“Pokoke ibu nggak setuju kalau kamu kawin sama dia! Titik, kalau kamu nekat aja … mending kamu nggak usah anggap ibu ini ada!”
Aku terhenyak, ucapan ibuku bak petir disiang bolong. Ada apa ini, dan kenapa ibu bersikap keras sekali? Padahal sebelumnya semua sudah deal, sudah setuju, sudah disepakati oleh kedua belah pihak.
“Bu, ini ada apa sih sebenarnya?! Kenapa tau-tau kok ibu berubah pikiran kayak gini?” Protesku tak kalah keras, mengabaikan gelengan kepala mbok Rah–pembantu setia ibu.
Ibu bergeming tak ingin menjawab dan memilih melanjutkan merajut. Aku kesal bukan main, bagaimana tidak undangan sudah siap seratus persen begitu juga dengan katering belum jasa MUA yang sudah ready sebulan lalu.
Kepalaku rasanya mau pecah, ini sudah keterlaluan. “Ibu nggak bisa seegois ini … pernikahan tetap akan dilakukan dengan atau tanpa restu ibu!”
Aku memutar tubuh saat ibu berkata dengan suara lantang dan dalam. “Lakukan apa yang kamu mau dan tanggung sendiri akibatnya!”
Aku menggigit bibir bawah menahan amarah yang tak mungkin aku lampiaskan pada wanita yang telah melahirkanku ke dunia. Dengan langkah berat aku keluar rumah dan berjanji tidak akan menginjakkan kaki lagi dirumah ibu.
Semuanya sudah disiapkan dan aku tidak ingin gagal lagi hanya demi kepercayaan yang tidak masuk akal. Dari bisikan Mbok Rah, aku akhirnya tahu jika penyebab berubahnya restu ibu itu karena perhitungan weton kami yang tidak cocok.
Aku adalah pemegang Cakra Mahkota dan segel langit. Dalam kepercayaan kejawen weton atau hari pasaran lahir jatuh pada Sabtu Kliwon sementara Dewa calon suamiku pemilik weton Sabtu Legi dan jumlah pasaran kami jatuh pada angka 31 … Tibo Pati.
Aku tak mengerti kenapa ibu masih saja percaya perhitungan aneh seperti ini. Bukankah pernikahan dilandaskan pada niat suci kami dihadapan yang Kuasa?
Nasib baik dan buruk sudah ditetapkan sejak 50.000 tahun sebelum kita dilahirkan, jadi kenapa aku harus percaya pada pilihan ibu?
Aku berderai airmata saat melangkah pergi, ini bukan keinginanku sepenuhnya. Aku mencintai Dewa dan akan selalu demikian sampai kapanpun. Aku yakin dengan pilihanku dan semua berdasarkan niat baik untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinanku.
Setelah berdiskusi panjang lebar dengan kedua orang tua Dewa kami sepakat tetap melanjutkan pernikahan. Pakde Karto pun tetap mendukung niatku meski ibu melarangnya.
Hingga akhirnya, hari bahagia itu tiba. Semuanya berjalan lancar sesuai harapanku. Pakde Karto menjadi waliku menggantikan almarhum ayah. Pernikahanku berlangsung begitu khidmat dan sakral meski tanpa dihadiri ibu.
Hatiku perih saat mendengar ibu yang tak kunjung mau memberi restu bahkan di detik terakhir. Kinanti, adikku menguatkan dan menghiburku seraya berkata bahwa semua akan baik-baik saja.
“Saya terima nikah dan kawinnya, Raden Ayu Larasati Dyah Paramita dengan mas kawin …,”
Lantunan larik akad diucapkan Dewa dengan lantang, aku lega, bahagia tapi juga sedih. Tapi … ada yang salah, ada yang tidak beres … rasa apa ini?
Aku terlahir dengan kemampuan alami yang diturunkan dari leluhurku. Aku teramat sensitif pada hal-hal diluar nalar yang terkadang sulit untuk diterjemahkan dalam bahasa normal.
Samar, aku mendengar suara bisikan di sekitarku. Udara terasa berat saat Dewa mengucap ikrar suci kami. Aku melirik ke arah pakde Karto, ia menggeleng samar. Benar, ada yang tidak beres. Pakde Karto juga merasakannya. Sejenak aku menepis semua rasa karena lantunan doa mulai terdengar.
Mati Kowe!!
Aku terkesiap, suara itu terdengar begitu dekat, berbisik di telingaku. Dewa menoleh cepat padaku lalu memperhatikan sekitar.
“Ada apa?”
Jantungku terasa melesak keluar, tengkukku meremang hebat, telingaku panas sekali. Seluruh mata menatap cemas padaku yang terlihat seperti orang bingung.
