Hari itu seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Gea masih ingat betul bagaimana langit sore itu berwarna jingga muda saat mereka berempat—Gea, Roy, Atie, dan Febri—memutuskan untuk double date ke rumah Febri yang katanya sepi karena orang tuanya sedang ke luar kota.
"Aman kok," kata Febri waktu itu sambil nyengir. "Cuma kita aja di rumah. Santai aja."
Setelah makan malam bareng dan ngobrol di ruang tamu, Febri mendekati Atie. Mereka berbisik pelan, lalu tiba-tiba tertawa kecil. Tak lama, keduanya menghilang masuk ke salah satu kamar.
Roy melihat Gea yang tampak canggung berdiri sendirian. "Kamu takut?" tanya Roy pelan.
Gea menunduk. "Enggak juga, cuma... nggak enak aja suasananya."
Roy tersenyum lembut. "Ayo, kita ke kamar kosong aja. Ngobrol di sana. Aku nggak akan macam-macam, Gea. Aku tahu kamu anak baik-baik."
Gea menatap mata Roy, dan ia percaya. Roy memang selalu menghargainya, selalu sabar dan menjaga batas. Mereka pun masuk ke kamar kosong yang satunya. Tidak ada yang aneh, tidak ada pelukan atau sentuhan. Hanya duduk bersisian di pinggir kasur, membicarakan hal-hal ringan—tentang sekolah, impian, dan lagu-lagu yang sama-sama mereka suka.
"Kalau ada yang bilang aku jahat atau macem-macem, jangan percaya ya," kata Roy pelan, seolah bisa membaca isi hati Gea.
Gea tersenyum. "Aku percaya kamu, Roy."
---
Keesokan harinya, saat matahari siang menggigit kulit, sepupu Gea, Rosa, datang ke rumah. Wajahnya serius.
"Aku percaya sama kamu, Gea. Kamu nggak mungkin macam-macam," katanya tiba-tiba, tanpa prolog.
Gea mengerutkan kening. "Maksud kamu?"
Rosa menarik napas panjang. "Kata Atie, kamu tidur sama Roy malam itu. Dia cerita ke temen-temen juga. Tapi aku nggak percaya, Ge. Aku tahu kamu nggak mungkin kayak gitu."
Dunia Gea seperti jungkir balik. Matanya membulat, jantungnya berdegup kencang.
"Apa?" bisiknya nyaris tak terdengar. "Tapi yang tidur sama cowoknya itu... Atie sendiri, kan? Aku sama Roy cuma ngobrol di kamar."
Rosa mengangguk. "Iya, aku tahu. Tapi katanya kamu yang masuk kamar duluan, dan dia cuma nemenin Febri sebentar."
Air mata menetes perlahan di pipi Gea. Bukan karena marah, tapi karena kecewa. Atie, sahabat yang dulu ia percaya, tega menjelekkan namanya hanya untuk menutupi kesalahan sendiri.
"Kenapa dia harus begitu?" Gea bertanya lirih.
"Karena dia takut dipersalahkan. Dan kamu... kamu terlalu baik buat dicurigai. Makanya aku percaya sama kamu, Ge," kata Rosa pelan, menggenggam tangan Gea.
---
Hari-hari berikutnya terasa berat. Beberapa teman mulai menjauh, bisik-bisik muncul di lorong sekolah. Tapi Roy tetap di sisi Gea. Ia menggenggam tangan Gea di depan semua orang, menatap lurus dan penuh keyakinan.
"Kalau mereka nggak mau tahu yang sebenarnya, biarin aja. Aku tahu siapa kamu. Dan itu yang penting," bisik Roy.
Gea mengangguk pelan, air matanya jatuh lagi. Tapi kali ini bukan karena sedih—melainkan karena merasa dicintai dan dipercaya.
Di tengah gelombang fitnah dan kebohongan, Gea memilih tetap berdiri. Karena kebenaran selalu menemukan jalannya. Dan karena ia tahu, hati yang bersih tak perlu banyak bicara.
--- selesai