Di sebuah desa kecil yang dikelilingi bukit hijau dan ladang padi yang menguning, tinggal seorang gadis muda bernama Ayla. Ayla cantik bukan kepalang. Kulitnya bening seperti embun pagi, dan matanya bersinar laksana bintang jatuh. Namun, hidupnya sederhana, bahkan nyaris kekurangan. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah gubuk reot dan tiap hari menjual bunga hasil tanamannya di pasar kota kecil.
Suatu pagi, saat Ayla menjajakan mawar putihnya, sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Kaca mobil diturunkan, dan muncullah wajah seorang pria tampan, mengenakan setelan jas rapi dan jam tangan mahal. Ia memperhatikan Ayla dengan pandangan tajam namun hangat.
Namanya Arvino Mahendra — pewaris tunggal keluarga Mahendra Group, konglomerat properti yang menguasai separuh kota.
"Aku ingin semua mawar ini," ucap Arvino sambil mengulurkan segepok uang yang bahkan melebihi pendapatan Ayla dalam dua bulan.
Hari itu, takdir mereka dimulai. Arvino kembali ke pasar minggu berikutnya, lalu minggu-minggu berikutnya, bukan lagi untuk membeli bunga—melainkan untuk bertemu Ayla. Mereka mulai berbincang, lalu tertawa bersama. Dunia Ayla yang semula kelabu perlahan berubah menjadi warna-warni.
Hingga pada suatu senja, di taman bunga yang dirancang khusus oleh Arvino, pria itu berlutut dan melamarnya.
“Ayla… jadilah istriku. Tak peduli latar kita berbeda. Yang kutahu, aku mencintaimu.”
Ayla menitikkan air mata. Ia tidak menyangka cinta bisa datang dari dunia yang begitu jauh dari miliknya.
Pernikahan mereka bak dongeng. Media menyorotinya, masyarakat memperbincangkannya. Seorang gadis desa menikahi pewaris tahta perusahaan besar. Banyak yang iri, tak sedikit pula yang mencibir. Tapi Ayla dan Arvino bahagia. Ia yakin cinta mereka lebih kuat dari segalanya.
Hingga enam bulan kemudian, segalanya berubah.
Ayla menemukan sebuah amplop di ruang kerja Arvino—tertulis "Kontrak Pernikahan" di sampulnya. Tangannya bergetar saat membuka dan membaca isinya: perjanjian selama satu tahun, setelah itu Ayla akan diberi kompensasi besar, lalu pernikahan akan "berakhir secara damai".
Dunia Ayla runtuh.
Malam itu, Ayla menghadapi Arvino. “Jadi ini semua cuma... kesepakatan?”
Arvino tak menjawab. Tatapannya kosong, namun ada luka yang jelas di sana. Akhirnya ia bicara, lirih, “Awalnya, iya. Ayahku memaksaku menikah untuk memperbaiki citra perusahaan. Mereka memilihmu karena... kamu terlihat ‘lugu’ dan publik menyukaimu.”
Ayla terdiam. Tangisnya jatuh tanpa suara.
“Tapi semuanya berubah,” lanjut Arvino. “Aku jatuh cinta sungguhan, Ayla. Kamu bukan ‘proyek’ lagi. Kamu adalah rumah yang selalu kucari.”
Ayla pergi malam itu. Tak membawa apa-apa, kecuali dirinya sendiri. Ia kembali ke desa. Dunia mengira ia kalah, bahwa kisah si gadis desa telah berakhir.
Namun satu tahun kemudian, kota kembali dihebohkan. Ayla muncul kembali, kali ini sebagai CEO muda dari startup florikultura yang berhasil menembus pasar internasional. Di sebuah konferensi bisnis, ia berdiri di podium, anggun dan percaya diri.
Dan di barisan depan, Arvino duduk—menatapnya, kali ini dengan bangga dan tak meminta kembali. Ia tahu, cinta tak bisa dipaksakan. Tapi Ayla? Ia tersenyum kecil ke arahnya, lalu berkata lewat mikrofon:
"Terima kasih pada mereka yang menjadikanku cerita pinggiran. Tanpa itu, aku takkan pernah tahu bahwa aku pantas menjadi tokoh utama."