Bibir Diah pecah, ada lebam biru di bawah mata kiri dan kanan, serta goresan tipis benda tajam di rahang, dekat dengan dagu. Diah tidak ingat lagi, sudah berapa kali Doni memukulinya selama sepuluh tahun mereka menikah.
Kekerasan kadang terjadi dengan alasan yang sangat sepele. Seperti hari itu, Diah pulang kerja agak terlambat karena ada acara makan bersama dalam rangka merayakan ulang tahun kepala sekolah.
Akan tetapi, Doni menuduh istrinya pulang tidak tepat waktu karena habis main gila dengan sesama teman guru di sebuah hotel.
Akibatnya, Diah dikurung di dalam kamar, dijauhkan dari ponsel dan dua anaknya yang masih kecil. Namun, Diah tak tinggal diam. Ia dengan sabar menunggu kesempatan untuk kabur dari rumah.
Kebetulan sekali rumah Diah dan Doni akan direnovasi beberapa hari lagi, sehingga sore itu datang mobil pickup mengantar semen dan material bangunan lainnya.
Mau tak mau, Doni membukakan pintu pagar dan disibukkan dengan tukang yang bongkar material bangunan serta pembayaran.
Beruntung bagi Diah, Doni tidak memegang uang cash sehingga harus mengambil dompet di kamar, lupa mengunci pintu kurungan Diah, dan buru-buru pergi ke ATM yang tak jauh dari rumah untuk melunasi kekurangan nota.
Doni mungkin mengira Diah tak akan pergi karena di rumah sedang banyak kuli menurunkan pasir dan bahan bangunan lainnya.
Diah mana peduli. Ia sudah terlalu muak dengan suaminya yang temperamental dan manipulatif. Diah pun segera saja keluar rumah, berlari ke jalan raya dan mencari bus kota untuk pulang ke tempat orang tuanya.
Hanya saja, Diah pergi tanpa persiapan. Ia tidak membawa uang sedikitpun. Diah bahkan hanya memakai daster tipis dan sandal jepit agar tidak dicurigai.
Diah juga tak sempat mengenakan kerudung yang setiap hari menutupi rambutnya, karena ia harus menyibukkan kedua anaknya main air di kamar mandi dulu sebelum pergi.
Melihat kondisi Diah yang mengenaskan dan berurai air mata sepanjang perjalanan, kenek bus tidak tega menarik ongkos. Satu keberuntungan kecil lagi bagi Diah, ia hanya membayar dengan ucapan terima kasih ketika diturunkan tak jauh dari rumah orang tuanya.
Tiga hari berikutnya, Doni datang dengan anak dan orang tuanya untuk menjemput Diah. Saat itu, Doni bahkan bersimpuh di kaki Diah dan ibu mertuanya saat minta maaf dan mengaku salah.
Namun, Diah tetap menggeleng. Tetap keras kepala kalau ia tak mau ikut suaminya pulang, betapapun kerasnya Doni dan mertuanya membujuk. “Aku tidak akan pulang lagi ke rumah, titik!”
“Aku janji nggak akan mengulangi hal itu lagi, Diah!” ucap Doni sungguh-sungguh, dengan mata merah penuh penyesalan.
“Kamu sudah berjanji ratusan kali, tapi tidak ada satupun yang kamu tepati. Sorry, aku udah nggak percaya lagi sama kamu! Aku capek jadi istrimu.”
“Setidaknya kamu pulang untuk anak-anak! Mereka membutuhkanmu, mereka masih kecil, Diah! Mereka butuh ibunya. Kenapa kamu tega sekali sama anak-anak?”
Diah tersenyum dingin, mengejek suaminya yang tak becus mengurus anak tanpa dirinya. “Titipkan saja mereka pada orang tuamu, toh mereka sudah bukan batita, sudah tidak ada yang menyusu padaku.”
“Diah … tolonglah! Ayo pulang ke rumah. Kita masih suami istri. Beri aku kesempatan untuk berubah. Kembalilah padaku, Diah! Tolong!”
“Demi Allah aku tidak akan pernah kembali padamu, Don! Aku mau kita cerai. Lebih baik aku menikah dengan kuli bangunan dan hidup tenang, daripada balik lagi dengan dosen sialan yang bisanya memukuli perempuan!”
Doni dan keluarganya pulang tanpa hasil, tapi akan tetap berusaha di lain waktu dan kesempatan. Mungkin Diah butuh berpikir dan istirahat sejenak dari lelahnya berumah tangga dengannya, pikir Doni.
Di sisi lain, Diah tidak bicara omong kosong. Di hari ia sampai di rumah ibunya tiga hari lalu, yang pertama dilakukan Diah adalah pergi ke rumah sakit untuk berobat, sekaligus visum.
Selang sehari, bermodal hasil visum, Diah membuat laporan ke kepolisian mengenai kekerasan yang dilakukan oleh suaminya.
