Cherry duduk di tepi kursi panjang, mengenakan dress biru muda yang lembut seperti langit menjelang malam. Gaun itu sederhana, tapi membuat wajah polosnya semakin bersinar. Rambutnya dikuncir setengah, memberi kesan lugu yang tak bisa disembunyikan meskipun sudah kelas XII. Teman-temannya di pesta malam itu berdansa dan tertawa keras, tapi Cherry hanya tersenyum pelan, kadang-kadang mengangguk jika ada yang mengajaknya bicara. Ia memang begitu, terlalu polos, terlalu jujur. Dan itu yang membuat Steven—pacarnya—selalu melongo setiap kali bersama dia.
“Kenapa kamu lucu banget sih, Che?” begitu biasanya Steven berkata sambil menahan tawa. Cherry hanya menunduk, tersipu, lalu menjawab dengan suara kecil, “Lucu gimana…”
Malam itu, pesta terasa berbeda. Steven tak datang. Katanya ada urusan keluarga yang tak bisa ditinggal. Cherry mencoba tetap menikmati suasana, tapi hatinya seperti kekurangan satu warna. Mentari, sahabatnya sejak SMP, tahu betul apa yang Cherry rasakan.
“Che, ayo keluar bentar. Lihat langit, bagus banget,” ajak Mentari.
Mereka berjalan ke halaman belakang villa tempat pesta itu berlangsung. Gelap, tapi langit cerah bertabur bintang.
Dan tiba-tiba…
“Eh! Itu tuh! Bintang jatuh!” teriak Mentari sambil menunjuk langit.
Cherry langsung menoleh. Sebuah garis cahaya jatuh melesat cepat di langit. Sejenak ia terdiam. Lalu seperti anak kecil yang percaya pada dongeng, Cherry memejamkan mata rapat-rapat.
“Aku boleh bilang permohonan, kan?” bisiknya pada Mentari.
Mentari tersenyum, “Boleh lah. Tapi jangan ngomong, nanti gak terkabul katanya.”
Cherry mengangguk pelan dan dalam hatinya berkata,
“Semoga malam ini… aku bertemu dengannya.”
---
Pesta itu mulai sepi. Musik tak lagi semeriah tadi, tamu-tamu mulai pulang satu per satu. Cherry menarik napas dan menatap Mentari.
“Kita pulang, yuk.”
“Iya, yuk,” jawab Mentari.
Baru saja mereka melangkah ke jalan setapak di depan villa, suara familiar memanggil dari kejauhan.
“Cherry!”
Cherry membalikkan badan. Matanya membulat. Steven berdiri di sana. Di sampingnya ada Febran, sahabatnya yang selalu setia jadi ‘bocah rame’ di setiap kesempatan.
“Maaf ya telat. Tapi aku nyusul,” kata Steven sambil tersenyum canggung.
Cherry hanya menatapnya tanpa berkedip. Lalu ia tertawa kecil. “Tahu gak?” katanya pelan, “Tadi aku liat bintang jatuh.”
Steven menoleh. “Serius?”
Cherry mengangguk. “Dan aku minta satu permohonan…”
Steven mendekat. Matanya menatap wajah polos Cherry dengan tatapan penuh rasa. “Permohonannya… aku?”
Cherry tersipu. Matanya tak berani menatap langsung. Tapi ia mengangguk pelan. Steven langsung memegangi pipinya sendiri.
“Ya ampun kamu tuh… kenapa bisa sepolos itu sih…” gumamnya sambil terkekeh. “Aku gak ngerti deh, kamu tuh kayak anak kecil. Tapi ya gitu… bikin aku gemes setengah mati.”
Febran ikut tertawa. “Fix, gue jadi saksinya. Ini cowok bentar lagi nangis gara-gara cewe polos.”
Mentari nyenggol Cherry, “Liat tuh pacar kamu, baper.”
Mereka berempat akhirnya berjalan bersama menyusuri jalanan malam, angin mengibas lembut rambut Cherry. Tangannya tak sengaja bersentuhan dengan tangan Steven. Ia mencoba menarik diri, tapi Steven langsung menggenggamnya.
“Udah, sini. Tangan kamu dingin,” katanya tenang.
Cherry makin bingung, makin deg-degan. Tapi dalam hatinya, ia merasa hangat. Tak perlu pesta yang ramai, tak perlu lagu yang keras. Cukup malam, bintang jatuh, dan satu permohonan yang terkabul.
Steven memeluknya dari samping, perlahan dan penuh sayang. “Kalau kamu minta ketemu aku… aku minta supaya kamu gak pernah berubah. Tetap polos. Tetap kamu yang seperti ini.”
Cherry menatapnya, kali ini berani.
“Makasih ya, udah datang.”
Steven mengecup ringan keningnya.
“Makasih juga udah percaya sama bintang jatuh. Karena itu… aku bisa lihat kamu malam ini, dengan cara yang paling manis.”
Dan malam pun menjadi saksi, bahwa cinta bisa sederhana. Tidak perlu mewah, tidak perlu drama. Hanya perlu seseorang yang jujur, dan seseorang yang tulus mencintainya.
---
Selesai