.
Cerita ini adalah cerita yang aku buat untuk event menulis di sebuah grup literasi tahun 2019. Bukan cerita terjemahan ya, Guys. Ini asli karyaku 🙏 Selamat Membaca*
.
.
~April 2019~
Wushh!
Sret!
"Argh!"
Embusan angin disusul rasa sakit seperti disayat benda tajam di betis kiri membangunkanku dari mimpi indah. Aku langsung membuka mata, lalu beringsut duduk dan memeriksa betis kiriku yang ternyata memang benar tersayat serta mengeluarkan sedikit darah. Dari mana luka ini?
Aku tersentak saat alarm yang kuatur di ponsel semalam berdering keras. Kuraih benda pipih panjang itu, mematikan alarm-nya dan tak sengaja melihat tanggal yang tertera di sana. 15 April. Ah, besok ulang tahunku yang ke-18.
Tak mau ambil pusing dengan goresan tadi, aku turun dari ranjang, ke luar kamar dan menuruni tangga yang terhubung ke ruang makan. Keadaan rumah sangat sepi, membuat suara langkahku terdengar sangat jelas dan sedikit menggema. Ke mana semua orang?
Ketika baru setengah menuruni tangga, kuhentikan langkah karena merasa ada yang mengawasi dari lantai dua. Dengan ragu, kubawa pandangan ke arah yang sama. Kosong, tak ada siapa pun.
"Ibu?" ujarku ragu-ragu. Namun, tidak ada jawaban. Sunyi, hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Oh, aku lupa. Sejak tiga hari yang lalu, Ibu pergi ke Banjarmasin untuk perjalanan dinas. Itu berarti, aku hanya seorang diri di rumah karena Ayah masih di kantor dan sekarang baru pukul delapan pagi.
Entah mengapa udara terasa lebih dingin dari pagi-pagi sebelumnya, membuat bulu kudukku berdiri. Ah, kenapa aku jadi paranoid begini sih?
Sebelum kembali melanjutkan menuruni tangga, mataku tak sengaja melihat dinding di samping tangga yang terdapat bingkai foto berisi potret dua gadis berwajah mirip, dengan sebuah cake ulang tahun di depan mereka. Senyum mengembang menghiasi bibir keduanya. Ah, manis sekali.
Keningku mengernyit dan seketika menoleh ke samping, ketika tiba-tiba mendengar suara bisikan tepat di telingaku.
'Ghina, aku akan memberi kado, untuk ulang tahunmu besok.' Begitulah bisikan itu.
Mataku bergulir memeriksa sekeliling. Tidak ada siapa pun. Aku terhenyak, ketika dengan jelas mendengar suara seseorang menyanyikan lagu ulang tahun. Bukan suara ceria yang biasa dinyanyikan ketika acara ulang tahun, tetapi suara serak dan berat. Asalnya dari lantai dua. Dengan sedikit terburu aku melangkah kembali menaiki tangga. Suara itu semakin jelas. Suara wanita.
Kuedarkan pandangan di sekitar lorong lantai dua. Di lantai ini terdapat tiga ruangan. Dua kamar dan satu gudang. Salah satunya adalah kamarku.
Suara itu bukan berasal dari kamarku atau kamar kosong di sebelahnya, tetapi dari gudang. Ya, aku yakin itu berasal dari sana. Ketika menoleh ke arah ruangan tersebut, ekor mataku seperti melihat seseorang berlari sangat cepat dan masuk ke sana.
Pintu gudang bergerak-gerak kecil. Siapa yang masuk ke gudang? Nyanyian ulang tahun menyeramkan yang kudengar sudah lenyap. Apa aku hanya berhalusinasi?
Dengan sedikit ragu, kulangkahkan kaki mendekati pintu gudang. Tanganku sudah bertengger di atas knop pintu. Bersiap untuk membuka, sebelum ponselku berdering keras. Memecah kesunyian. Nama Ayah menari-nari di sana.
Aku melupakan tentang suara nyanyian atau seseorang yang melesat masuk ke dalam gudang dan segera mengangkat panggilan telepon tersebut.
"Hallo?"
[Ghina, nanti sore ayah akan menjemputmu. Jadi, sebelum ayah sampai kamu harus sudah siap. Agar kita tidak kemalaman, acaranya dimulai pukul lima sore.] Suara datar Ayah terdengar di gendang telingaku.
"Acara?"
[Ya, kamu tidak lupa, 'kan? Hari ini tanggal 15 April.]
"Aku tidak lupa, tapi apa Ibu juga akan hadir?"
[Tentu saja. Ibumu akan mendarat pukul dua.]
"Baiklah, aku akan bersiap pukul tiga sore."
