Malam itu, Reva baru pulang dari rumah temannya yang ada di ujung desa. Jalanan gelap, hanya diterangi senter dari HP-nya. Ia melewati jalan setapak yang katanya sudah lama dikutuk — orang-orang desa menyebutnya Jalan Sunyi.
“Kalau lewat sana jangan nengok ke belakang,” begitu pesan neneknya tadi.
Tapi Reva tak percaya hal-hal begituan. Ia tetap berjalan cepat, mendengarkan suara jangkrik dan angin yang meniupkan bau aneh — seperti bunga melati busuk.
Langkah kakinya terdengar menggema…
Tap... tap... tap...
Tapi lama-lama, ia mendengar langkah lain di belakangnya.
Tap... tap... tap...
Ia berhenti. Langkah itu juga berhenti.
Reva menelan ludah. “Paling cuma hewan…”
Ia lanjut berjalan. Tapi suara langkah itu makin dekat. Makin cepat. Seakan mengejarnya.
Akhirnya Reva tak tahan. Ia menengok ke belakang.
Kosong.
Tidak ada siapa-siapa.
Namun, begitu ia menoleh lagi ke depan, jalan yang tadi lurus... kini berubah. Pepohonan tumbuh rapat, gelap, dan asing. Ia mencoba menyalakan HP — mati total. Tidak ada sinyal.
Dari balik semak, terdengar suara perempuan berbisik pelan:
> "Kenapa kamu lihat ke belakang...?"
Reva membalikkan badan, namun yang ada hanyalah bayangan hitam menjulang… bermata merah menyala.
Semua menjadi gelap.
Esok pagi, warga menemukan HP Reva tergeletak di Jalan Sunyi. Tapi Reva… tidak pernah ditemukan.