Angin sore menyapu pelan daun-daun rambutan yang mulai menguning. Di teras rumah tua ini, aku duduk memandangi jalan setapak yang sunyi, sambil menunggu Mama bangun dari tidurnya. Sudah hampir tiga bulan aku dan anak-anakku tinggal di kampung halaman, jauh dari suamiku, jauh dari kota yang dulu kami sebut rumah.
Semuanya bermula ketika Mama mulai sering lupa. Awalnya hanya lupa menaruh kunci atau lupa memasak nasi. Tapi lama-lama, ia lupa jalan pulang dari warung, lupa siapa nama tetangga, bahkan lupa bahwa ayahku sudah tiada. Hatiku remuk. Mama yang dulu begitu kuat, kini mulai rapuh, tubuhnya mulai membungkuk, dan matanya semakin sayu menatap hari.
Aku tak bisa membiarkannya sendiri.
Kupikir solusi terbaik adalah membawanya ke kota. Di sana, aku bisa merawatnya sambil tetap tinggal bersama suamiku dan anak-anak. Tapi Mama menolak. Keras. Matanya basah saat berkata,
“Mama nggak mau jauh dari rumah ini, Nak. Kalau Mama mati, Mama mau mati di rumah sendiri, bukan di tanah orang.”
Aku mencoba meyakinkannya berkali-kali. Tapi setiap kali kubicarakan, tubuhnya gemetar. Ia bahkan sempat jatuh sakit karena stres memikirkan kemungkinan harus meninggalkan rumah ini. Rumah kenangan, rumah tempat ia dan almarhum Papa membesarkanku dengan susah payah. Rumah yang menyimpan suara tawa masa kecilku, juga tangis malam saat kami tak punya uang untuk beli beras.
Saat itulah aku tahu, aku harus memilih.
Dan aku memilih Mama.
Aku memilih menjadi anak, sebelum aku menjadi istri.
Suamiku, Arya, tidak menghalangi. Tapi aku tahu, ia terluka. Wajahnya menegang saat kutitipkan surat pindah sekolah untuk anak-anak kami. Ia mencoba tersenyum, tapi matanya sembab. Ia memelukku lama di malam terakhir kami bersama di kota.
“Kalau kamu butuh apa pun, kabari aku,” katanya pelan. “Aku nggak marah. Tapi... aku juga nggak janji bisa terus kuat.”
Aku menangis di pelukannya malam itu. Tak pernah terbayang bahwa setelah bertahun-tahun hidup bersama, kami harus berpisah bukan karena bercerai, bukan karena pertengkaran, tapi karena pilihan hidup yang tak pernah mudah.
Hari-hariku kini sunyi. Anak-anak mulai beradaptasi dengan sekolah baru mereka, walau sering bertanya, “Kapan Ayah ke sini?” Aku selalu menjawab, “Nanti, kalau Ayah libur kerja.” Tapi jawaban itu terasa makin menyakitkan setiap kali aku mengulanginya.
Malam-malamku adalah waktu paling sulit. Saat semua sudah tidur, aku duduk sendiri di depan kamar, menatap langit, menahan rindu yang menggerogoti perlahan. Kadang kuputar voice note dari Arya, hanya untuk mendengar suaranya yang hangat. Kadang kubuka album foto lama kami, dan air mata pun jatuh tanpa bisa dicegah.
“Mama, kok Ibu nangis?” tanya anak bungsuku suatu malam. Aku tersenyum, mengusap air mata, lalu memeluknya erat.
“Bukan nangis, Sayang. Ibu cuma kangen Ayah.”
Anak kecil itu mengangguk, lalu tertidur lagi di pangkuanku. Sementara hatiku semakin perih. Aku ingin memeluk Arya. Ingin mendengar tawanya. Ingin tidur di sisinya lagi, berbagi cerita sepele tentang hari yang panjang. Tapi untuk sekarang, semua itu hanya bisa hadir lewat layar ponsel.
Dan di sisi lain, Mama semakin sering memanggilku dengan nama masa kecilku.
“Rara, ambilkan selimut Mama... Rara, kamu sudah makan belum?”
Kadang ia lupa aku sudah dewasa. Kadang ia mengira aku masih gadis kecil yang suka duduk di pangkuannya saat malam hujan turun. Tapi justru itulah yang membuat aku tak sanggup pergi darinya. Ia membutuhkanku—lebih dari sebelumnya.
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur atap seng rumah ini, Mama memanggilku dari kamarnya.
“Nak... Mama takut... Kalau Mama mati nanti, kamu jangan tinggalin rumah ini, ya?”
Aku masuk dan duduk di sampingnya. Kutatap wajahnya yang keriput, matanya yang berkaca-kaca.
“Nggak usah mikirin itu, Ma. Aku di sini kok. Aku temani Mama terus,” jawabku sambil menggenggam tangannya.
Air matanya jatuh. Ia mencium tanganku dan berkata, “Maaf ya, kamu jadi jauh dari suamimu karena Mama.”
Dadaku sesak. Aku tak bisa menjawab. Hanya bisa memeluknya dan berbisik, “Aku cuma balas sebagian kecil dari semua yang Mama kasih ke aku dulu.”
Kehidupan seperti ini tidak mudah. Jauh dari suami, jauh dari kenyamanan kota. Tapi setiap kali melihat Mama tersenyum lega saat melihatku duduk di sampingnya, hatiku terasa sedikit lebih tenang.
Kadang Arya datang saat akhir pekan. Tapi itu pun tak sering. Pekerjaannya menuntut banyak. Saat datang, ia terlihat lelah, tapi tetap mencoba tersenyum untuk anak-anak dan Mama. Dan saat ia kembali ke kota, aku menahan diri untuk tak menangis di depannya.
Sampai hari ini, aku masih terus bertanya dalam hati: Apakah ini keputusan yang tepat? Apakah Arya akan tetap menungguku? Apakah rumah tangga kami bisa bertahan dengan jarak ini?
Tapi kemudian kutatap Mama yang duduk di kursi goyang sambil menatap langit sore, dan aku tahu... jika waktu bisa kuputar, aku akan tetap memilih hal yang sama.
Aku hanya bisa berdoa. Semoga waktu ini tidak memisahkan kami, melainkan memperkuat cinta kami—cinta kepada suami, dan cinta kepada ibu yang telah melahirkan dan membesarkanku tanpa pernah mengeluh.
Karena menjadi seorang anak... dan seorang istri... kadang berarti harus merelakan sebagian hati untuk tetap bisa mencintai dua dunia yang berbeda.
---