---
Aroma Belerang di Kemewahan yang Busuk
Mansion Rothschild dulunya berdenyut dengan kehidupan. Tawa para nyonya, bisikan kesepakatan bisnis di ruang kerja, denting kristal di ruang makan. Kini, yang tersisa hanyalah dengungan hampa, diisi oleh bisikan-bisikan pelayan yang ketakutan dan aura dingin yang tak dapat dijelaskan. Aku, **Elara**, putri dari kepala pelayan yang terhormat, **Tuan Bastian**, menyaksikan semua ini dengan mata kepala sendiri. Dan aku tahu penyebabnya: **Silas**.
Ayahku, Bastian, dulu adalah pilar kesetiaan. Ia menjaga rahasia Rothschild, mengatur segalanya dengan presisi seorang maestro. Tapi kesetiaan itu, entah bagaimana, telah digantikan oleh ambisi yang gelap. Aku ingat betul bagaimana keluarga Rothschild perlahan hancur: bisnis merugi, aset lenyap, dan Tuan dan Nyonya Rothschild yang menua terpaksa mengungsi ke sayap kecil mansion mereka sendiri. Semua ini terjadi bersamaan dengan kekayaan ayahku yang melesat bak roket. Dan kemudian, pembelian mansion oleh ayahku sendiri. Sebuah lelucon yang kejam.
Setelah itu, datanglah Silas. Kepala pelayan baru kami. Tingginya semampai, rambut hitam pekatnya selalu sempurna, dan matanya... matanya biru bagai samudra, namun di dalamnya berkecamuk badai yang aneh. Senyumnya selalu menawan, suaranya merdu, seolah bisa membujuk malaikat untuk jatuh. Tapi bagiku, setiap gerakannya adalah kebohongan yang tersembunyi. Aku bisa menciumnya. Aroma belerang dan sesuatu yang gosong, yang hanya tercium olehku, mengikutinya ke mana pun ia pergi. Tanaman layu saat ia lewat. Serangga mati dalam diam.
Suatu malam, aku tak sengaja mendengar percakapan ayah dan Silas di ruang belajar yang kini menjadi sarang kegelapan.
"Kontrak telah terpenuhi, Tuan Bastian," suara Silas sehalus desiran sutra. "Keluarga Rothschild kini di tangan Anda. Janji saya telah tertunaikan."
"Tapi... harganya, Silas," suara ayahku bergetar. "Harganya terlalu besar."
Silas tertawa. Tawanya seperti lonceng kristal yang pecah, namun ada nada mengerikan, seperti derak tulang. "Harga? Anda telah mendapatkan semua yang Anda inginkan, Tuan Bastian. Dan saya, saya hanya meminta apa yang dijanjikan. Jiwa Anda, hidup Anda. Saat waktunya tiba. Dan, tentu saja, Nona Elara yang berharga."
Dunia seolah runtuh di sekelilingku. Ayahku. Iblis. Dan aku... aku adalah bagian dari bayaran kontrak itu.
---
Sejak malam itu, setiap sentuhan Silas, setiap tatapannya, adalah penyiksaan. Aku melihat topengnya, di balik mata birunya yang memesona tersimpan kobaran api neraka. Ayahku, yang dulunya penuh prinsip, kini menjadi bayangan dirinya. Matanya cekung, senyumnya seringai yang dipaksakan. Ia sering berbicara sendiri, mengulang-ulang, "Kekuasaan... itu milikku... semua milikku..."
"Nona Elara... hati-hati," Nyonya Clara, pelayan tua yang mengasuhku, berbisik suatu pagi. Matanya melirik ke arah Silas yang baru saja melintas. "Dia... dia seperti membawa musim dingin ke dalam rumah ini." Bisikan-bisikan serupa mulai menjadi musik latar mansion, para pelayan yang ketakutan, berbisik tentang hal-hal aneh yang mereka lihat atau rasakan.
Percakapan dengan ayahku terasa semakin absurd. "Ayah, apa yang terjadi padamu? Kau berubah," aku memulai suatu malam. "Kau... kau membuat kesepakatan dengan iblis, kan? Silas itu!"
Ayahku membanting garpunya. "Iblis? Omong kosong, Elara!" Suaranya tajam, tidak lagi milik ayahku. "Silas adalah pelayan paling berharga yang kumiliki! Dia membantuku mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milikku!" Ia tersenyum dingin. "Tidakkah kau bangga?"
