Bel sekolah berdentang nyaring, menandakan dimulainya pelajaran. Namun, Rudi dan tiga teman SMP-nya masih asyik nongkrong di warung seberang sekolah, larut dalam permainan di ponsel mereka.
"Eh, masuk kelas yuk," ajak Rudi yang hanya bisa menonton. Orang tuanya melarangnya membawa ponsel ke sekolah.
Dedi, yang bersandar santai sambil bermain game, menyahut. "Halah, nantilah, paling juga gurunya belum masuk."
"Iya tuh, mana ngebosenin lagi," timpal Fariz, jarinya masih sibuk mengendalikan karakternya.
"Mendingan, lanjut push rank," ujar Rehan yang masih fokus mabar dengan Fariz dan Dedi.
"Tapikan..." keraguan merayap dalam benak Rudi, tapi sebelum sempat mengutarakan keberatannya, suara lantang yang sudah tak asing lagi menggema dari kejauhan.
"WOII KALIAN, CEPAT MASUK!!" teriak pak satpam dari depan gerbang sekolah, suaranya tegas menggelegar.
Rudi dan ketiga temannya tercengang kaget, mereka yang tadi santai, kini menjadi panik.
"Bentar, Pak! Bentar! Ini bentar lagi menang!" seru Dedi, matanya masih terpaku pada layar .
"Aduhhh! Sial!" gerutu Rehan kesal.
"Itu woy, di pinggir lu, Han, ada di semak-se..." Fariz memberi arahan, tapi terlambat. Karakter Rehan sudah tumbang.
"Ugghhh!! Sial!!" Rehan hampir saja melempar ponselnya.
"CEPAT WOOYY MASUK!! BUDEG YA?!" suara pak satpam kini semakin mendekat.
Rudi menelan ludah, jantungnya berdebar. "Eh gawat, gawat cok! Pak satpamnya mau nyamperin! Ayo kabur!"
[Defeat, suara dalam game yang langsung merusak suasana hati mereka]
"Ughh! Sial!" ketiga anak itu menggerutu serempak, frustasi dengan kekalahan mereka.
Tanpa pikir panjang, mereka bangkit dari senderan dan berlari terbirit-birit menuju gerbang sekolah.
"NAH, HARUS DISAMPERIN DULU YA?!, DASAR BOCAH-BOCAH BANDEL!!" Pak satpam mengomel di belakang mereka.
"Daritadi kata ku juga ayo masuk. Hampir aja kita di smackdown!" ujar Rudi, sambil lari tergesa-gesa.
"Gak mungkinlah woy sampe smackdown! Ya udahlah, bomat sih," sahut Fariz, tak terlalu peduli.
Sesampainya di sekolah, mereka langsung disambut teguran tajam dan nasehat dari guru yang berjaga.
"Kalian ini ya, udah beberapa kali dibilangin. Udah tau waktunya masuk tapi masih aja nongkrong di warung. Ibu kasian sama orang tua kalian, mereka udah bekerja keras untuk bisa menyekolahkan kalian, tapi kalian malah seperti ini. Sebagai hukuman push up 15 kali lalu cabut rumput di pinggir lapangan!" ucap guru itu dengan nada tegas, namun tersirat kepedulian di balik suaranya.
"Baik, Bu," jawab mereka serempak, kepala tertunduk penuh penyesalan.
"Ayo cepat! Push up 15 kali!"
Keempat remaja itu pun mulai menjalani hukumannya.
Keesokan harinya, seperti biasa, mereka nongkrong di warung sambil bermain game. Bedanya, kali ini mereka masuk kelas lebih awal karena kapok dimarahi. Namun ternyata, mereka kembali dihukum karena tidak mengerjakan pr matematika yang diberikan Bu Rina Minggu lalu. Rudi merasakan keringat mulai merintik di dahinya, dihantui rasa cemas.
"Minggu lalu tugas gak dikerjain, pr juga sama. Sekarang juga masih begitu. Mau jadi apa nanti kalian?!" ucap Bu Rina, suaranya penuh ketegasan saat mondar-mandir di depan mereka.
"Sebagai hukuman, kalian push up 30 kali!"
Tanpa banyak pilihan, mereka kembali menjalani hukuman.
Di pertengahan, keringat mulai membasahi baju mereka. Energi mereka mulai terkuras, napas tersengal, dan jantung berdegup kencang.
"Capek, bu!" keluh Dedi sembari mengusap keringat di dahinya.
"Capek, kan? Makannya, kalo ada tugas atau pr, dikerjakan. Udah sana, duduk!" seru Bu Rina.
Keempat remaja itu pun kembali duduk di bangku masing-masing, diam tanpa banyak bicara.
Keesokan harinya, malam Minggu tiba. Jam menunjukkan pukul sepuluh lewat empat menit ketika Rudi menerima pesan dari teman-temannya yang mengajak nongkrong di warkop, yaitu tempat biasa mereka ngewifi dan bermain game.
