Buah dari Aluna dijual di pasar-pasar gelap seharga emas. Tak ada yang tahu dari mana desa itu sebenarnya. Seseorang hanya bisa sampai ke sana jika dipanggil.
Marwan, istrinya Anisa, dan kedua anak mereka Rani dan Niko menerima undangan kerja dari sebuah koperasi pertanian eksklusif.
Tidak ada nama perusahaan, hanya surat bersimbol ranting pohon bersilang. Janjinya manis: rumah pribadi, lahan luas, gaji tinggi.
Jalan ke Aluna berkabut.
Mobil mereka sempat kehilangan sinyal GPS. Tapi jalan selalu lurus. Aneh, pikir Marwan, seakan kendaraan mereka dituntun. Ketika akhirnya mereka tiba, Aluna menyambut mereka dengan warna hijau menenangkan.
Ladang buah terbentang sejauh mata memandang. Apel berwarna merah pekat, jeruk sebesar kepala bayi, dan buah ungu kehitaman yang belum pernah mereka lihat. Penduduk desa tersenyum terus.
“Di sini, kami hidup dari tanah. Dan tanah hidup dari kami,” kata Kepala Desa, pria tua dengan janggut seperti akar.
Mereka tinggal di rumah kayu yang hangat. Tanpa listrik, hanya lentera dan perapian. Tapi mereka mulai terbiasa. Buah-buah yang disediakan setiap hari begitu lezat dan adiktif. Rani mulai menangis jika tak diberi satu buah ungu setiap pagi. Niko mual jika memakan makanan lain.
Lalu malam bulan baru datang.
Malam itu, Anisa terbangun karena suara langkah di luar. Ia mengintip dari jendela. Warga desa berdiri diam menghadap rumah mereka. Masing-masing memegang sabit dan cangkul.
Marwan menggenggam obeng. “Kita harus pergi sekarang.”
Tapi pintu depan sudah terbuka sendiri.
Jeritan menggema. Darah muncrat di dinding. Rani ditarik dari ranjang oleh tangan kasar. Niko mencoba melawan tapi terjatuh, mulutnya disumpal buah ungu.
Anisa berlari ke luar. Tapi akar dari pohon-pohon terdekat bangkit dari tanah, melilit kakinya, menyeretnya kembali ke kebun.
Marwan ditahan.
Kepala Desa menatapnya. “Tanah kami butuh makanan. Dan keluarga adalah pupuk terbaik. Hubungan darah mempermanis rasa buah.”
Dengan sabit ritual, mereka memulai proses "pemupukan." Tubuh Anisa dan anak-anak dikubur di tanah mentah, disertai nyanyian yang mengandung bahasa tua.
Tapi Marwan… tidak dibunuh.
Ia dibius dan dikurung di gudang bawah tanah yang dingin dan gelap. Setiap hari diberi satu buah buah ungu yang dulunya membuat Rani menangis ketagihan.
“Sampai akar tak mengenali bau darahmu,” bisik Kepala Desa, “kau akan tetap hidup.”
Marwan tak tahu berapa lama ia bertahan di ruang itu. Tapi suatu hari, akar yang mengisi dinding mulai mengering. Ia sadar... mereka sedang kehabisan waktu. Dan dia satu-satunya sumber makanan tersisa.
Dengan sisa tenaga, ia menjatuhkan lampu minyak, membakar akar yang tumbuh dari lantai. Api menjalar cepat. Gudang terbakar. Tanah retak. Jeritan warga terdengar bukan karena kebakaran, tapi karena pohon-pohon berteriak.
Marwan merangkak keluar, separuh terbakar. Tapi ia berhasil melarikan diri dari desa itu… atau begitulah pikirnya.
Ia ditemukan oleh penduduk kota seminggu kemudian, linglung dan gemetar. Saat ditanyai, ia hanya mengulang satu kalimat.
“Mereka akan menanam aku lagi… saat tanah mereka lapar.”
Beberapa bulan kemudian, di pasar gelap, muncul kembali buah ungu dari Aluna. Lebih manis dari sebelumnya. Lebih harum. Dan yang memetiknya?
Seorang pria dengan bekas luka bakar di wajah, matanya kosong, langkahnya kaku…
…dan akar menggantung dari lengannya.