Namaku Reina. Dan aku orang ketiga dalam hubungan orang lain.
Bukan karena aku mau. Bukan karena aku tidak punya hati. Tapi karena pada awalnya, aku tidak tahu bahwa dia sudah punya seseorang.
Namanya Farel. Pria dewasa dengan mata tajam, senyum hangat, dan cara bicara yang membuat siapa pun merasa didengar. Aku bertemu dengannya saat magang di sebuah firma arsitektur. Dia mentorku. Pembimbingku.
Dan—tanpa aku sadari—sumber rasa hangat yang mulai diam-diam tumbuh di dada.
Dia tidak pernah membicarakan tentang statusnya. Tidak pernah menyebut nama wanita lain. Cara dia memperhatikan, cara dia mengingat hal kecil tentangku, membuatku berpikir... mungkin aku istimewa. Mungkin aku satu-satunya.
Sampai suatu sore, saat aku memberanikan diri mengirimkan pesan:
"Aku suka kamu. Maaf kalau ini salah waktu."
Dan dia membalas dengan satu kalimat:
"Aku juga suka kamu. Tapi aku sudah menikah."
Dunia runtuh. Rasanya seperti tenggelam dalam lumpur yang tak terlihat. Aku ingin marah. Ingin pergi. Tapi entah kenapa, hati ini tidak bisa memaksa kaki melangkah.
“Kenapa kamu nggak bilang dari awal?” tanyaku waktu itu, mataku memerah.
Farel menunduk. “Karena aku pengecut. Karena aku tahu aku suka kamu, bahkan sebelum aku tahu harus berhenti.”
Aku tahu ini salah. Tapi perasaan sudah terlanjur tumbuh seperti akar liar. Kami terus bertemu. Di kantor. Di luar kantor. Diam-diam. Rahasia.
Dan setiap kali dia pulang—kepadanya—aku hanya bisa menatap layar kosong dan bertanya pada diri sendiri: "Apa aku wanita jahat?"
Suatu malam, hujan turun deras. Farel menemuiku dalam keadaan mabuk. Ia menangis. Pertama kalinya aku melihat pria itu menangis.
“Dia tahu... istriku tahu,” katanya parau.
Jantungku mencelos.
“Aku akan pisah... untuk kamu,” lanjutnya.
Tapi malam itu, aku tidak merasa senang. Aku justru gemetar. Takut.
“Kalau kamu berani meninggalkannya untuk aku... berarti kamu juga bisa meninggalkanku untuk orang lain.”
Dia terdiam. Dan aku pergi meninggalkannya di bawah hujan.
Tiga bulan sejak malam itu, aku tidak lagi bekerja di tempat yang sama. Tidak lagi bertemu dengannya. Tapi kenangan itu masih tinggal, seperti noda di sudut hati yang tak bisa dibersihkan.
Suatu sore, aku duduk sendiri di kafe kecil. Hujan kembali turun. Dan di pojok ruangan, aku melihat seorang perempuan duduk sambil menatap keluar jendela. Wajahnya cantik, elegan... dan penuh luka.
Aku mengenalnya. Itu istrinya.
Ia menoleh padaku. Dan dalam beberapa detik, mata kami bertemu. Ia tahu siapa aku. Aku tahu siapa dia. Tapi tak ada kata yang terucap.
Sampai ia tersenyum kecil dan berkata pelan, “Kamu sudah cukup menderita, kan?”
Aku mengangguk. Mataku berkaca-kaca. “Maaf...”
Ia menatapku dalam. “Jangan jadi orang ketiga dalam hidup orang lain... kalau kamu tahu rasanya jadi yang pertama yang dikhianati.”
Lalu ia pergi, meninggalkanku dengan dada sesak yang tak bisa dijelaskan.
Hari ini, aku tidak sedang mencintai siapa-siapa. Tapi aku sedang belajar mencintai diri sendiri. Aku tahu peranku dalam kisah itu salah. Tapi aku juga tahu, aku manusia yang sedang berproses.
Dan dalam diam, aku menulis satu kalimat yang tak akan pernah aku lupakan:
“Cinta tak pernah salah. Tapi pilihan kita menentukan siapa yang akan menangis di akhirnya.”