“Heeey, Seina. Kamu kenapa kaku sekali?” tanya Dean dengan wajah kesal.
Seina menoleh perlahan, suaranya datar. “Aku tidak tahu maksud senior.”
Dean mengerucutkan bibir. “Nah, itu dia! Wajah datar itu maksudku. Sekali-kali ekspresif kek!”
Seina mencoba tersenyum. Terlalu keras. “Hai, hai, hai… senior.” Senyumnya tampak sangat dipaksakan, seperti seseorang yang belum pernah belajar tertawa.
Dean menghela napas panjang. “Ah, lupakan saja.”
Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Seina yang kembali diam. Langkahnya membawanya ke taman guild Hexarc, tempat para junior baru duduk membaca buku-buku tebal tentang makhluk sihir. Di antara mereka, seorang gadis muda mendekatinya.
“Salam, Instruktur.” Tiara menyapanya sambil sedikit membungkuk.
“Yo, Tiara. Ada apa?” jawab Dean santai.
Tiara menatapnya penuh harap. “Kapan Instruktur membawaku ke EDEN? Kemarin janji, ingat?”
Dean menoleh ke langit sejenak, lalu mengangguk. “Hmm... sekarang saja, mumpung aku bosan.”
“Benarkah?!” Mata Tiara bersinar.
“Iya. Sekalian ajak Sany juga. Aku tunggu di luar gerbang barat.”
“Baik, Instruktur!”
Tiara segera pergi mencari Sany. Mereka berdua berjalan cepat ke arah luar kota SION, dan mendapati Dean sudah menunggu di sana bersama Ruff, seekor serigala yang besar.
“Ayo naik,” ujar Dean sambil menaiki punggung Ruff.
Tiara tampak ragu. “Eee... Ruff bisa menampung kita bertiga?”
Dean mengangkat bahu. “Aku juga nggak yakin.”
“Hah... terus gimana?” keluh Tiara.
“Ya sudah, aku antar satu per satu.”
Dengan sedikit kerepotan, Dean akhirnya mengantar mereka bergantian menembus hutan menuju gerbang luar EDEN.
Sesampainya di depan hutan, suasana berubah sunyi dan teduh. Aroma tanah dan dedaunan basah menyambut mereka. Ruff menunggu di luar, sementara Dean, Tiara, dan Sany melangkah masuk.
Tak jauh dari gerbang, mereka sampai di sebuah area batu besar dengan ukiran lingkaran di permukaannya. Simbol itu bersinar samar, tempat khusus bagi calon Tamer menyatu dengan energi alam EDEN.
“Duduklah senyaman mungkin di sana.” Dean menunjuk lingkaran batu itu.
Tiara dan Sany mengikuti perintahnya dan duduk bersila. Suasana hening. Angin yang berhembus membawa aroma magis yang sulit dijelaskan.
“Pejamkan mata. Rasakan energi di sekitar kalian. Biarkan tubuh dan jiwa kalian menyatu dengan aliran energi itu.” Suara Dean tenang, dalam, seperti gema dari dalam hutan.
Keduanya mengikuti instruksi. Saat kesadaran mereka terfokus, terasa ada sesuatu yang mengalir di antara mereka dan tanah. Energi itu kuat, liar, tapi hangat. Jiwa mereka seperti berlayar di arus besar, mencari tempat berlabuh… dan akhirnya, menemukan tempat itu.
“Buka mata kalian,” kata Dean.
Begitu mata mereka terbuka, dua sosok muncul di hadapan masing-masing.
Di depan Tiara, seekor burung sebesar gagak berdiri anggun. Tubuhnya terdiri dari api biru yang membara namun tidak membakar. Ia menatap Tiara seolah telah lama menantinya.
“Kaelis…” bisik Tiara. Nama itu keluar begitu saja, seperti panggilan dari dalam dirinya.
Lingkaran di batu bersinar sesaat, dan cahaya membentuk simbol kecil di dada kiri Tiara, tanda ikatan.
Sementara itu, di depan Sany, seekor panda kecil berdiri tegak, tubuhnya hampir seukuran dirinya. Wajahnya lembut, penuh rasa ingin tahu.
“Yunxi…” panggil Sany pelan.
Dan begitulah, dua Tamer baru telah terlahir di bawah sumpah alam EDEN. Hari itu, mereka bukan lagi murid biasa. Mereka telah dipilih.