Setiap kali Silas lewat, tanganku terasa dicengkeram es. Cangkir tehku bergeser sendiri saat ia tersenyum. Aku sering mendesah, "Oh, aku yakin **bajingan** sepertimu akan memastikan hariku sangat 'menyenangkan'," cukup keras agar ia dengar, namun cukup pelan untuk menghindari perhatian orang lain. Silas hanya akan tersenyum lebih lebar, kilatan kegembiraan di matanya menunjukkan ia menyukai permainannya.
Dan kemudian, datanglah malam bulan purnama.
Aku terbangun, merasakan hawa dingin yang menusuk. Silas berdiri di samping tempat tidurku, diterangi cahaya bulan. "Sudah waktunya, Nona Elara," bisiknya, suaranya mengalun seperti melodi paling gelap. "Bayaran Anda."
Aku lumpuh, tak bisa berteriak. Silas membungkuk, menatap langsung ke matanya. Mata biru Silas kini berkobar dengan api neraka, memancarkan intensitas yang mengerikan. Ada daya tarik yang aneh, menakutkan, dan tak bisa ditolak.
Silas mendekatkan wajahnya. Aku bisa merasakan napasnya yang dingin, beraroma belerang. Lalu, bibirnya menyentuh bibirku dalam **ciuman dingin yang membekukan**. Itu bukan ciuman cinta, melainkan ciuman kematian. Aku merasakan sesuatu ditarik keluar dari diriku, seperti napas yang dicuri, esensi jiwaku yang terkuras. Aku merasakan sakit yang menusuk, kemudian mati rasa, seolah bagian dari diriku telah menghilang.
Setelah ciuman itu berakhir, Silas menarik diri. Senyumnya kini lebih lebar, lebih puas. "Manis sekali," bisiknya, menjilat bibirnya yang tampak terlalu merah. "Satu hari kehidupan Anda, setiap bulan purnama. Sedikit demi sedikit, saya akan mengumpulkan Anda."
Aku terengah-engah, bagian dari diriku telah lenyap. Amarah membakar dalam diriku. Aku harus menghentikannya.
---
Di tengah neraka pribadi ini, aku menemukan satu-satunya secercah harapan: **Julian Rothschild**. Cucu mantan majikan ayahku, kini terpinggirkan di rumahnya sendiri. Kami bertemu diam-diam di taman yang layu, berbagi kesepian dan kecurigaan.
"Ayahmu... dia sudah tidak sama lagi," bisik Julian suatu sore. "Dan kepala pelayan barunya... dia menakutkan. Aku tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu yang sangat salah dengannya."
Silas, seolah memiliki mata di mana-mana, selalu muncul. "Nona Elara, Tuan Julian," sapanya ramah, namun matanya akan menyorot tajam ke Julian, ancaman terselubung yang hanya aku pahami.
**Keserakahan Tuan Bastian kini mencapai puncaknya.** Didorong oleh bisikan-bisikan Silas, ia menjadi lebih kejam dalam ambisinya. Ia mulai menyingkirkan siapa pun yang menjadi penghalang, terutama para kontraktor dan pebisnis yang berniat menjatuhkannya atau menyelidiki kejanggalan dalam kekayaannya.
Suatu malam yang gelap, kabar mengejutkan tiba. **Tuan Maxwell**, seorang kontraktor ambisius yang secara terbuka menentang metode bisnis Bastian dan mengancam akan menyelidiki asal-usul kekayaannya, ditemukan tewas secara brutal. Polisi menyatakan itu adalah perampokan yang salah, namun detailnya mengerikan. Tubuhnya ditemukan di gudang miliknya, **terkoyak-koyak seolah dicabik oleh sesuatu yang buas, dan di dinding gudang, terdapat jejak cakar hangus yang samar, seperti terbakar.**
Aku mendengar bisikan para pelayan. "Tubuhnya... seperti dirobek-robek," bisik seorang pelayan. "Dan katanya... ada bau belerang yang kuat di sana."
Malam itu, aku melihat Silas di lorong. Pria itu tampak santai, namun ada **noda merah gelap yang sangat samar** di ujung lengan kemeja putihnya yang sempurna. Ia melirikku, senyumnya sedikit lebih lebar dari biasa, matanya berkilat gembira. "Malam yang tenang, bukan, Nona Elara?" bisiknya, suaranya begitu lembut, begitu normal.
Darahku membeku. Aku tahu. Silas lah yang melakukan itu. Iblis itu tidak ragu membunuh.
Ambisiku untuk menghancurkan Silas memuncak. Suatu sore, aku menunggunya di perpustakaan, di antara rak-rak buku tua yang berbau jamur. Ketika ia masuk, aku tak bisa menahan diri.
