Aku, Nara, dan Raka.
Dari awal kami selalu bersama. Duduk sebangku sejak kelas 10, saling bercanda, belajar, dan tumbuh bersama di dalam tembok sekolah yang kian hari makin terasa sempit bagi rahasia yang tumbuh diam-diam di antara kami.
Nara adalah gadis manis dengan senyum yang bisa meluluhkan siapa pun. Suaranya lembut, matanya jernih seperti pagi hari pertama bulan Mei. Raka, di sisi lain, adalah cowok paling populer di sekolah. Punya segalanya—wajah, otak, dan sikap yang bikin semua guru jatuh hati. Dan aku?
Aku hanya teman mereka berdua. Penengah. Pendengar. Pengamat diam.
Tapi sejak awal, hatiku sudah condong pada Nara. Sayangnya, aku tahu... Raka juga menyukainya.
Dan lebih parahnya lagi, Nara... mencintai Raka.
Aku menyadari itu di semester dua kelas 11, saat Nara mulai sering menulis nama Raka di ujung bukunya. Saat matanya bersinar saat Raka datang. Saat dia mulai bercerita padaku—tentang betapa deg-degannya dia saat dekat Raka.
"Kayaknya aku suka dia deh," katanya pelan.
Aku tersenyum. "Bagus, kalau itu bikin kamu bahagia."
Tapi saat itu aku menunduk. Karena jika aku menatap Nara terlalu lama, air mataku mungkin jatuh.
Suatu hari, saat hujan turun deras dan kami bertiga terjebak di aula sekolah setelah kegiatan OSIS, Raka menoleh padaku. Pandangannya serius.
“Gue tahu lo suka dia, Ra.”
Jantungku berhenti sejenak. Aku menatapnya.
“Kita temenan dari kecil. Gue nggak mau kehilangan itu,” lanjutnya.
Aku mengangguk. Tapi dalam hati, rasanya seperti dipaksa memilih antara dua luka: kehilangan Nara... atau kehilangan sahabatku sendiri.
Nara dan Raka akhirnya bersama. Semua orang menyebut mereka pasangan paling cocok di sekolah. Tapi hanya aku yang tahu, Nara sering menangis diam-diam. Ia datang ke rumahku malam-malam hanya untuk menumpahkan air mata.
"Aku ngerasa Raka makin jauh," katanya sambil terisak. "Aku nggak ngerti dia kenapa."
Aku diam. Ingin memeluknya. Ingin bilang, “Kalau kamu jadi milikku, aku nggak akan pernah membuatmu menangis.” Tapi aku hanya menatapnya, membiarkannya bersandar di bahuku tanpa kata.
Hingga suatu malam, Nara mengirim pesan:
"Boleh jujur nggak? Aku pernah berharap kamu yang nyatain duluan."
Dunia seperti berhenti berputar.
Dan malam itu aku balas, dengan jari gemetar:
"Masih belum terlambat, Na."
Tapi balasannya hanya, "Maaf, aku udah milih dia. Meski aku ragu, tapi aku mau pertahanin pilihan itu."
Sekarang, di tahun terakhir kami di sekolah, aku berdiri di tepi lapangan upacara, menatap mereka dari jauh. Nara tersenyum pada Raka, tapi sorot matanya penuh kehampaan. Raka menatap langit, seperti ada yang hilang dalam dirinya.
Dan aku? Aku masih menjadi pengamat. Diam. Tapi tidak lagi menyimpan harapan.
Karena dalam cinta segitiga, selalu ada satu orang yang memilih pergi. Bukan karena kalah... tapi karena memilih untuk tidak menghancurkan dua hati sekaligus.
"Aku mencintaimu, Nara. Tapi aku juga mencintai kalian... bertiga. Termasuk persahabatan ini."
Dan kadang, cinta yang paling besar adalah yang tidak pernah diucapkan.