[Ayah tutup teleponnya, ya? Ayah masih banyak pekerjaan yang—]
Ucapan Ayah langsung terhenti, karena aku menyela, "Ayah, besok ulang tahunku? Ayah tidak lupa, 'kan?"
Tak ada jawaban yang kudengar hingga beberapa detik.
[Kalau lupa, ayah tidak akan mengadakan acara peringatan, Ghina. Ayah ingat, tapi acara nanti sore lebih penting. Sudah, ya. Ayah sibuk.] Sambungan berakhir.
Bukan acara peringatan itu yang kuharapkan. Aku mendengkus seraya tersenyum miris. Selalu saja begini. Perasaanku yang terluka berulang kali karena sikap mereka. Kenapa mereka semua tak pernah mengerti perasaanku. Apa aku tetap jadi nomor dua, meskipun keadaan sudah berbeda?
Kuhela napas dengan kasar. Mereka benar-benar tak peduli padaku.
***********************************
Aku berbaring di atas ranjang, ketika melihat jam di ponsel masih menunjukkan pukul 13:30. Ah, masih ada waktu untuk berbaring sebentar sebelum Ayah menjemput. Toh, aku sudah berpakaian rapi.
Kuputar lagu Because I Love You Boy milik Suzy dari pemutar musik di ponsel. Suara indah Nations First Love Korea itu membuatku perlahan memejamkan mata.
Tidak sampai pertengahan lagu, ketika rasa kantuk mulai menyerang, aku tersentak kaget dan langsung membuka mata ketika suara indah Suzy berganti suara seorang wanita yang meraung meminta tolong sambil menyebut namaku.
'Tolooong! Tolong aku, Ghina! Jangan tinggalkan aku! Aku tidak bisa bernapas!!" Jeritan itu menggema memekakkan telinga.
Aku segera beringsut duduk dan meraih ponsel. Berusaha mematikan, tetapi ponselku tetap menyala.
'Ghina ... tolooong ....' Suara lolongan panjang yang nyaring itu membuatku memejamkan mata. Terasa seperti telingaku akan pecah mendengarnya. Kulempar ponsel itu ke samping.
Suara itu hilang. Aku kembali membuka mata.
"Aaa!"
Wajah seorang gadis yang tidak asing, berada tepat di depan wajahku. Wajahnya seputih kapas. Tatapannya sangat menakutkan, meskipun kosong. Sangat dalam menatapku.
Aku tercekat untuk beberapa saat, sebelum akhirnya sosok itu hilang. Sambil mengatur napas yang sedikit memburu, kulirik ponsel yang kini kembali melantunkan lagu. Masih lagu yang baru kuputar tadi. Namun, belum sempat bernapas lega, aku kembali tersentak saat melihat jam yang tertera di ponsel menunjukkan pukul 23:54.
Kuarahkan pandangan ke jendela. Gelap. Tunggu, bukankah tadi pukul 13:30?
Aku sedang menunggu Ayah menjemput, bukan? Apa tadi itu hanya mimpi? Rasanya, baru saja aku berbaring di sini, bahkan lagu milik Suzy belum habis terputar.
Kuperhatikan baju yang menempel di badan. Kemeja dan celana hitam. Tetap pakaian yang kukenakan, sebelum memutuskan tidur sebentar sambil menunggu Ayah menjemput. Rasa heran langsung menyelimuti. Oh, astaga! Ayah pasti marah karena aku tidak datang ke acara peringatan itu.
Baru saja hendak turun dari ranjang, suara wanita itu kembali terdengar. Kali ini bukan jeritan minta tolong. Namun, nyanyian lagu ulang tahun, persis seperti yang kudengar tadi pagi.
'Happy brithday to you ... happy brithday to you ....' Nyanyian yang terdengar menyeramkan itu terus menggema dan semakin beruntun. Suaranya yang serak dan berat sangat menyiksa pendengaran.
Entah dari mana, aku merasa sesuatu yang berat menghantam tubuhku, hingga aku terbaring di atas tempat tidur.
Aku berusaha menggerakkan badan. Namun, tubuhku terasa kaku dan sama sekali tak bisa digerakkan. Bahkan mata pun tak sanggup terbuka. Bau busuk menyeruak, bersamaan dengan embusan angin yang menerpa. Ya Tuhan, ada apa denganku? Suara siapa yang menghantuiku itu?
Terdengar bisikan, "Kau tidak mungkin melupakanku, bukan?" Tepat di depan telingaku
Suara itu ... suara yang sangat kukenali. Dengan sekuat tenaga aku berhasil bangkit. Keringat dingin membasahi kening. Rasa takut semakin menguasai raga. Ekor mataku tak sengaja menangkap sosok berambut panjang berantakan yang tengah berdiri memunggungi, beberapa meter di depanku.
