Di sebuah kedai tua di pinggir kota, seorang lelaki berusia lima puluh tahun duduk sendiri. Di depannya, secangkir kopi hitam mengepul pelan. Kedai itu sepi, hanya suara sendok yang kadang membentur gelas, dan musik jazz pelan yang mengalun dari radio tua di sudut ruangan.
Namanya Pak Raka. Setiap sore, sejak istrinya meninggal dua tahun lalu, ia datang ke sana. Duduk di kursi yang sama, memesan kopi yang sama, dan menatap jendela ke arah langit senja yang mulai memerah.
Hari itu berbeda. Seorang gadis muda, berusia dua puluh-an, masuk dan memesan teh. Ia melihat Pak Raka, tersenyum kecil, dan bertanya sopan, "Boleh duduk di sini?"
Pak Raka mengangguk pelan. Tak banyak bicara, seperti biasa. Tapi ada sesuatu dalam tatapan gadis itu—tatapan penasaran, hangat, dan jujur.
“Aku suka suasana di sini,” kata si gadis. “Tenang. Seperti menyembuhkan sesuatu yang retak di dalam.”
Pak Raka menoleh, untuk pertama kalinya menunjukkan senyum. “Kopi hitam juga menyembuhkan,” katanya.
Mereka bicara lama. Tentang hidup. Tentang kehilangan. Tentang harapan yang kadang datang terlambat, tapi tetap datang. Ternyata, si gadis—namanya Nara—juga baru saja kehilangan seseorang: ayahnya.
Senja berganti malam, dan dua jiwa yang sama-sama terluka perlahan merasa sedikit lebih utuh.
Sejak hari itu, Pak Raka tak lagi sendiri setiap sore. Dan Nara tak lagi menulis puisi di kertas tisu sendirian. Di kedai kopi tua itu, dua musim jiwa bertemu—satu yang telah melewati badai, satu yang sedang belajar bertahan di tengahnya.
Dan kopi hitam pun terasa lebih hangat dari biasanya.