Baru saja membaca pesan itu, ia teringat larangan orang tuanya untuk tidak keluar malam. Mereka khawatir, terutama setelah insiden pembegalan beberapa minggu lalu di jalan dekat rumahnya. Pelakunya masih belum ditemukan. Namun, Rudi berasumsi bahwa kejadian itu tidak akan terulang; toh, sudah berminggu-minggu berlalu tanpa ada kabar serupa. Pada akhirnya nafsunya mengalahkannya, ia memutuskan pergi dengan mengabaikan nasehat orang tuanya.
Dengan langkah hati-hati, Rudi menuju pintu keluar, suara derak kayu reyot terdengar di bawah pijakannya. Ia mengunci pintu sebelum pergi. Dalam perjalanan, ia mengirim pesan WhatsApp pada tiga temannya, bertanya apakah mereka sudah sampai. Namun, pesan itu tak kunjung dibalas. Ia mengira mereka sudah mulai sibuk bermain game di warkop.
Agar lebih cepat sampai, Rudi memilih jalan pintas yaitu menuju lorong sempit yang di sebelah kanannya terdapat kebun pisang lebat. Ketika berdiri di ujung masuk lorong, ia menelan ludah. Cahayanya begitu redup dan udaranya terasa semakin menusuk. Rudi yang enggan berputar balik, terpaksa harus memasuki lorong itu, rasa malasnya lebih kuat dari ketakutannya. Dengan senter ponsel menyala, ia melangkah masuk ke lorong yang remang.
Semakin dalam, udara semakin dingin, mengiris kulitnya. Siluet tubuhnya hampir tak terlihat, menyatu dengan bayangan. Rudi menegangkan bahunya, berusaha menenangkan diri dengan memutar lagu favoritnya. Namun, saat ia berjalan, matanya menangkap sesuatu dari kejauhan di bawah cahaya remang yang berkelip.
Tiga sosok tergeletak di tanah.
Perut mereka bersimbah cairan merah.
Mata Rudi membelalak, wajahnya pucat pasi. Keringat merintik di dahinya saat pikirannya berputar liar, mencoba mencerna apa yang ia lihat, hantu atau manusia.
Kakinya yang gemetar perlahan maju, mendekati tubuh-tubuh itu. Saat cahaya senter ponselnya menyinari mereka dengan lebih jelas, tubuhnya membeku. Jari-jarinya lemah, membuat ponselnya terlepas dari genggaman, jatuh ke tanah.
"Mustahil. "
Namun, tak bisa dipungkiri, apa yang ia lihat adalah kenyataan.
Ketakutan merayap ke seluruh tubuhnya. Kakinya mundur perlahan. Meminta bantuan juga percuma, karena lorong itu terlalu jauh dari rumah warga.
Langkah ketiganya ke belakang berhenti mendadak.
Seseorang meraih pundaknya.
Mata Rudi membelalak, keringatnya mengucur deras. Dengan ketakutan yang mengikat seluruh tubuhnya, ia berbalik perlahan.
Seorang pria berbaju hitam.
Saat ia berusaha melihat wajahnya, sesuatu merayap keluar dari perutnya terasa hangat, mengalir.
Cairan merah.
Tubuhnya membeku. Lututnya lunglai, ia jatuh tersungkur, lalu terlentang di samping tiga sosok itu.
Napasnya tersengal.
Sisa kekuatannya digunakan untuk bergumam.
"Se-seandainya… A-aku menuruti… nasehat orang tua dan guru…ku…"
Suaranya lirih, dipenuhi kesakitan. Matanya perlahan terpejam.
Siluet pria itu menjauh, pisau di tangannya terus meneteskan darah. Bayangannya menghilang di tengah pekatnya malam.
Petir menggelegar, menggetarkan bumi.
Tak lama kemudian, hujan turun, merintik pelan, membasahi tubuh-tubuh penuh darah itu.
Di pagi harinya, orang tua mereka panik. Sudah berkali-kali mencoba menghubungi, namun tak ada jawaban.
Ketakutan berubah menjadi kenyataan ketika warga menemukan tubuh mereka di lorong itu.
Tangis pecah. Orang tua mereka meraung dalam duka.
Sirine ambulan terdengar dari kejauhan, diikuti sirine mobil polisi. Satu per satu dari mereka diangkat ke dalam ambulan dengan tandu.
Polisi mulai menyelidiki, mencoba melihat rekaman CCTV di ujung lorong. Namun nihil, tak ada yang terekam. Seakan pelaku menghilang dalam kegelapan malam.
Dugaan mengarah ke kebun pisang di tepi lorong. Pelaku mungkin kabur ke sana, dan kemungkinan besar barang bukti sudah dikubur.
Misteri kian rumit.
Setelah kejadian tragis itu, warga mulai melaporkan suara lirih meminta tolong dari ujung lorong yang kini dibatasi garis polisi.
Tak hanya suara, sosok-sosok mereka juga kerap terlihat.
Sejak saat itu, tak ada yang berani melewati lorong itu lagi.