Langit senja di Kerajaan Astralei selalu berwarna ungu keperakan. Konon, warna itu berasal dari kutukan lama yang diwariskan sejak zaman Raja Pertama. Namun, bagi Ratu Celeste, warna langit senja adalah pengingat luka paling dalam, dalam hidupnya: hilangnya putri satu-satunya, Alivra.
Tujuh belas tahun lalu, tepat di malam kelahiran Alivra yang pertama, badai gelap menyelimuti istana. Kilatan petir merobek langit dan raungan makhluk gaib terdengar hingga menembus jendela kaca patri menara istana. Ketika badai reda, ranjang bayi itu kosong. Tak ada tanda perlawanan. Hanya boneka kelinci dari benang emas yang tergeletak di lantai dan hangus di ujungnya.
Raja Thalor memerintahkan pencarian besar-besaran, dari desa terpencil di utara hingga rawa-rawa berhantu di selatan. Para ksatria, penyihir istana, bahkan peramal tertua di lembah Elura dikerahkan. Tapi semua sia-sia. Putri Alivra lenyap, seperti ditelan langit malam.
Ratu Celeste berhenti tersenyum sejak hari itu. Tak ada pesta, tak ada musim semi. Istana Astralei seperti mayat hidup: bernafas tapi tak hidup.
Namun takdir selalu punya cara menyulam cerita.
Tepat tujuh belas tahun kemudian, di sebuah desa kecil bernama Ravelyn, tinggal seorang gadis bernama Elira. Ia tumbuh dalam kesederhanaan. Ia tinggal bersama seorang wanita tua bernama Nanny Lure, yang mengatakan bahwa Elira ditemukan tergeletak di tepi hutan saat masih bayi.
Elira sangat berbeda dari yang lain. Rambutnya keperakan seperti embun beku dan matanya ungu seperti langit senja. Penduduk desa sering berbisik-bisik bukan karena ia jahat, tapi karena ia terlihat terlalu istimewa.
Suatu hari, saat Elira tengah memetik bunga liar di padang rumput. Ia melihat sesuatu yang aneh: seekor burung hantu berwarna emas, melayang rendah lalu menjatuhkan gulungan kain ke tanah. Di dalam kain itu, ada medali kecil bertuliskan: "Alivra Astralei, Cahaya Sang Ratu"
Tangannya bergetar. Nama itu seolah memanggil sesuatu dalam dirinya. Malam itu ia memimpikan istana dengan dinding kristal, suara lembut yang memanggil namanya dan seorang wanita yang menangis dalam keheningan.
Di sisi lain, Istana Astralei masih berjuang menerima kenyataan. Namun seorang penyihir istana, Kael dari Orundell menerima penglihatan aneh saat membaca bintang.
“Putri yang hilang akan kembali di bawah bulan ketujuh belas, dituntun oleh sayap emas dan nyanyian kelinci.”
Ratu Celeste gemetar. Tak ada yang tahu, kecuali ia dan Raja Thalor, bahwa boneka yang ditemukan di malam penculikan Alivra adalah kelinci dari benang emas.
Maka pasukan pencari dikirim diam-diam, menyusuri desa-desa dengan lambang burung hantu emas sebagai petunjuk.
Dua minggu kemudian, Elira ditangkap oleh para prajurit istana saat ia sedang menolong seorang anak kecil di pasar. Ia dibawa dalam keadaan terikat, namun tak disakiti. Ratu Celeste langsung datang, menatap gadis itu dari ujung singgasananya.
Saat mata mereka bertemu, waktu seolah berhenti.
"Namamu?" tanya sang Ratu, suaranya nyaris bisikan.
"Elira..." jawab gadis itu pelan.
Celeste bangkit. Ia melangkah perlahan, tangan gemetar menyentuh pipi Elira.
"Namamu... Alivra."
Elira menunduk. “Saya tidak tahu siapa saya sebenarnya.”
“Kalau begitu biarkan darahmu yang menjawab,” ujar Kael, dan ia mengeluarkan kristal uji darah kerajaan. Ketika tetesan darah Elira menyentuh kristal itu, cahaya ungu menyala terang, menari-nari di udara seperti bunga musim semi yang lama hilang.
