Saat pertama kali aku bertemu Reza lagi, aku kira dunia akan membantuku bersikap cuek. Tapi sayangnya, dunia malah mempermainkan aku. Di tengah ramainya festival kuliner itu, dia muncul sambil menenteng sebungkus seblak jumbo dan dua gelas kopi pahit. Sialnya, dia tetap seganteng dulu. Bahkan mungkin lebih, dengan brewok tipis yang sukses membuat beberapa mbak-mbak di sekitar kami cekikikan kecil.
"Eh, Putri? Kamu masih suka seblak level neraka?" sapanya, santai seolah kami cuma berteman biasa, padahal... yah, dulu aku pernah menulis puisi sedih sepanjang lima halaman gara-gara dia.
Aku nyengir kaku. "Masih... tapi sekarang lebih tahan banting. Nggak kayak dulu, baru satu sendok langsung drama Korea."
Dia tertawa, suara tawanya masih renyah seperti dulu, bikin jantungku serasa ditarik-tarik tali tambang. Tanpa banyak basa-basi, dia sodorkan salah satu gelas kopi ke arahku.
"Ini buat kamu. Hitam, tanpa gula. Pahit, kayak kenangan kita," katanya, dengan gaya sok cool.
Aku ngakak. Asli, ngakak beneran sampai beberapa orang di sekitar kami menoleh. Untung aku tipe cuek bebek.
"Kalau pahit, kenapa masih kamu bawa-bawa, Rez?" godaku sambil menerima kopinya.
Dia mengangkat bahu. "Kadang-kadang, rasa pahit itu malah bikin kita ketagihan."
Oke, kalimat itu kalau dikatakan orang lain mungkin terasa klise. Tapi karena keluar dari mulut Reza, rasanya kayak dilempar bom nostalgia.
Kami akhirnya duduk di salah satu bangku kosong, berbagi sebungkus seblak dan cerita-cerita absurd tentang hidup masing-masing. Ternyata dia sekarang kerja di luar kota, baru pulang buat jenguk orang tua. Aku juga cerita tentang hobiku yang baru: koleksi tanaman hias. (Oke, lebih tepatnya koleksi kaktus. Karena cuma itu yang nggak mati kalau aku lupa nyiram.)
"Aku pikir kamu bakal jadi penulis novel drama," katanya sambil mencomot seblak.
"Aku pikir kamu bakal jadi chef, bukan pegawai bank," balasku cepat.
Kami tertawa lagi. Rasanya gampang sekali tertawa kalau sama Reza. Padahal, dulu aku pernah nangis berember-ember cuma gara-gara dia lupa ulang tahunku.
Waktu berjalan cepat, matahari mulai turun. Angin sore membawa aroma bakso dan sate. Di tengah keramaian itu, ada keheningan kecil di antara kami. Reza menatapku, matanya yang dulu sering membuatku melting kini penuh canda yang nyaman.
"Aku kangen, Put," katanya tiba-tiba.
Aku meneguk kopi, berusaha terlihat cool. "Kangen seblak apa kangen aku?"
"Kalau seblak mah tinggal beli. Kalau kamu..." Dia berhenti, tersenyum kecil. "Nggak bisa beli di mana-mana."
Aku pura-pura batuk karena seblak tersangkut di tenggorokan. Klasik. Aku, Putri, selalu keki di depan Reza.
Kami nggak membicarakan masa lalu lebih dalam. Nggak ada drama nangis-nangisan atau saling menyalahkan. Yang ada cuma dua orang mantan yang sudah saling memaafkan tanpa harus diucapkan, duduk bersama, berbagi seblak pedas dan kopi pahit sambil menertawakan betapa bodohnya kami waktu itu.
Sebelum pulang, Reza berdiri dan mengacak rambutku dengan gaya usilnya yang dulu membuatku sebal tapi rindu.
"Putri, makasih ya... kamu tetap mantan terindahku. Dan temen paling gokil."
Aku tersenyum, menahan rasa aneh di dada. "Sama-sama, Rez. Kamu juga... mantan terindah plus partner seblak terseru."
Kami berpisah tanpa janji, tanpa tangisan, tanpa drama. Hanya satu pelukan singkat yang hangat. Rasanya cukup. Karena terkadang, mantan terindah itu bukan untuk dimiliki lagi. Tapi untuk dikenang... dengan tawa.
---