“Kita akhiri sampai disini saja, semuanya nggak akan berjalan dengan baik.” Aku mengucapkannya dengan tegas didepan pria yang membuatku jatuh hati.
“Lho ada apa ini Ta, kenapa begitu mendadak? Apa salahku?” Frans tak terima dengan keputusanku.
Aku tahu ini bakal jadi reaksinya. Tapi … aku harus melakukannya. Frans memang tidak salah apa-apa, belum tepatnya. Tapi aku bisa melihat masa depan suram itu. Pengkhianatan … itulah akhir hubungan kami.
“Tidak ada alasan Frans dan aku harap kamu bisa bahagia dan lebih tenang sekarang. Impian pernikahan terlalu jauh digaungkan. Kita nggak bakal bisa bareng sampai kapan pun.”
Aku berdiri menatapnya kosong, aah penglihatan sial ini kenapa harus aku dapatkan saat aku yakin bahwa Frans adalah pelabuhan terakhirku?
“Nggak, aku nggak bisa terima keputusan kamu Ta. Apa coba salahku, sebutkan?!”
Frans menahan tanganku, mencegahku pergi. Aku menelan ludah, rasanya kelu untuk mengatakan yang sebenarnya mana mungkin aku katakan jika itu hanya visiku? Penglihatan masa depan yang tak semua orang bisa memahaminya?
“Lepasin Frans, ikhlasin aku … ok?”
“No, aku nggak mau! It doesn’t make sense, Ta! Kita sudah deal Februari besok lamaran bakal digelar. Mama juga sudah setuju! Kamu tega, Ta? Tega permainkan aku dan keluargaku begini?”
Aku menarik nafas berat, “bukan itu masalahnya Frans.”
“Ya lalu apa? Jelaskan dong?”
Kami saling menatap, sungguh aku tak tega melihatnya tapi … bayangan itu nyata dan pasti akan terjadi.
“Sorry, aku nggak bisa bilang alasannya. Kamu nggak bakal bisa ngerti.”
“So try it! Talk to me!” Ia membentak ku, begitu keras hingga semua mata tertuju pada kami.
Aku menggeleng, “Makasih Frans untuk semua. Aku pamit, salam buat mama.”
Aku bergegas pergi sebelum Frans kembali menghalangiku. Setengah berlari aku memanggil taxi meninggalkan Frans yang mengejar ku.
“Ta buka Ta, kita harus bicara!” Ketukan keras di jendela kaca membuat sang sopir bingung.
“Neng? Itu …,”
“Jalan pak, tolong.”
Aku mengabaikannya. Sesak rasanya. Untuk kesekian kalinya aku harus merelakan orang yang kusayangi pergi. Lirikan mata sopir taxi dari spion terlihat begitu penasaran.
“Kita kemana neng?”
“Nggak tahu, jalan aja dulu pak.”
“Ehm, tapi … maaf ya neng, maaf banget. Kucing-kucing neng besar bener. Makannya apa neng?”
Aku terkesiap, balik menatapnya. “Kucing?”
“Eeh, i-iya … itu, disebelah neng. Besar bener, apa nggak keberatan?”
“Jangan bercanda pak, saya nggak ada kucing dan saya nggak suka kucing.” Aku membantah tak ingin mencari pembenaran.
“Bapak bisa liat kok mbak, si belang, si hitam dan dua pangeran dari … Pajajaran?”
Aku menarik nafas berat. Mau kaget tapi memang benar adanya. Sopir itu ternyata bisa melihat Bima, Lesmana, Arjuna dan Darma. Empat kucing penjaga ku yang selalu siap sedia menjagaku. Termasuk menghalau santet dan teluh yang pernah dialamatkan padaku.
Jika orang lain sangat berharap memiliki penjaga berbeda dengan ku. Aku ingin melepaskan keempatnya tapi … aah, entahlah.
“Boleh saya kasih saran neng?”
Aku diam, tak ingin menjawab.
“Jarang sekali saya nemuin perempuan dengan empat penjaga hebat seperti neng ini. Artinya, neng pilihan. Tapi bukan berarti neng juga harus mengikuti mereka. Neng bisa menolak.”
“Saya nggak ngerti maksud bapak.” Sahutku asal meski sebenarnya aku sangat penasaran.
