Asavella hidupnya kayak rumah singgah aja, tempat orang-orang datang buat numpang sebentar trus pergi. Dia selalu ada buat orang lain, tapi kayaknya gak ada yang bener-bener peduli sama dia. Asavella punya hati yang lembut dan selalu ingin membantu orang lain, tapi dia juga punya keinginan untuk dicintai dan dihargai.
Suatu hari, Asavella kenal sama Zaine, cowok yang keliatannya baik banget. Zaine punya masalah dengan keluarganya dan Asavella selalu ada buat mendengarkan. Mereka sering ngobrol dan cerita sama sama, Asavella merasa kayak udah nemu orang yang bener-bener ngerti dia.
"Hey, Asavella, aku bisa cerita sama kamu tentang masalahku?" tanya Zaine suatu hari, dengan mata yang merah karena kurang tidur.
"Ya, tentu saja, aku ada buat kamu," jawab Asavella dengan senyum, sambil menyodorkan segelas kopi panas.
Tapi, lama-lama Asavella sadar kalau Zaine gak bener-bener peduli sama dia. Dia cuma pake Asavella buat curhat masalahnya, gak pernah dengerin atau ngerti perasaan Asavella. Asavella merasa sakit hati dan kecewa, tapi dia masih ingin membantu Zaine.
Suatu hari, Zaine meminta Asavella untuk membantu dia menghadapi masalah keluarganya. Asavella setuju, tapi Zaine tidak pernah mengucapkan terima kasih atau mengakui bantuan Asavella.
"Aku capek, Zaine. Kamu cuma cerita masalahmu ke aku, tapi gak pernah tanya tentang aku," kata Asavella suatu hari, dengan nada kesal.
Zaine keliatan keheranan. "Apa maksudmu? Aku pikir kamu suka dengerin cerita aku."
Asavella merasa marah dan sakit hati. "Aku gak mau jadi rumah singgah buat kamu lagi," kata Asavella ke Zaine, dengan nada tegas.
Zaine keliatan sedih dan meminta maaf, tapi Asavella sudah tidak percaya lagi. Asavella memutuskan untuk menjauhi Zaine dan fokus pada dirinya sendiri.
"Aku ingin jadi lebih dari sekedar rumah singgah," kata Asavella kepada dirinya sendiri, dengan tekad yang kuat.