Istana pun bergemuruh. Berita kembalinya Putri Alivra menyebar secepat angin utara. Namun, tidak semua menyambut dengan bahagia.
Di ruang rahasia bawah tanah, seorang wanita berjubah gelap mengamati kristal sihirnya yang retak.
“Dia kembali…” gumamnya. “Rantai harus diulang.”
Ia adalah Morvanna, mantan penasihat raja yang dibuang karena bermain dengan sihir terlarang. Tujuh belas tahun lalu, ia yang menculik Alivra karena ramalan tua yang mengatakan bahwa sang putri akan menghancurkan kekuasaan kegelapan. Namun Alivra lolos dan tumbuh di luar kendali Morvanna.
Kini, ia harus melenyapkan sang putri sebelum ramalan itu jadi kenyataan.
Sementara itu, di istana Alivra menjalani pelatihan keras. Ia harus belajar etiket kerajaan, sejarah, seni diplomasi, bahkan bela diri dasar. Tapi yang paling sulit baginya adalah menerima bahwa dirinya adalah orang lain.
Kadang malam ia menangis diam-diam di balkon kamarnya.
“Aku bukan mereka. Aku bukan sang putri.”
Namun Ratu Celeste selalu datang, diam-diam menyelimuti tubuh putrinya, dan berbisik, “Kau mungkin tak lahir untuk jadi ratu, tapi kau lahir dari cintaku.”
Kata-kata itu adalah mantra yang membuat Alivra bertahan.
Suatu malam, selama pesta penyambutan di istana, seekor burung hantu emas terbang masuk ke aula besar, menjatuhkan surat kecil bertuliskan:
“Alivra, datanglah ke Hutan Dendam pada tengah malam. Temukan dirimu.”
Tanpa pikir panjang, Alivra pergi. Ia memakai jubah pelayan dan menyelinap keluar istana.
Hutan Dendam terkenal berhantu. Tapi ketika Alivra masuk, ia tidak merasa takut. Justru pohon-pohon berbisik padanya. Kabut menyibak jalan.
Di tengah hutan, ia menemukan batu bundar besar. Di atasnya berdiri Morvanna.
“Akhirnya kau datang, Putri Cahaya.”
“Mengapa aku dibawa pergi saat kecil?”
“Karena takdir lebih baik dibungkam. Aku tak ingin kerajaan ini runtuh oleh cahaya yang terlalu terang.”
“Mengapa aku?”
“Karena kau berbeda. Dalam darahmu mengalir kekuatan purba yang mampu menghancurkan bayangan yang telah aku bangun selama berabad-abad.”
Alivra mengangkat dagu. “Kalau begitu, biarkan cahaya itu menyala.”
Pertarungan pun terjadi. Morvanna memanggil bayangan dari tanah, makhluk-makhluk hitam dengan mata merah. Tapi Alivra memejamkan mata.
Dari dalam dirinya, seberkas cahaya muncul. Ia tidak tahu bagaimana, tapi ia merasa ini adalah bagian dari dirinya yang telah lama tidur.
Cahaya ungu menyembur dari telapak tangannya, membakar bayangan menjadi debu. Jerit Morvanna menggema ketika sihir gelapnya ditelan cahaya murni.
“Tidakkkk!”
Dengan satu teriakan, Alivra menghancurkan batu hitam yang menjadi sumber kekuatan Morvanna. Segalanya runtuh, hutan pun kembali tenang.
Ketika ia kembali ke istana, seluruh pasukan telah mencari semalaman. Ratu Celeste berlari memeluknya erat.
“Aku menemukan diriku, Ibu,” bisik Alivra. “Dan aku memilih untuk kembali.”
Mulai hari itu, Alivra bukan hanya seorang putri. Ia menjadi pelindung kerajaan dari sihir gelap, pembawa harapan baru, dan lambang kekuatan yang lahir dari kehilangan.
Langit Astralei tak lagi keperakan. Kini, ia berubah menjadi warna fajar: ungu terang, menyambut masa depan yang baru.
---