Sopir taxi itu tersenyum. “Neng punya bakat alami yang sangat mumpuni. Neng kesel ya dipisahkan sama pacarnya tadi?”
Aku memilih diam, air mataku perlahan menetes. Sengaja kubuang jauh pandanganku keluar jendela agar terkendali. Sekotak tisu diulurkan lelaki itu dengan senyuman.
“Resiko memiliki penjaga memang tidak main-main mbak. Ada yang bakal tersakiti itu pasti, semua kembali ke niatan neng sendiri.”
Aku terdiam dan tak ingin menjawab sepatah kata pun. Yah, bapak itu benar semua kembali pada niatku. Sayangnya aku selalu tersakiti dan terhitung tiga kali dari sejak aku break up dengan Angga, aku terus menerus gagal dalam percintaan.
Ketiganya harus berhenti menggapai asa tertinggi dalam hubungan karena penglihatan tak biasaku. Aku adalah pemilik empat kucing besar dari keturunan keluargaku. Konon leluhurku adalah bagian dari Mahapatih Pajajaran. Itu kata Mbahkung yang sudah meninggal delapan tahun silam.
Takbisa kupungkiri jika keempat kucing besarku itu tidak sepenuhnya merugikan. Mereka membantuku, melindungi ku, dan menjagaku saat aku sedih dan kosong. Dua kali aku terselamatkan saat santet dan teluh dialamatkan padaku. Aku nyaris tewas saat salah satu mantan pacarku tak terima diputuskan.
Puluhan bilah bambu dan potongan seng berkarat sempat bersarang di tubuhku kala itu. Ajaib semua itu keluar dan aku pun selamat. Aku memang berterimakasih untuk itu, tapi … apakah mereka juga berhak untuk memutuskan mana yang terbaik sebagai jodohku?
Sungguh aku lelah. Aku juga wanita normal seperti yang lain. Ingin merasakan cinta yang sejati, satu untuk selamanya. Tapi apa yang terjadi justru sebaliknya. Aku tak pernah bisa berdekatan sedikitpun dengan lelaki dalam waktu kurang dari tiga bulan.
Entah kutukan atau memang … ini takdir yang tak bisa diubah. Aaah, aku mulai lagi mempercayai hal itu.
Rasanya ingin sekali aku berteriak dan menjerit tapi sentuhan Lesmana membuatku terhenyak.
“Maafkan kami, ndoro ayu tapi Frans memang bukan lelaki yang baik.”
Aku diam, hanya terisak dalam seoiku. Taksi yang aku tumpangi mendadak sunyi. Semua berganti dan aku kini berhadapan dengan empat penjaga yang tengah bersimpuh dihadapanku.
“Anda tidak mengetahui seperti apa watak lelaki itu, tapi kami tahu.” Arjuna berkata dengan suara dalam.
“Sampai kapan? Sampai kapan kalian menghalangi ku menemukan pasangan hidup?” Tanyaku putus asa.
“Sampai kami yakin, calon pendamping ndoro ayu adalah pilihan para leluhur.” Jawab Lesmana seiring berubahnya kembali suasana.
Aku hanya bisa sesenggukan, bersaing dengan rintik hujan di luar taxi. Meratapi nasib cintaku yang tak kunjung membaik.
Tapi itu tiga tahun lalu, kini … aku bahagia.
Bulan depan pernikahan itu bakal digelar. Aku dan sopir taksi bernama Surya. Siapa sangka Surya yang menghiburku tiga tahun lalu adalah pelabuhan terakhirku.
Surya yang bekerja serabutan ternyata keturunan asli Raden Indrajaya salah satu keturunan Pajajaran dari trah Galuh. Empat penjaga ku sangat menyukainya. Mereka begitu akur dan bermain bersama seolah menemukan majikan baru.
Lewat merekalah aku melihat dimasa depan jika aku dan Surya tengah bersanding dengan pakaian kebesaran kami di masa lalu.
Yah, Surya adalah kekasihku baik dimasa lalu ataupun sekarang. Empat penjagaku menjaga tali reinkarnasi kami. Setelah ratusan tahun kami kembali bersanding tapi kali ini tidak akan ada luka, darah, dan airmata.
"Swagata, priyatama. Jiwangga punika kagunganira. Kita sangkalika ing rahayu lan sangsara, tan winates.”