Bu Hanum–ibu mertuaku– segera mendekat dan mengusap punggungku lembut. “Ada apa Laras? Kamu baik-baik aja kan?”
“Nduk,” pakde Karto menatapku dalam seolah mengatakan tanpa suara. ‘Abaikan, tulikan pendengaranmu.’
“I-iya mah, aku nggak apa kok cuma sedikit … kaget.”
Dewa masih tak percaya, ia tahu sesuatu tengah terjadi dan aku merasakannya. “Are you ok?”
“Yah, I’m ok.”
Setelah terjeda beberapa saat acara dilanjutkan lagi tapi kali ini aku benar-benar tak tahan lagi. Nafasku mulai tak teratur, tapi aku sekuat tenaga bersikap normal.
Tamu undangan mulai berdatangan dan aku tidak mungkin mengabaikan senyuman dan pelukan hangat penuh doa dari mereka. Tapi sungguh semakin lama tekanan udara semakin menyiksa ku. Rasa panas dan terlalu sesak.
“Mas, aku ijin ke kamar rias dulu ya.”
“Jangan lama-lama sayang, tamu kita semakin banyak.”
Aku mengangguk dan memaksakan senyum. Pakde Karto membantuku untuk menuruni panggung dan aku disambut dua bridesmaid cantik rekan satu profesi ku.
“Air, aku butuh air.” Pintaku tergesa.
“Kamu kenapa Laras?” Wika, bridesmaid ku bertanya cemas, katanya wajahku terlihat aneh pucat dan berkeringat.
“Aku capek,” sejujurnya aku tak kuat berada di ruangan itu. Entah mengapa ballroom hotel itu rasanya begitu sesak.
Seperti dijejali begitu banyak pengunjung. Wika dengan setia menunggu ku, lalu tiba-tiba getaran dahsyat itu datang.
Bumi berguncang begitu kerasnya kami berteriak menyebut nama Yang Kuasa, ketakutan dan panik setengah mati.
BUUM!!
Suara dahsyat memekakkan telingaku. Aku tak lagi ingat apa yang terjadi karena sesuatu menghantam kepalaku dengan keras. Yang aku ingat hanya asap, debu pekat, dan suara rintihan minta tolong sebelum akhirnya semua berubah gelap.
Aku berusaha menggerakkan tanganku, nyeri hebat menyerang. Suara Isak tangis terdengar lirih di sebelah. Aku berusaha membuka mata, dan menemukan ibu tengah duduk di temani Kinanti.
“Ibu kan sudah bilang jangan diteruskan! Tibo Pati nduuk … sekarang lihat apa yang terjadi, semua hilang semua hancur!”
“I-ibu … Kinan, apa yang terjadi?”
Kinan menjawab dengan wajah muram. “Hotel tempat acara resepsi itu … ambruk mbak. Ada kesalahan konstruksi dan … mas Dewa …,”
“Dimana Dewa?! Dimana suamiku?!” Serangan panik membuatku buru-buru ingin turun dari ranjang.
Kinanti menahan, “tenang dulu mbak …mas Dewa … sudah, meninggal mbak. Begitu juga dengan keluarga dan pakde Karto.”
Bak tertembak peluru tepat di kepala, aku terdiam. Perlahan mataku memanas, aku menolak keras dan berontak. Kinanti berusaha menenangkan, para perawat pun berdatangan, ibu berteriak disela tangisnya. Aku menjerit sekerasnya meluapkan kesedihan yang begitu sesak.
Andai aku menuruti peringatan ibu, andai pernikahan itu tidak terjadi, andai keluarga Dewa sependapat dengan ibu, andai … andai tidak pernah ada perhitungan Jawa sialan itu, semua pasti masih hidup!
Aku kini berteman dalam penyesalan terdalam. Berkubang dalam duka berselimut awan kelabu. Tiga nisan berjajar di depanku, alam pun seolah ikut berduka.
“Maafkan aku Wa, mah, pah … ini salahku,”
Tiga tahun berlalu, dan kini aku memulai lembaran baru. Aku kini mendalami ilmu kejawen yang diturunkan dari para leluhurku. Ilmu yang dulu aku tolak, dan ingkari.
Ternyata banyak filosofi Jawa yang aku lewatkan. Bukan sekedar takhayul dan mitos semata tapi pertanda alam yang hanya bisa dipahami oleh orang tertentu saja. Aku berusaha mencegah dan mengurangi efek negatif dari hal-hal yang dipercaya gaib. Aku tidak ingin kepedihanku terulang pada orang lain.
Pesan dariku, pemegang segel Mahkota dan cakra Langit.
"Weton ora mung angka, nanging wasiat langit. Yen Tibo Pati wis tumeka, ora ana sing bisa ngedohi titahing Gusti. Rahayu … Rahayu saklawase.”