1: Golok dan Tatapan Tajam
Nafi tinggal di rumah kecil di ujung gang. Dindingnya dari bata merah yang belum diplester, tapi bersih dan rapi. Di teras depan, ada sebuah bangku panjang dan alat pengasah golok yang selalu ia gunakan tiap pagi. Setiap jam 5 subuh, suara "seret… seret…" dari bilah baja yang diasah selalu terdengar menusuk udara pagi.
Tetangga barunya, sepasang suami-istri bernama Dinad dan Ilya, baru pindah dua minggu lalu. Dinad adalah pekerja kantor dengan hobi memasak, sementara Ilya seorang penulis novel horor yang terlalu imajinatif. Mereka tinggal tepat di sebelah rumah Nafi.
Dari jendela kecil dapurnya, Ilya sering mengintip ke arah Nafi. Ia mencatat semua yang ia lihat ke dalam catatan novelnya yang belum selesai, judul sementaranya: "Pembantai dari Blok D." Menurut Ilya, Nafi adalah bahan inspirasi sempurna.
"Sayang…," bisik Ilya ke Dinad suatu malam, "orang sebelah kita tuh aneh. Dia tiap hari ngasah golok jam 5 pagi. Siapa yang waras ngasah golok jam segitu?"
"Ya mungkin dia tukang sate?" jawab Dinad santai.
"Kalau tukang sate, kenapa nggak pernah jualan? Dan aku pernah lihat dia bawa plastik hitam gede, terus keluar rumah jam dua pagi. Balik-balik tangannya ada bercak merah."
Dinad menelan ludah.
---
2: Pembunuh Bayaran Syar’i
Nafi adalah seorang eksekutor. Tapi bukan sembarang pembunuh—ia khusus menerima order penyembelihan hewan sesuai syariat Islam. Ia bekerja sama dengan beberapa ustaz, koperasi masjid, bahkan menerima panggilan dadakan untuk aqiqah, tasyakuran pindahan rumah, hingga penyembelihan hewan qurban dengan teknik syar’i: cepat, tajam, tanpa menyiksa.
Goloknya tidak pernah tumpul, dan ia bangga akan itu. Ia pernah menolak tawaran dari rumah pemotongan besar karena mereka menyembelih dengan cara yang tidak sesuai adab Islam.
Tapi satu hal yang tak disadari Nafi: penampilannya. Rambut gondrong, wajah dingin tanpa ekspresi, jarang bicara, dan selalu membawa karung plastik hitam besar saat berangkat kerja. Ia jarang senyum. Bahkan kalau senyum pun, malah kelihatan menyeramkan.
Malam itu, ia menerima telepon:
> "Assalamualaikum, Ustaz Burhan di sini. Besok pagi bisa ke Cilebut? Ada dua kambing buat aqiqah."
> "Siap, jam berapa ustaz?"
> "Sebelum Subuh ya, biar beres sebelum Dhuha."
> "Siap, saya bawa golok terbaik saya."
Ia memasukkan dua bilah golok ke tas besar. Yang satu bernama Al-Huda, yang satu lagi As-Sakinah. Nafi memang menamai goloknya seperti sahabat dekat.
Namun di saat yang sama, Ilya sedang mengintip dari celah jendela. Ia melihat cahaya lampu redup dari kamar Nafi, bayangan seorang lelaki berdiri menatap dua benda panjang yang mengkilap. Ia terengah saat melihat Nafi memasukkan benda itu ke tas, lalu membawa plastik besar yang terlihat menggembung.
"Bangkai... dia bawa mayat," bisik Ilya ke suaminya yang sedang nonton sinetron.
"Kita lapor polisi, yuk?" usul Ilya.
---
3: Penggerebekan dan Kesaksian
Pagi hari, pukul 04.30, dua mobil polisi berhenti pelan di ujung gang. Ilya mengintip dari celah jendela dengan deg-degan, sementara Dinad sudah siap dengan ponsel merekam dari belakang gorden.
"Target di rumah pojok. Kita masuk pelan-pelan," bisik salah satu polisi.
