Asavella selalu memiliki tempat khusus di hatinya untuk membaca novel. Setiap kali dia menyelesaikan sebuah buku, dia langsung memburu novel baru untuk dibaca. Namun, semakin hari, kecintaannya pada dunia sastra tidak hanya berhenti pada membaca. Dia mulai penasaran dengan proses kreatif di balik setiap kata yang tertulis.
Suatu hari, Asavella menemukan sebuah aplikasi yang mengadakan lomba menulis novel online. Tanpa pikir panjang, dia memutuskan untuk bergabung. Dengan tangan gemetar, dia mulai menulis karya pertamanya. Kisah itu terinspirasi dari pengalaman hidupnya sendiri, pengalaman yang dia simpan rapat-rapat di dalam hati.
Tak disangka, karya pertamanya mendapatkan peringkat tertinggi di aplikasi tersebut. Penerbit buku langsung menghubunginya, menawarkan kesempatan untuk menerbitkan novelnya secara gratis. Bahkan, mereka juga memberikan kesempatan untuk menjual novelnya di sebuah toko buku terkenal.
"Selamat, Asavella! Novelmu sangat bagus! Kami ingin menerbitkannya secara gratis dan menjualnya di toko buku kami," kata seorang editor melalui telepon.
Asavella tak percaya. Semua temannya, termasuk Ante dan Serli, memberikan selamat dan dukungan. Mereka tidak tahu bahwa novel itu sebenarnya terinspirasi dari pertemanan mereka sendiri.
"Wow, Asavella! Aku sangat bangga denganmu!" kata Ante saat mereka bertemu di sekolah.
"Ya, aku juga! Aku tidak tahu kamu bisa menulis novel yang begitu bagus!" Serli menambahkan, tanpa menyadari bahwa novel itu tentang persahabatan mereka.
Asavella tersenyum tipis, tidak ingin mengungkapkan rahasia di balik novelnya. "Terima kasih, guys! Aku sangat senang kalian menyukai novelku."
Seiring waktu, Asavella semakin produktif menulis novel-novel baru. Setiap kali dia mengalami kejadian pahit, dia menuangkannya ke dalam karyanya. Ketika Serli, sahabat baiknya, merebut Ante darinya, Asavella menulis kisah itu dengan kata-kata yang pedih.
"Aku tidak percaya kamu bisa melakukan ini padaku, Serli," Asavella menulis dalam novelnya.
Karya-karyanya menjadi obat sakit hatinya, cara dia menghadapi pengkhianatan orang terdekatnya. Namun, di balik semua kesuksesannya, Asavella mulai menyadari bahwa karya-karyanya tidak hanya menjadi pelarian, tapi juga cara dia menghadapi kenyataan hidup.
"Apa kamu baik-baik saja, Asavella?" tanya Ante suatu hari, saat mereka bertemu di koridor sekolah.
Asavella tersenyum getir. "Aku baik-baik saja, Ante. Aku hanya menuangkan perasaan aku ke dalam kata-kata."
Ante memandanginya dengan penuh tanda tanya, tapi tidak melanjutkan pertanyaan.
Asavella tahu bahwa kata-katanya bisa menyentuh hati orang lain, bahkan jika itu tidak bisa menyembuhkan hatinya sendiri. Dan itu sudah cukup baginya.