Aku menatap remang lampu kota dari balik jendela apartemen kecilku. Hujan baru saja reda; titik-titik air masih menggantung di kaca, gemetar diterpa angin malam. Di sana, di balik cahaya samar dan riuh kendaraan, ada kenangan yang selalu kunyalakan diam-diam—seperti lilin kecil yang tak pernah padam meski angin takdir berulang kali berembus memadamkannya.
Namanya Rangga. Enam tahun lalu, di sebuah kedai buku tua di Jogja, ia menepuk bahuku karena kualihkan satu-satunya novel Pramoedya yang tersisa tepat sebelum tangannya sempat meraih. Kami terkekeh pelan, saling meminta maaf, lalu mengobrol tentang kata-kata. Dari mata teduhnya, kutahu ia bukan hanya pembaca setia; ia penenun frasa, peramu makna. Sore itu, di bawah temaram lampu kuning, ia menuliskan nomor telepon di kertas struk dan berkata, “Jika kau ingin berbicara lagi tentang tulisan yang menghangatkan jiwa, hubungi aku.”
Aku menelponnya malam itu juga.
Sejak saat itu, kami bertumbuh bersama dalam percakapan panjang—di halte bus, di warung kopi, di teras rumah ibunya. Ia yang mengajari cara membedakan aroma arabika Flores dan tubruk Jawa, aku yang memaksanya mencicipi klepon buatan nenekku. Kami tak pernah menyebut kata cinta, tapi semuanya terasa seperti itu: ringan, lirih, dan membuatku percaya dunia bisa diselipkan ke dalam satu genggam tangan.
Namun hidup, seperti hujan yang tiba-tiba deras, menulis babnya sendiri. Dua tahun kemudian Rangga menerima beasiswa doktoral ke Kanada. Waktu itu, kami duduk di bangku taman Malioboro. Ia mengembuskan napas berat dan berkata, “Dia—masa depanku—memanggil. Tapi bukan berarti aku ingin berlari meninggalkanmu.” Aku tersenyum, menyembunyikan gentar di balik kelopak mata. Kutahu mimpi adalah sayap—dan sayap selalu lebih besar dari genggaman.
Kami berjanji menulis surat, bukan sekadar email. Tiga bulan pertama, setiap lembar kertasnya datang dengan aroma kayu manis favoritku. Aku membalas dengan foto-foto bunga kembang sepatu yang bermekaran di halaman rumah. Tapi lambat laun, jarak berkonspirasi dengan kesibukan; amplop-amplopnya mulai datang makin jarang, hingga suatu hari berhenti sama sekali.
Aku tidak bertanya kenapa. Ada hal-hal yang jawabannya lebih baik ditemukan sendiri dalam sunyi. Dalam satu panggilan video terakhir, kulihat cahayanya berbeda—ada sosok perempuan di latar, menata vas tulip, tersenyum sopan ke arahku. Rangga memperkenalkan: “Ini Elise, teman laboratoriumku.” Namanya mengendap seperti kopi yang terlalu lama dibiarkan, pahit dan kuat.
Sejak itu, aku tak lagi menanti surat. Tahun berikutnya kabar pertunangan mereka mampir di beranda media sosial; ia tampak bahagia. Aku menekan ikon hati, lalu memejamkan mata lama-lama—menyadari betapa tulusnya aku ingin ia bahagia, meski bukan denganku.
---
Kini aku di Jakarta, bekerja sebagai editor majalah sastra. Saban hari menimbang kata orang lain, menata kalimat, memastikan setiap rindu terucap dengan tepat. Tapi rindu milikku sendiri kujadikan rahasia: ia bersembunyi di sela jeda naskah, di balik tanda baca yang sengaja kubiarkan menggantung.
Setiap kali hujan turun—seperti malam ini—aku menyeduh kopi tubruk Jawa, menuangnya ke cangkir tanah liat yang kupeluk seperti memeluk musim lalu. Aromanya menyeretku ke bangku taman, ke suara gitarnya yang lirih menyanyikan “Leaving on a Jet Plane” di malam sebelum keberangkatannya. Rasa itu datang tanpa permisi, tapi aku tak lagi menolaknya.
Ada teman-teman yang bertanya, “Apa kau masih menunggunya?” Aku tertawa kecil dan menjawab, “Tidak, aku berjalan.” Karena memang begitu: aku tidak menunggu; aku melangkah, mengisi hari, merajut mimpi yang tak kalah luas. Hanya saja, di sudut hati yang tak terjama tangan siapa pun, ada ruang kecil tempat Rangga duduk diam—bukan sebagai penyesalan, melainkan ingatan bahwa aku pernah dicintai dengan lembut, dan belajar melepaskan dengan lebih lembut lagi.
Kadang, saat lampu sudah padam dan kota terlelap, aku menuliskan namanya di udara, lalu menghapusnya sebelum huruf terakhir selesai. Bukan karena ingin melupakan, tapi karena ingin mengizinkan kenangan itu bernapas tanpa beban. Ia tidak menjadi takdirku, tapi ia mengajari bahwa cinta sejati bukan soal memiliki, melainkan merawat cahaya seseorang meski tak lagi dapat hangatnya secara langsung.
---
Beberapa minggu lalu, sepucuk email datang dari alamat yang asing. Subjeknya: To the girl who loved books. Kuklik dengan tangan bergetar. Ternyata dari Elise. Ia menulis singkat—Rangga kecelakaan salju, kakinya luka parah, dan di ruang pemulihannya ia terus menyebut namaku, bertanya apakah aku baik-baik saja. Elise berkata, “Aku tak marah. Aku cuma ingin kau tahu, sebagian hatinya tetap tinggal di tempat ia pertama kali merasa pulang.”
Aku menatap kata-kata itu lama. Di luar, hujan turun menyeret aroma tanah basah. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, aku menulis balasan—bukan untuk Rangga, bukan untuk Elise, melainkan untuk diriku sendiri:
> Rangga, terima kasih. Aku baik-baik saja. Semoga kakimu lekas menari di atas mimpi-mimpi barumu. Di sini, rindu ini tetap kutanam, bukan agar tumbuh menjadi sesal, tetapi agar mekar sebagai doa—bahwa kau bahagia, di mana pun langkahmu berpijak.
Aku menekan kirim. Rasanya seperti menutup buku setelah baris terakhir, lantas menaruhnya di rak paling sunyi, siap kubuka kapan saja saat ingin mengenang wangi kertasnya. Hujan mereda. Lampu kota memantul di jalan basah, membentuk lukisan kebebasan yang tenang.
Dan di dalam diriku, rindu itu tetap ada—tak lagi sebagai beban, melainkan cahaya lembut yang menuntunku pulang kepada diri sendiri. Ia abadi, tak perlu disembunyikan, karena aku telah berdamai dengannya. Seperti hujan yang akhirnya berhenti, ia membiarkan langit tampak lebih jernih, memberikan ruang bagi bintang-bintang untuk sekali lagi bercerita.