Nafi sedang menyiapkan pakaian kerja dan memasukkan sajadah ke dalam tas. Tiba-tiba, BRUKKK! pintu rumahnya didobrak. Polisi masuk bersenjata lengkap.
"TANGAN DI ATAS KEPALA! JANGAN BERGERAK!"
Nafi terkejut setengah mati. Tangannya spontan reflek naik, tapi tetap tenang.
"Ada apa ini?" tanyanya dengan suara datar.
"Anda dituduh melakukan aktivitas mencurigakan dan dicurigai melakukan pembunuhan berantai," kata salah satu polisi.
Ilya yang mengintip langsung berseru, "Tuh kan! Bener! Dia psikopat!"
Tapi polisi segera menghentikan Nafi dan menggeledah seluruh rumah. Mereka menemukan puluhan golok berkilat, satu tas berisi plastik hitam besar, beberapa foto kambing dan sapi, serta buku berjudul “Fiqh Qurban dan Aqiqah: Tata Cara Syar’i”.
"Pak… ini daging kambing," kata salah satu petugas, mencium bau plastik. "Dan ini… dokumentasi kegiatan aqiqah, lengkap dengan tanda tangan ustaz dan cap masjid."
Komandan polisi menghela napas, lalu memandang Nafi dengan kening berkerut. "Anda kerja apa, Pak?"
"Saya pembunuh bayaran," jawab Nafi tenang. "Tapi sesuai syariat. Saya menyembelih hewan qurban, aqiqah, dan sebagainya. Golok ini bukan untuk manusia."
Polisi terdiam. Ilya langsung malu setengah mati. Tapi Dinad, yang mencoba melerai, malah bertanya: "Jadi bapak nggak pernah bunuh manusia?"
"Kalau manusia, insya Allah belum," jawab Nafi, masih datar.
"‘Belum’?" sahut Ilya dengan nada ngeri.
"Bercanda. Tapi bisa kalau diminta secara syar’i, misalnya hukum hudud di negeri yang sah secara hukum Islam," sambung Nafi dengan nada dingin tapi logis.
---
4: Kambing, Maaf, dan Undangan Tasyakuran
Beberapa hari setelah penggerebekan, suasana kampung kembali tenang. Polisi tidak jadi menahan Nafi, dan justru beberapa anggota mereka minta nomor kontak untuk acara qurban mendatang.
Nafi kembali duduk di teras, mengasah golok dengan suara khas, “seret... seret...”, tapi kali ini suasananya beda. Beberapa anak kecil lewat sambil menyapa, "Om Nafi tukang potong kambing ya?"
Nafi mengangguk sambil senyum tipis. Senyum yang kali ini terlihat hangat, meski tetap bikin jantung orang deg-degan.
Sore itu, Ilya dan Dinad datang membawa dus berisi donat.
"Maaf ya, Mas Nafi. Kami salah sangka," ujar Ilya dengan wajah bersalah.
"Gak apa-apa. Manusiawi," jawab Nafi.
Dinad memberanikan diri bertanya, "Goloknya banyak ya, Mas?"
"Total dua puluh lima. Semuanya tajam. Tapi semua hanya untuk binatang—dengan niat ibadah."
Kemudian Dinad mengeluarkan undangan kecil.
"Kami mau syukuran rumah minggu depan. Boleh bantuin potong ayam, nggak? Hehe..."
Nafi menerima undangan itu, matanya sedikit berbinar. “Dengan senang hati.”
Dan minggu depannya, aroma sate ayam dari rumah Dinad dan Ilya memenuhi gang. Anak-anak tertawa, orang tua berbincang, dan Nafi—si ‘pembunuh bayaran syar’i’—menjadi bintang tamu kehormatan.
.........
Di akhir hari, Ilya menulis ulang novelnya. Judulnya kini menjadi:
“Golok Syar’i: Kisah Seorang Tukang Potong yang Disangka Psikopat”
Dan di bagian dedikasi tertulis:
> “Untuk Mas Nafi, maaf ya, kami kira kamu pembunuh mesum. Ternyata kamu lebih suci dari kami semua.”