Ketika lamat-lamat kuperhatikan, tiba-tiba kepalanya berbalik menghadapku. Hanya kepala, sementara tubuhnya tetap memunggungiku. Oh, astaga! Sudah jelas itu bukan manusia.
Tunggu. Wajahnya ... mirip denganku, tapi sangat menyeramkan. Pucat dan tatapannya kosong.
"Selamat ulang tahun, Ghina. Aku datang." Belum sempat mencerna ucapannya, dia melayang menghantam tubuhku hingga kembali terbaring, kali ini di lantai. Sosok itu mencekikku dengan brutal.
Badanku terasa berat. Sesak megimpit dada. Aku tak bisa bernapas. Ingin menjerit, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Sosok itu menatapku tajam.
"Ini kado ulang tahun dariku, Ghina. Kuberikan di waktu yang sama. Seperti kado yang kau berikan padaku, setahun lalu." Seringainya muncul. Tampak puas melihatku hampir kehabisan napas. "Sempurna, bukan? Kadonya kuberikan tepat semenit sebelum ulang tahunmu!!" Sosok itu melolong panjang tepat di depan wajahku. Sambil tangannya terus mencekikku. Samar-samar aku melirik ke arah jam yang terdapat di dinding. Pukul 23:59.
Ya Tuhan, apa aku akan melewatkan ulang tahunku?
Pasokan oksigen semakin menipis, pandanganku mulai kabur. Sakit. Samar-samar kudengar sosok itu berujar, "Bagaimana rasanya kehabisan napas? Ah, kuharap kamu suka, Ghina. Itu 'kan kado dariku. Kado yang kuberikan di waktu yang sama, seperti tahun lalu. Sekarang, setiap tanggal 15 April ... Ayah dan Ibu akan membuat acara peringatan kematian tidak hanya untukku, tapi untuk kita berdua."
Setelah itu aku tak mendengar apa pun, rasa sakit dan sesak di dada semakin membuatku susah bernapas. Gelap.
**************************************
~15 April 2018. 06:00~
"Ghina! Kau sudah bangun?"
Suara Ghita membuat Ghina yang tengah bergumul dengan selimutnya, menggeliat.
"Ghina!" Ghita berteriak sekali lagi. Namun, Ghina malah semakin menarik selimut agar membungkus seluruh tubuh. Tak mengacuhkan teriakan Ghita, saudari kembarnya.
"Ghina! Bangun, dong!" Ghita menggoyang-goyang tubuh gadis yang mengenakan piyama merah itu.
Ghina hanya bergumam. Ghita mulai menarik-narik kaki gadis yang wajahnya sangat mirip dengan dirinya. Tentu saja, mereka kembar indentik.
"Ghita!" seru Ghina kesal, sambil menggeliatkan kaki agar Ghita melepaskannya. "Hentikan itu! Aku masih ngantuk!"
"Enggak! Hari ini kamu harus bangun pagi! Apa kamu lupa? Besok adalah ulang tahun kita. Jadi, kita harus bertukar kado hari ini," ujarnya dengan semangat.
Bertukar kado sehari sebelum tanggal ulang tahun, memang sudah menjadi kebiasaan mereka berdua.
"Bangun!"
"Aku masih ngantuk, Ghit. Aku tidur pukul tiga pagi, karena belajar," gerutu gadis itu seraya mengucek mata beberapa kali.
"Astaga, Ghina ... kenapa harus sampai begadang? Nilaimu sudah cukup baik, kok. Delapan." Ghita duduk di tepi ranjang. "Dengan nilai segitu, kamu sudah bisa lulus," katanya lagi seraya membawa kaki bersila.
"Aku tau, tapi Ayah bilang, aku harus mendapat nilai di atasmu, jika ingin mengikuti kursus piano," sungut Ghina. Gadis itu memang tidak lebih pintar dari Ghita dalam hal akademik, tetapi ia sangat lihai bermain musik, terutama Piano. Jiwa seninya sangat kuat.
"Kamu pengin banget kursus piano, ya?"
"Sangat ... aku ingin sekali jadi pianis terkenal." Senyum di bibir Ghina mengembang, membayangkan semua keinginan dan harapan terwujud di masa depan. "Sayangnya, kemarin Ayah bilang ... aku harus bisa melampaui nilaimu, jika ingin kursus piano." Senyuman Ghina luntur. Berganti raut wajah kecewa.
Sang ayah memang selalu menjadikan nilai Ghita sebagai tolak ukur yang harus Ghina peroleh, jika dirinya menginginkan sesuatu yang tidak berhubungan dengan sekolah. Bukan hanya ayahnya saja, ibunya juga bersikap begitu.