"Apa yang kau lakukan pada ayahku?" aku tuntut, suaraku dipenuhi amarah. "Kau menghancurkan kewarasannya! Dan kau... kau menyiksaku! Aku tahu apa yang kau inginkan, kau **monster menjijikkan**!"
Silas meletakkan buku yang dipegangnya. "Saya hanya memberikan kebebasan, Nona Elara. Kebebasan dari rasa bersalah. Manusia itu rapuh. Mudah pecah. Dan sangat... menyenangkan untuk dihancurkan." Senyumnya mengembang, dan retakan-retakan gelap muncul di wajahnya, memperlihatkan api yang berkobar di baliknya. Matanya memancarkan kegilaan yang dingin.
"Itu bohong!" teriakku. "Kau adalah kebohongan! Kau membunuh Tuan Maxwell, kan?!"
Silas menyeringai, giginya tampak terlalu tajam. "Oh, Anda tahu banyak rupanya, Nona Elara." Ia melangkah mendekat. "Saya hanya membersihkan jalan. Menjaga kontrak tetap utuh. Kontraktor saya berhak mendapatkan apa yang telah ia tandatangani." Matanya yang merah menatapku, penuh perhitungan. "Saya bisa memberikan Anda kedamaian. Kekuasaan. Bahkan cinta. Jika Anda mau, saya bisa menjamin Julian Rothschild tidak akan pernah diganggu lagi. Semua bisa menjadi milik Anda. Hanya dengan satu janji. Bergabunglah dengan saya. Menjadi seperti saya." Suaranya penuh bujukan, melodi paling indah, menjanjikan semua yang kuinginkan. Ini adalah janji manis yang menyesatkan, penuh kebohongan.
"Aku tidak akan pernah menjadi sepertimu, kau **makhluk kotor**!" balasku, meludahi kata-kata itu seolah racun.
Silas tertawa. Tawanya panjang, mencemooh. "Karena kau adalah bagian dari bayaran, Nona Elara. Jiwamu, dengan segala keanggunan dan perlawananmu, adalah hidangan utama yang dijanjikan ayahmu. Dan karena kau adalah orang yang paling menarik di mansion ini. Aku menikmati perburuan." Ia melangkah sangat dekat, jari-jarinya yang dingin menyentuh pipiku. "Kau pikir kau bisa melawanku? Aku abadi. Aku telah melihat kekaisaran bangkit dan runtuh. Aku telah mematahkan jiwa-jiwa yang jauh lebih kuat darimu."
Aku merasakan dorongan kuat untuk meninju wajahnya. Setiap kata, setiap sentuhan dinginnya, setiap bisikan mengerikannya, hanya mengobarkan api amarah dan kebencian dalam diriku. Ia ingin menghajarnya, merobek senyum itu, dan membuatnya berlutut. **Kesombongan iblis ini terlalu tinggi**, ia menganggap manusia tak lebih dari mainan. Dan itu adalah kelemahan terbesarnya.
Tak peduli sakit yang aku rasakan sebelumnya, aku mengangkat tanganku lagi. Kali ini, bukan tamparan. Aku **mencakar wajah Silas**. Kukuku terasa patah, namun ada goresan tipis, seperti retakan di porselen, muncul di pipi sempurnanya. Ia terkesiap, senyumnya memudar. Mata merahnya melebar. Itu bukan luka fisik, tapi sesuatu yang lebih dalam.
"Beraninya kau..." desis Silas, suaranya berubah, lebih kasar, lebih mirip geraman. Kegilaannya muncul ke permukaan. "Kau telah menyentuh wajah yang tidak boleh disentuh manusia rendahan."
"Aku bukan manusia rendahan, kau **iblis pengecut**!" balasku, napasku terengah-engah, tanganku gemetar. "Aku tidak akan tunduk padamu! Aku tidak akan membiarkanmu mengambil apapun lagi!"
---
Pada titik ini, Tuan Bastian telah benar-benar berubah. Ia menjadi bayangan dari dirinya yang dulu. Matanya cekung, kulitnya pucat, dan senyumnya yang dulu ramah kini terlihat seperti seringai yang dipaksakan. Ia sering berbicara sendiri, mengulang-ulang kalimat, "Kekuasaan... itu milikku... semua milikku..." Ia terobsesi dengan berkas-berkas tua, mencoret-coret angka-angka tanpa makna, dan tertawa sendiri dalam kegelapan.
"Ayah... kau baik-baik saja?" Elara bertanya suatu pagi, saat ia melihat ayahnya menatap kosong ke arah lukisan leluhur Rothschild, menggumamkan sesuatu tentang "api" dan "harga".
