Gelap.
Tak ada suara. Tak ada dingin. Tak ada rasa.
Naomi membuka mata perlahan. Tapi ia tidak menemukan dunia. Tidak menemukan rumah, tidak menemukan teras, dan tak juga mendengar suara Akiko.
Yang ada hanyalah ruang hampa—abadi dan bisu.
Ia masih duduk. Tapi kini tanpa kursi. Udara pun seakan tak bersentuhan dengan kulitnya. Lalu, satu demi satu, kepingan kenangan melintas di hadapannya—seperti kabut yang menggambarkan ulang hidupnya: tawa kecil Akiko, aroma sup hangat, malam-malam panjang yang ia habiskan menjahit baju Akiko di bawah cahaya redup.
"...Akiko..."
Naomi menyebut nama itu lirih, lalu suara itu menggema. Namun tak ada yang menjawab.
Tiba-tiba, cahaya menyelubungi pandangannya. Dunia yang kosong itu pecah seperti kaca—dan kini ia terbaring di atas sesuatu yang asing. Ia terbangun. Tangannya menyentuh... air?
Tapi tubuhnya tak basah.
Ia duduk perlahan, memandangi sekeliling: lautan biru sejauh mata memandang. Tidak ada gelombang. Airnya tenang, jernih, dan dangkal. Langit pun biru, cerah, seakan menyatu dengan lautan.
"AKIKO!"
Suara Naomi pecah dalam udara yang lembut. Ia berdiri dengan tergesa, menoleh ke segala arah. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada daratan. Tidak ada suara burung. Hanya dirinya... dan lautan biru yang seolah mencintainya.
Napasnya memburu. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Jiwanya guncang. Ketakutan, kerinduan, dan kebingungan menyesak dalam dadanya.
Ia duduk kembali, memeluk lututnya. Air mata mulai turun membasahi pipi. "Aku... di mana ini...? Akiko... Maafkan Mama... Aku belum sempat mengucapkan selamat tinggal..."
Tiba-tiba—
"Sayang..."
Suara itu datang dari belakang. Lembut. Hangat. Penuh cinta.
Naomi menoleh perlahan. Helaan napasnya tertahan di tenggorokan.
"Ryoichi...?"
Di hadapannya berdiri seorang pria dengan senyum yang hanya bisa dikenali oleh hati yang sangat merindukannya. Wajah yang dulu kerap hadir dalam mimpinya. Mata yang dalam. Suara yang selalu membuatnya tenang. Itu dia—Ryoichi.
Naomi berdiri, langkahnya tak yakin, lalu dalam satu gerakan—ia berlari dan memeluk Ryoichi dengan tubuh gemetar.
"Kau di sini...? Kau benar-benar di sini...?" isaknya. "Aku pikir... aku tak akan pernah lagi melihatmu..."
Ryoichi memeluknya erat. Tangannya membelai rambut Naomi seperti dulu.
"Aku menunggumu," bisiknya. "Aku selalu di sini... melihatmu dari kejauhan. Dan hari ini... aku datang untuk menjemputmu."
Naomi menangis lebih keras. Tangisnya bukan karena sedih, tapi karena seluruh perasaannya—yang selama ini ia tahan seorang diri—akhirnya punya tempat untuk diceritakan.
"Aku lelah, Ryoichi... Aku... sangat lelah... Tapi aku tetap bertahan demi Akiko. Setiap hari aku takut tak bisa melihatnya tumbuh besar. Tapi aku tetap hidup. Meski rasanya seperti mati perlahan..."
Ryoichi menggenggam tangannya erat. "Dan kau telah melakukan lebih dari cukup. Kau membesarkan Akiko dengan cinta yang bahkan dunia pun tak bisa ukur. Karena itu... langit hari ini biru. Karena itu... samudera ini bersih."
Naomi menatap sekeliling.
Cahaya matahari menerpa air, menciptakan pantulan lembut seolah Tuhan sedang menyambutnya. Lautan dan langit biru menjadi saksi bahwa hidupnya penuh pengorbanan, dan kini ia pantas mendapat ketenangan.
"Aku... sampai di surga...?"
Ryoichi mengangguk. "Surga tempat ibu yang kuat beristirahat."
Naomi tertawa kecil sambil menangis. Ia memukul dada Ryoichi pelan. "Kau jahat. Kenapa tak pernah muncul dalam mimpiku setelah kau pergi...?"
"Karena kalau aku datang, kau tidak akan kuat melepasku lagi."
Naomi diam. Hatinya pelan-pelan mulai merasa damai. Ia menunduk. "Lalu... bagaimana dengan Akiko...? Aku... aku belum siap meninggalkannya."
"Dia akan baik-baik saja," ujar Ryoichi. "Dia dikelilingi cinta. Ada Yuuichi... dan dia membawa bagian dari dirimu dalam dirinya. Dia kuat. Sama seperti kau."
Naomi mengangguk. Ia menoleh ke langit, dan untuk pertama kalinya... ia bisa tersenyum tanpa merasa sakit.
Ryoichi menggandeng tangannya, merangkul bahunya. "Mari pulang, Naomi. Tempatmu di sini sekarang."
Naomi menatap Ryoichi. Air matanya masih turun perlahan.
"Boleh... aku menangis sekali lagi...?"
Ryoichi mengangguk. "Tentu. Tapi kali ini, biarlah air mata itu menjadi ucapan selamat tinggal untuk kesedihan."
Naomi mengangguk, lalu memeluk Ryoichi sekali lagi—erat, hangat, penuh cinta.
Lautan pun bersinar lebih terang. Langit makin biru. Langkah mereka menyatu dalam irama keabadian, menjauh dari dunia yang dulu penuh luka... menuju rumah yang dijanjikan.
---
Tamat.
Pesan Author: cerita ini merupakan potongan kecil dari cerita novel "Beggining Before The End", ya... Kayak promosi gitulah, bantu dibaca dong novelnya... Terimakasih🙏
Enjoy!