Selalu membanding-bandingkan mereka berdua, karena Ghita memang lebih pandai dibanding Ghina di bidang akademik. Mungkin, karena Ghita lebih banyak menghabiskan waktu hanya untuk belajar, dia tidak banyak kegiatan di luar rumah, karena memiliki penyakit asma yang bisa kambuh kapan saja, jika beraktivitas berlebihan. Ghina kerap kali merasakan iri akibat perlakuan berbeda dari kedua orang tuanya.
"Aku paham itu. Ah, ini kado dariku." Ghita menyerahkan kotak berukuran sedang berwarna pink dengan pita merah di atasnya.
"Terima kasih." Cengir Ghina seraya menerima kado itu.
Bibir Ghita mengerucut. "Apa-apaan, ini? Hanya terima kasih? Kado untukku mana?" sungutnya.
Ghina tertawa kecil. "Kadomu, nanti malam akan kuberikan. Tenang saja." Ghina mengedipkan sebelah mata.
"Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu," balas Ghita seraya tertawa kecil dan turun dari ranjang, lalu melenggang pergi.
'Kado apa yang pas untuknya tahun ini?'
* * *
~15 April, 2018. 23:54
Ghina baru saja kembali dari mencari kado, ketika menemukan Ghita yang hampir tak sadarkan diri di dekat kamar gadis itu. Asma gadis itu kambuh.
"Ghita! Apa yang terjadi denganmu?" Ghina terburu-buru menghampiri.
"Mana inhealer-mu?"
Napas Ghita tersengal-sengal. Wajahnya pucat. "Di-di tasku. To-tolong, Ghi-Ghina," rintihnya tak berdaya.
Ghina yakin bahwa tidak ada orang di rumah, karena kalau ayah atau ibunya ada, Ghita tidak akan sampai seperti itu.
Ghina langsung berlari menuju kamar Ghita, meraih tas milik Ghita dan mengambil inhealer dari sana. Kembali berlari menghampiri Ghita yang hampir sekarat.
Saat akan menyerahkan inhealer pada Ghita, tangannya terhenti di udara.
'Bukankah ... ini kesempatanku untuk menyingkirkan orang yang selama ini selalu dibanding-bandingkan denganku!' Tiba-tiba pikiran itu muncul di benak Ghina. Rasa iri yang selama ini ia tahan, menyeruak ke permukaan hatinya. 'Padahal, kami berdua sama-sama anak Ayah dan Ibu, 'kan? Tapi kenapa kamu selalu menjadi yang terbaik di mata Ayah dan Ibu. Kalau kamu tiada, Ayah tidak akan lagi menarget nilaiku. Tidak akan lagi ada sainganku.' Perlahan Ghina melangkah mundur, tak mengacuhkan tatapan sayu Ghita. Rasa iri dan dengki sudah menguasai dirinya, membutakan nuraninya.
"T-to-tolong ... b-b-ber—" Tubuh Ghita sudah sangat lemah. Napasnya semakin tersengal.
Ghina melirik jam tangannya. Pukul 23:59 WIB.
"Ini kado dariku, Ghita. Aku akan membebaskanmu dari penyakit ini. Ya, kamu tidak akan merasa sakit lagi." Senyum sinis terbit di bibir Ghina. "Kita akan sama-sama bahagia dan bebas. Kamu bebas dari penyakit, dan aku bebas dari rasa iri yang selama ini selalu kutahan," katanya sambil menyeringai.
Ghita menggeleng lemah, tangannya berusaha menggapai kaki Ghina dnegan sisa tenaga. Namun, dia tidak sanggup. Napasnya makin melemah. 'Tolong, Ghina! Jangan tinggalkan aku ... aku tidak bisa bernapas,' batinnya memohon.
"Jadi, selamat ulang tahun, Ghita. Ini kado yang kuberikan untukmu, Ghita." Ghina melempar inhealer yang dipegangnya ke lantai. Kemudian berlalu meninggalkan kembarannya yang meregang nyawa, karena kehabisan napas.
Ghita ditemukan tak bernyawa oleh orang tuanya saat pagi hari. Sedangkan Ghina, baru kembali ke rumah setelah mendapat telepon. Mengatakan bahwa ia memang belum pulang dan bersikap layaknya seseorang yang sangat terpukul karena kehilangan saudarinya.
—Tamat—
.
.
.
Pelajaran yang bisa diambil : Jangan pernah membandingkan. Masing-masing pasti punya kelebihan dan kekurangan sendiri.
NOTE : Ambil baiknya, buang buruknya.