Malam itu hujan turun rintik-rintik. Di depan rumah kayu bercat hijau muda yang mulai pudar, Amara duduk di teras sambil memeluk lutut. Di genggamannya ada sebuah surat lama yang mulai menguning di pinggir-pinggirnya. Tulisan tangan itu sudah dia hafal luar kepala.
"Tunggu aku dua tahun saja, Ra. Dua tahun dari sekarang, aku akan datang menjemputmu, menikahimu, dan membangun rumah kecil kita di pinggiran kota yang tenang. Aku akan bekerja keras, punya beberapa kerjaan, dan cari uang sebanyak mungkin. Aku mau kamu hidup enak, tanpa perlu capek-capek kerja lagi. Aku cinta kamu. Selalu."
— Mike
Itu adalah pesan terakhir Mike, dua tahun lalu.
Amara masih ingat hari perpisahan mereka di stasiun. Mike berdiri dengan ransel besarnya, wajahnya bersinar penuh semangat, penuh harapan. Ia memeluk Amara erat-erat, lalu menyelipkan sepucuk surat ke tangan gadis itu. Setelah itu, dia naik ke kereta dan pergi... membawa mimpi-mimpi mereka.
Awalnya semua berjalan manis. Mike sering mengirim kabar lewat WhatsApp dan telepon. Dia bekerja serabutan di kota: jadi driver ojek online, freelance desain, bahkan sempat jualan online. Dia sering mengeluh capek, tapi selalu bilang, “Demi kita, Ra. Semua ini demi kamu.”
Amara setia menunggu. Ia menolak semua ajakan teman pria yang mendekat, menahan rindu setiap malam, dan terus percaya pada janji Mike.
Namun, setelah satu tahun berlalu, pesan Mike mulai jarang. Video call mulai tak terjawab. Chat hanya dibalas dengan emoji atau “nanti aku balas ya,” yang tak pernah benar-benar dibalas. Lalu, tiba-tiba, nomor Mike tak bisa dihubungi.
Satu per satu akun sosial medianya menghilang. Facebook-nya lenyap, Instagram-nya tak bisa ditemukan. TikTok-nya kosong. Bahkan email yang dulu sering dia pakai pun kini tak aktif.
Amara menangis berhari-hari. Ia berpikir mungkin Mike sedang ada masalah. Mungkin handphone-nya rusak. Mungkin dia kena musibah. Tapi waktu terus berjalan, dan tak ada satu pun kabar.
Kini, tepat dua tahun sejak Mike pergi.
Amara tetap tinggal di rumah lamanya. Ia kini bekerja di sebuah koperasi kecil, membantu ibunya menjaga warung. Luka itu masih ada, tapi ia belajar berdiri. Namun malam ini, luka itu kembali basah. Karena ia benar-benar berharap... Mike akan datang.
Tapi yang datang hanya hujan.
Ia menatap jalanan kosong di depan rumah. Sepi. Tak ada suara motor. Tak ada langkah kaki. Tak ada Mike.
Ia membuka galeri HP-nya, menatap foto lama mereka: Mike dengan senyum lebarnya, merangkul Amara yang mengenakan baju putih dan syal biru. Foto itu diambil di bukit belakang desa. Di tempat di mana Mike dulu bilang, “Di sinilah nanti kita bangun rumah, ya. Rumah sederhana tapi tenang. Kamu tanam bunga, aku tanam cabe.”
Amara menutup matanya. Air mata mengalir perlahan.
Apa Mike benar-benar pergi?
Apa semua hanya janji kosong?
Atau... apa ada alasan yang lebih besar dari semua ini?
Tiba-tiba, sebuah pesan masuk di HP Amara. Nomor tak dikenal.
"Amara... maaf. Aku tahu aku egois. Aku tak pantas datang lagi. Aku gagal, Ra. Aku nggak bisa jadi laki-laki seperti yang aku janjikan. Aku bangkrut. Aku utang banyak. Aku kehilangan arah. Aku malu. Jadi aku pergi. Aku pengecut. Tapi cintaku nggak pernah hilang. Maaf, Ra. Jangan tunggu aku lagi."
Amara menatap pesan itu lama.
Tangan gemetaran.
Lalu ia membalas:
"Aku nggak butuh kamu jadi kaya. Aku cuma butuh kamu jujur. Tapi kalau kamu memilih pergi, aku terima. Tapi jangan bilang kamu mencintai aku... kalau kamu sendiri nggak berani berjuang sama-sama dalam susah."
Pesan itu terkirim.
Beberapa menit kemudian, nomor itu memblokir Amara.
Dan saat itu, Amara tahu:
Janji dua tahun itu... hanyalah mimpi yang patah.
Tapi ia tersenyum kecil. Karena walau Mike pergi, ia tetap punya dirinya sendiri. Dan itu cukup.
---