Hari Senin pagi itu mendung. Langit seperti diselimuti selimut abu-abu yang berat. Di halaman sekolah, siswa-siswi berlarian menuju kelas karena rintik hujan mulai turun.
Alya berdiri di depan gerbang sambil memeluk buku ke dadanya. Ia lupa membawa payung. Lagi. Seperti biasanya. Tapi yang berbeda hari itu adalah suara langkah kaki yang mendekat dan payung biru yang tiba-tiba terbuka di atas kepalanya.
"Awas basah," kata suara itu.
Alya mendongak. Deg.
Itu Reza. Cowok pendiam di kelas sebelah. Yang selalu duduk paling belakang dan jarang berbicara, tapi entah kenapa, selalu muncul di saat yang tidak diduga-duga.
"Kamu... kok tahu aku nggak bawa payung?" tanya Alya canggung.
Reza tersenyum kecil. "Soalnya Senin lalu kamu juga nggak bawa. Aku nebak aja."
Alya terdiam. Mereka berjalan beriringan menuju kelas, berdua di bawah satu payung. Jarak mereka begitu dekat, sampai-sampai Alya bisa mendengar degup jantungnya sendiri. Atau mungkin itu suara hujan. Entahlah.
Sejak hari itu, Reza sering muncul tiba-tiba. Kadang ia menunggu Alya di depan kelas dengan dua gelas es teh di tangan. Kadang duduk di pojok perpustakaan dan menyodorkan buku yang diam-diam sedang Alya cari. Tanpa banyak kata, tapi penuh perhatian.
"Aku heran, kenapa kamu selalu tahu aku butuh apa," kata Alya suatu hari.
Reza menatap matanya, lalu berkata pelan, "Karena aku selalu memperhatikan kamu. Sejak awal masuk sekolah ini."
Alya terdiam, hatinya menghangat.
Dan di hari Senin lainnya, ketika hujan turun lebih deras dari biasanya, Alya datang dengan dua payung.
Satu untuknya. Satu lagi ia sodorkan pada Reza.
“Sekarang giliranku yang nebak,” katanya sambil tersenyum. “Kamu pasti lupa bawa payung.”
Reza tertawa kecil, matanya bersinar. Hari itu, di bawah dua payung yang saling bersisian, dua hati yang selama ini hanya saling mengamati mulai berani saling mendekat.
Hujan masih turun. Tapi kini terasa hangat.