Langit senja berkabut jingga ketika aku berpapasan dengannya di lobi hotel tempat reuni kecil-kecilan SMA kami diadakan. Tubuhku kaku beberapa detik, seolah tahun-tahun yang telah kulalui larut ke dalam tatapannya—tatapan yang masih sama hangatnya seperti dulu, hanya saja kini dihiasi kerutan lembut di sudut mata. Di tangan kiriku, cincin pernikahan berkilau samar; di tangannya, jemarinya juga terjerat lingkar logam yang serupa.
Kami saling tersenyum—tersenyum dengan kenangan, dengan kegugupan, dengan semua “bagaimana-jika” yang tak sempat terucap. “Hai, apa kabar?” tanyanya ringan. Kata-kata sederhana itu menggoyahkan dinding rapuh yang kubangun selama bertahun-tahun.
“Aku baik,” kujawab, meski hatiku berdetak terlalu cepat. “Kamu?”
“Bahagia,” katanya pelan. Matanya menunduk sejenak, seakan menimbang apakah kata bahagia masih pantas diucapkan di hadapanku. “Istriku tidak bisa datang, ada jadwal kerja malam.”
Aku mengangguk sambil tersenyum kaku. Di benakku, bayangan seorang perempuan lembut yang menemaninya—gadis pilihannya sendiri—terpampang jelas, membuat dadaku sesak.
Kami berdiri canggung beberapa detik, lalu gema tawa teman-teman memecah keheningan. Reuni itu riuh: musik 2000-an diputar, hidangan prasmanan menebar aroma gurih, dan lampu gantung berkedip lembut. Namun aku merasa seakan berada dalam gelembung sunyi; suaranya saja yang mampu menembus.
“Masih suka menulis?” Ia menunjuk buku catatan kecil di tanganku—kebiasaan lamaku yang tak pernah hilang.
Aku mengangguk. “Cerita pendek. Tapi…” Bibirku mengerut. “…hanya cerita tentang orang-orang yang dipertemukan, bukan dipersatukan.”
Ia tertawa lirih, lalu menatapku lekat-lekat, seolah memahami setiap jeda dalam kalimatku. “Mungkin itu juga cerita kita, ya?”
Jantungku tercekat. Tak kusangka ia akan menyebut “kita” dalam tensi yang begitu rapuh. “Bisa jadi,” bisikku.
---
Beberapa jam kemudian, pesta usai. Namun aku masih duduk di teras hotel, menunggu sopir jemputan. Kerlip lampu kota memantul di genangan hujan sore tadi.
Tiba-tiba ia muncul lagi, menggenggam dua gelas cokelat panas dari kafe terdekat. Ia menyerahkan satu padaku. “Untuk menghangatkan tanganmu,” katanya singkat.
Uap cokelat menyapu wajahku; harumnya mengaduk nostalgia. Kami duduk berdampingan, hanya dipisahkan beberapa sentimeter dan lompatan waktu sepanjang lebih dari satu dekade.
“Aku masih ingat,” ujarnya perlahan, “bagaimana kau menuliskan namaku di belakang kartu perpustakaan setiap kali kau meminjam novel.”
Aku tersipu. “Itu agar petugas tahu buku itu sudah kupesan, bukan karena aku diam-diam ingin kau melihatnya,” kilahku—meski kami sama-sama tahu aku berbohong.
Ia tertawa, kali ini lebih lepas, namun segelas memori pahit manis ikut tumpah.
“Aku yang salah,” kataku tiba-tiba. Kata-kata itu terdengar seperti pengakuan dosa yang terlambat. “Aku yang pergi tanpa penjelasan waktu itu.”
Ia menatap lurus ke depan, ke arah jalan yang basah dan sepi. “Kita sama-sama salah,” jawabnya. “Sama-sama takut, sama-sama ragu.”
Aku menggigit bibir. “Tapi kenapa rasa itu tetap ada?”
Ia menarik napas panjang. “Karena bukan rasa yang butuh dihapus, tapi cara kita menaruhnya.” Ia menoleh, menatap mataku. “Kau sudah punya tempat pulang, begitu juga aku. Rasa ini bisa tetap hidup, tapi ia harus duduk di bangku penonton, bukan di panggung utama.”
Kata-katanya menelusup, menepi di sudut hatiku yang beku. Di dalam diriku, ada ruang kecil tempat kenangan kami menari pelan, membisikkan kalimat yang sama: kita dipertemukan, bukan dipersatukan.
Kupalingkan wajah ke langit, ke awan yang perlahan pekat. “Aku kadang sulit move on,” akuku. “Bukan karena ingin kembali, tapi karena belum benar-benar pamit.”
Ia mengangguk, paham. Dari saku jasnya ia mengeluarkan sesuatu: tiket bioskop lusuh bertanggal 14 Februari 2010—film pertama (dan terakhir) yang kami tonton bersama. “Aku juga belum sempat mengucapkan selamat tinggal,” tuturnya. “Malam ini, mungkin kita bisa melakukannya.”
Aku menatap tiket itu. Kertasnya menguning, tapi angka-angkanya masih tegas. Benda sederhana itu adalah saksi bisu sebuah kisah yang terpotong.
Perlahan, ia menyodorkan tiket kepadaku. Aku menggenggamnya, merasakan teksturnya yang kasar. Lalu tanpa kata, kami berdiri dan berjalan ke tepi jalan. Di sana, aku merobek tiket itu menjadi dua bagian sama besar.
Ia mengambil satu bagian, aku memegang sisanya. Sekilas, kami saling menatap—menyimpan rindu terakhir dalam kedipan mata. Dan dalam keheningan malam, dua sobekan kecil itu terbang lepas, diantar angin menuju selokan kota yang mengilap.
Begitu kertas itu hilang di kegelapan, kami mengembuskan napas hampir bersamaan. Ada jeda ringan di dada—ruang yang tadinya dihuni sesak kini terasa lapang.
“Terima kasih,” kataku.
“Terima kasih kembali,” balasnya.
Di kejauhan, lampu mobil jemputanku mendekat. Ia melangkah mundur sambil tersenyum. “Jaga dirimu,” pesannya lembut.
“Kau juga.”
Aku masuk ke mobil, menutup pintu perlahan. Saat kendaraan bergerak, kulihat ia berdiri di bawah lampu trotoar, siluetnya diselimuti cahaya kekuningan. Ia mengangkat tangan, melambaikan salam terakhir.
Air mataku menetes—bukan air mata kehilangan, melainkan lega. Aku sadar, rasa itu tidak lagi menjerat; ia berubah menjadi kenangan yang manis-pahit, tersimpan rapi dalam laci hati.
Kadang, cerpen hidup memang hanya mempertemukan, bukan mempersatukan. Tapi justru di situlah keindahannya: ia mengajari kita bahwa perjumpaan singkat pun bisa abadi dalam ingatan, selama kita berani melepaskan.
Dan malam itu, di kursi mobil yang bergoyang pelan, untuk pertama kalinya aku sungguh-sungguh pamit pada masa lalu—lalu tersenyum sambil memeluk masa depan yang sudah menunggu di rumah.
Selesai