Hujan baru saja reda ketika Liana membuka pintu balkon apartemennya di lantai 42. Angin sore membawa aroma tanah basah, memeluk tubuhnya yang hanya dibalut gaun tidur tipis warna abu. Di tangannya, secangkir teh hangat mengepul pelan.
Pintu geser berbunyi lirih. Langkah kaki itu selalu ia kenali, bahkan tanpa harus menoleh.
“Aku tahu kamu belum mandi,” suara Arman terdengar rendah, sedikit serak.
Liana tersenyum tanpa menoleh. “Aku nunggu senja.”
Arman berdiri di sampingnya, menyandarkan tubuh pada pagar balkon. Mereka memandang horizon Jakarta yang berkilau perlahan. Suasana seperti ini selalu membuat Liana merasa terlindungi. Padahal, hubungan mereka tak pernah benar-benar jelas.
Arman sudah menikah. Dan Liana tahu itu sejak awal.
Tapi hidup kadang tidak semudah memilih antara benar dan salah. Ada perasaan yang tumbuh seperti akar liar—tak diundang, tapi menghujam dalam.
"Aku akan ke Bali minggu depan," kata Arman.
Liana menoleh pelan. “Dengan dia?”
Arman diam. Jawabannya ada di matanya.
Liana menghela napas panjang. “Kamu bisa berhenti datang, Man. Aku akan baik-baik saja.”
“Aku tahu. Tapi aku belum siap kehilangan kamu.”
“Kamu tak pernah punya aku untuk bisa kehilangan,” jawab Liana lirih.
Keheningan membungkus mereka berdua. Tak ada pelukan, tak ada ciuman. Hanya dua orang dewasa yang saling menyayangi tapi tak bisa memiliki.
Senja akhirnya datang. Langit menghanguskan awan dengan warna jingga dan merah keemasan. Seindah apapun warna langit, waktu tetap akan menggiring malam.
Seperti kisah mereka.
Arman melangkah mundur, memandang Liana sekali lagi sebelum kembali masuk.
Dan Liana tetap berdiri di sana, menatap langit yang perlahan kehilangan warnanya.
---