, memesan es teh manis yang hanya disentuhnya sekali. Ia menatap ke luar jendela, mencoba menahan air mata yang akhirnya jatuh juga.
Beberapa menit kemudian, seseorang membuka pintu kafe dengan tergesa-gesa. Itu Miko, sahabat Gerry. Nafasnya masih terengah-engah ketika ia melihat Crista dan segera menghampiri.
“Crista… tunggu dulu, jangan salah paham,” kata Miko sambil duduk di depannya.
Crista tidak menjawab. Pandangannya masih kosong ke luar jendela.
“Itu tadi… cewek yang jalan sama Gerry, itu bukan pacarnya. Dia cuma temannya. Dan itu semua rencana Gerry buat ngetes kamu.”
Crista menoleh, menatap Miko dengan mata yang masih basah. “Ngetes aku? Maksudnya apa?”
“Dia cuma mau tahu… kamu beneran sayang sama dia apa nggak. Tapi dia sadar itu ide bodoh. Sekarang dia nunggu kamu di taman, di tempat biasa kalian duduk.”
Crista diam. Ia menunduk, menggigit bibir. Perasaannya campur aduk—kesal, sakit hati, tapi juga masih menyimpan rasa cinta yang besar pada Gerry.
Waktu berjalan pelan. Satu jam Crista hanya duduk diam di kafe itu, menimbang-nimbang. Berkali-kali ia ingin pulang dan melupakan semuanya. Tapi entah kenapa, kakinya justru melangkah keluar, menuju taman itu lagi.
Saat ia tiba, langit mulai berubah jingga. Di bawah pohon besar dekat bangku favorit mereka, Gerry duduk sendiri. Tangan menyilang di dada, wajahnya penuh penyesalan. Ketika melihat Crista datang, matanya langsung berbinar.
Crista berdiri di depan meja itu. Tak ada kata-kata. Mereka hanya saling menatap.
“Aku bodoh ya?” kata Gerry pelan. “Maaf… Aku cuma takut kamu nggak sesayang itu sama aku. Jadi aku ngetes… Tapi malah nyakitin kamu.”
Crista menunduk. Lalu, perlahan duduk di bangku di depannya.
“Aku marah banget,” ucap Crista jujur.
“Aku tahu,” sahut Gerry, suaranya serak.
Crista menghela napas panjang, lalu menatap Gerry. “Tapi aku nggak bisa nggak kangen kamu.”
Gerry tersenyum lebar. Ia meraih tangan Crista di atas meja dan menggenggamnya erat.
“Aku janji nggak iseng lagi. Kali ini serius.”
Crista tak menjawab, tapi senyumnya mulai merekah. Dan ketika mata mereka saling bertaut, senja yang jatuh di atas taman itu terasa begitu hangat. Seolah semesta ikut merestui mereka untuk saling memaafkan dan mulai dari awal lagi.
---
selesai