Bastian menoleh, matanya tidak fokus. "Baik? Aku sangat baik, Elara. Aku adalah tuan di sini! Aku menguasai segalanya!" Lalu, ia mendekat, suaranya berbisik, namun terdengar sangat keras. "Tapi... harganya... darah... selalu ada darah... mereka... mereka semua ingin mengambilnya dariku..." Ia memegang kepalanya, meringis, seolah melawan suara-suara di benaknya. Ini adalah tanda-tanda awal dari kegilaan yang Silas tanamkan.
Elara tahu, Silas tidak hanya mengambil jiwa ayahnya, tetapi juga mendorong ayahnya ke ambang kegilaan. Kegilaan iblis itu tersembunyi di balik senyum ramah dan kata-kata manis. Ia tidak pernah berteriak, tidak pernah mengancam secara langsung, tetapi manipulasinya begitu halus, begitu kejam.
Aku tahu, aku tidak bisa mengalahkan iblis ini dengan kekuatan fisik. Aku harus mengalahkannya dengan kecerdasan, dengan kelemahan iblis itu sendiri: **keserakahan dan kesombongannya**. Banyak iblis yang menjatuhkan manusia, namun sungguh lelucon dunia jika manusia menjatuhkan iblis.
Aku mulai merencanakan. Jika Silas sangat sombong, ia akan meremehkanku. Jika ia menganggap dirinya tak terkalahkan, ia akan lalai. Aku harus mencari celah dalam kontrak itu sendiri, atau menemukan cara untuk membuat Silas melanggar aturannya sendiri. Mungkin ada klausul kecil, sebuah detail yang diabaikan. Atau mungkin, kelemahan iblis itu adalah sesuatu yang paling manusiawi: **ketergantungan pada ritualnya sendiri, atau kebosanan abadi yang membuat mereka mencari 'hiburan' dengan cara yang prediktif.**
Aku mulai mencari buku-buku terlarang di perpustakaan lama, bahkan mencari manuskrip-manuskrip usang yang ayahku simpan di ruang belajar terlarang itu. Aku mempelajari demonologi, ritual pemanggilan dan pengusiran. Aku belajar tentang nama-nama asli iblis, dan bahwa mereka terikat oleh nama-nama itu. Silas mungkin menganggap dirinya tak terkalahkan, tapi aku tahu, setiap makhluk memiliki batas.
Aku harus menjadi racun yang lebih manis dari janji Silas, jebakan yang lebih cerdik dari skema iblis. Untuk menjatuhkan iblis yang telah mempermainkan takdir manusia, aku harus menggunakan senjataku sendiri: pikiran manusia yang kompleks, dan, mungkin, sentuhan emosi yang belum pernah dia alami — sesuatu yang iblis seperti Silas tidak akan pernah pahami, apalagi kuasai. Ia akan menggunakan kesombongan Silas untuk menjebaknya, dan ketulusan Julian sebagai tameng.
Perjuangan akan lebih dari sekadar pertempuran baik dan jahat, ini adalah pertempuran akal melawan kegilaan, keserakahan melawan pengorbanan. Dan aku bersumpah, aku tidak akan menjadi mangsa Silas. Aku akan menjadi orang yang mematahkan lelucon dunia ini, menunjukkan bahwa manusia, bahkan dengan segala kerapuhannya, bisa menjatuhkan iblis yang paling sombong sekalipun. Aku akan berjuang demi ayahnya, demi Julian, dan yang terpenting, demi jiwaku sendiri.
### Bab 5: Kata Terlarang dalam Pelukan Iblis
Pada malam bulan purnama berikutnya, aku merasakan kehadirannya lagi. Kali ini, aku tidak bersembunyi di balik selimut. Aku menunggunya, berdiri di tengah kamarku, menatap keluar jendela ke arah bulan purnama yang menggantung tinggi.
Silas muncul. Senyum predatornya terpampang jelas. "Malam ini, Nona Elara, aku bisa merasakan jiwamu semakin rapuh. Kau akan memohon padaku."
"Tidak," kataku, suaraku serak, tapi tegas. Aku tidak merasakan ketakutan lagi, hanya tekad dingin. "Aku tidak akan memohon padamu, kau **iblis busuk**."
Silas tertawa. "Penolakan yang sia-sia. Ayo, jangan membuang waktu. Biarkan aku mengambil apa yang menjadi hakku." Ia melangkah mendekat, matanya berkobar-kobar.
Aku tidak mundur. "Silas," kataku, suaraku tiba-tiba berubah, menjadi lebih lembut, lebih rentan. Ada kepalsuan yang hati-hati dalam nada itu. "Aku tahu kau kuat. Kau abadi. Tapi... kau tidak bisa memahami segalanya, bukan?"