Seminggu berikutnya, Diah nekat menggugat cerai suaminya dengan kartu nikah yang dicetak ulang dari KUA tempatnya menikah dulu. Hal itu dikarenakan Doni sama sekali tidak kooperatif, dan cenderung mempersulit Diah melengkapi berkas sebagai syarat pengajuan cerai.
Proses persidangan tidak terlalu lama karena Diah dibantu pengacara handal. Bukti luka fisik dan pengancaman dengan senjata tajam menjadi poin paling memberatkan bagi Doni.
Setelah resmi bercerai, Doni meminta Diah keluar dari rumah mereka tanpa membawa apapun. Anehnya, Diah tidak keberatan sama sekali. Ia justru merasa lega dan lebih bahagia setelah menyandang status janda.
Anaknya yang pertama tak mau tinggal dengan ayahnya, mungkin karena pernah melihat sang ibu dianiaya di depan matanya. Diah pun membawanya dengan senang hati. Sedangkan Doni ngotot akan merawat si kecil meski hak asuh anak sebenarnya jatuh ke tangan Diah semua.
Diah menguatkan diri berpisah dengan putri bungsunya. Ia yakin suatu saat putrinya yang masih kecil itu akan memahami kenapa ibunya memilih berpisah dengan ayahnya, dan pergi tanpa membawanya serta.
Dalam pikirannya, Diah paham bahwa si kecil pasti akan dijadikan kartu as Doni nantinya. Sebagai senjata terakhir pria itu agar tetap bisa berhubungan dengannya.
Di bulan-bulan pertama semenjak bercerai, Doni tak berhenti merayu Diah untuk mau rujuk–dengan sejuta janji manis. Sementara Diah dengan gaya tak berdosanya malah memblokir nomor Doni, berikut nomor yang sering menerornya.
Setahun berlalu dengan cepat, Diah tanpa sengaja bertemu dengan mantan pacarnya saat SMA. Eh, siapa yang mengira, Yusuf ternyata memiliki status yang sama dengan Diah. Duda anak satu.
Romantisme Diah dan Yusuf langsung kembali ke masa sekolah pada pertemuan ketiga. Mereka pun sepakat untuk menikah satu bulan kemudian setelah berbicara dari hati ke hati dan keluarga.
Berhari-hari Diah menimbang ulang keputusannya untuk menikah dengan Yusuf. Tapi lagi-lagi Diah merasa tak berkutik, tak bisa menolak dan terjebak semakin dalam dengan mantan pacarnya.
Sepertinya Tuhan memang sengaja menjodohkan Diah dengan mantan pacarnya. Dan hari pernikahan itu pun akhirnya tiba juga.
“Yank, kamu nggak malu punya suami kuli bangunan?” tanya Yusuf saat mereka baru menyelesaikan malam pertama.
Diah menggeleng, “Semoga saja enggak!”
“Yank, nggak apa-apa ya tahun ini kita masih tinggal di rumah kontrakan?” tanya Yusuf ketika merayakan dua tahun pernikahan mereka di warung pecel lele.
“Nggak masalah, yang penting bisa dipakai berteduh, nggak kehujanan nggak kepanasan.”
“Yank, maaf ya aku baru bisa beliin cincin yang kamu inginkan sekarang!” ujar Yusuf di ulang tahun kelima pernikahannya dengan Diah.
Diah tertawa. “Aku malah udah lupa kalau pernah ingin punya cincin seperti ini. Makasih ya, Mas!”
“Yank, rumahnya kecil nggak apa-apa ya? Nanti kalau ada uang kita bangun sisa tanah di samping rumah.”
“Ini udah lebih dari cukup, Mas!” Diah membalas pelukan mesra suaminya. Ia tersenyum mengingat doanya dulu ketika dizalimi mantan suaminya. Ternyata Allah benar-benar ridho, dan mengabulkan doanya.
Bagaimanapun rumitnya situasi ekonomi keluarganya, tapi Diah merasa tenang dan tentram menjadi istri Yusuf.
Pernikahan mereka jauh dari pertengkaran apalagi kekerasan. Sehingga tidur Diah tiap malamnya terbilang nyenyak. Berat badan Diah pun kembali ideal, tak lagi kurus kering mengenaskan seperti saat menjadi istri Doni.
Diah dan Yusuf dikaruniai satu anak sebagai pengikat pernikahan, hingga lengkaplah sudah kebahagiaan keduanya.
Lalu bagaimana dengan nasib Doni setelah berpisah dengan Diah?
Doni juga sudah menikah, sudah bercerai lagi malah, dan menikah lagi, kemudian bercerai lagi.
Jadi, kegiatan Doni sekarang selain mencari istri baru, ia getol memprovokasi anaknya untuk merayu Diah, agar keluarga mereka kembali menyatu seperti sepuluh tahun lalu.
T A M A T