Ia terhenti, terkejut dengan nada suaraku yang tiba-tiba berubah. "Apa yang kau maksud?"
"Emosi manusia," bisikku, melangkah lebih dekat padanya, sebuah langkah berani yang bisa berarti akhir bagiku. "Cinta. Benci. Kebaikan. Kejahatan. Semuanya terasa... lebih rumit dari sekadar kekuasaan, bukan? Kau hanya tahu bagaimana mengambil, bukan bagaimana merasakan."
Kilatan kebingungan melintas di matanya, lalu digantikan oleh senyum mengejek. "Aku memahami lebih dari yang kau bayangkan, Elara. Aku telah melihat jutaan jiwa yang dikendalikan oleh emosi remeh itu."
"Tapi apakah kau benar-benar merasakan mereka?" aku menantangnya, menatap langsung ke matanya, mencoba menembus fasadnya. "Atau kau hanya meniru mereka untuk memanipulasi kami? Apakah kau pernah... merasakan sesuatu yang begitu kuat hingga kau melupakan semua aturanmu?"
Silas mendekat, tangannya terulur untuk mencengkeram rahangku. "Apa yang kau coba lakukan?" desisnya, suaranya sedikit lebih kasar, ada kegusaran yang nyata di sana. Aku telah menyentuh sesuatu.
"Aku hanya bertanya," kataku, membiarkan suaraku menjadi lebih lembut lagi, seperti bisikan seorang kekasih, sebuah perangkap yang disiapkan dengan hati-hati. "Kau mengambil jiwaku sedikit demi sedikit. Tidakkah kau pernah berpikir, bagaimana rasanya jika kau yang kehilangan kendali? Jika kau, seorang iblis, menyerah pada sesuatu yang tidak seharusnya kau miliki?"
Ia menatapku, tatapannya intens, mencari kebohongan dalam diriku. Tapi aku hanya memancarkan kepalsuan yang tulus. "Aku adalah penguasa emosi, Elara. Aku tidak menyerah. Aku mengendalikan."
"Apakah begitu?" bisikku, nyaris tak terdengar. "Atau kau terlalu takut untuk merasakannya? Takut menjadi... **iblis durhaka**?" Aku sengaja menyisipkan frasa terlarang itu.
Mata Silas melebar. Sebuah kemarahan yang membara muncul di dalamnya, seolah ia baru saja disentuh api suci. Tiba-tiba, ia menarikku mendekat, napasnya panas beraroma belerang. Ia menciumku dengan brutal, bukan ciuman untuk mengambil jiwa, tapi ciuman yang dipenuhi amarah dan nafsu kepemilikan yang murni. Ini adalah ciuman yang aneh, penuh kekerasan, dan ada sesuatu yang baru di dalamnya: **gairah yang tak terduga**.
Saat bibirnya menyentuhku, saat ia berusaha mengambil lebih banyak, aku merasakan koneksi yang lebih dalam dari biasanya. Itu adalah momen kerentanan baginya, saat ia sepenuhnya fokus padaku, pada amarahnya, pada dorongan yang baru ini.
Aku menatapnya dalam-dalam, dan dengan seluruh sisa kekuatanku, dengan suara yang nyaris tak terdengar, aku berbisik di tengah ciuman mengerikannya, "Kau... mencintaiku, Silas?"
Sesaat, tubuhnya menegang. Wajahnya yang sempurna terdistorsi. Matanya berkobar merah. Sebuah raungan mengerikan keluar dari tenggorokannya, bukan lagi tawa yang anggun, melainkan jeritan kesakitan dan kengerian yang murni. Jiwa iblisnya memberontak. **Iblis dilarang jatuh cinta pada manusia. Iblis tidak memiliki emosi serumit itu. Jika ada, maka iblis tersebut menjadi iblis durhaka.** Aku telah membuatnya mengucapkan kata terlarang itu, menjebaknya dengan emosi yang ia kira tidak ia miliki.
"Tidak!" raungnya, mendorongku menjauh. Ia mencengkeram kepalanya, tubuhnya berasap, seolah terbakar dari dalam. "Kau... kau menjebakku! Itu mustahil!"
Silas jatuh berlutut, tubuhnya berasap lebih tebal, membakar karpet di bawahnya. Wajahnya yang sempurna mulai hancur, menampakkan wujud aslinya: sebuah gumpalan api yang menyala-nyala, dengan mata merah membara dan gigi-gigi taring yang mengerikan. Ia melolong kesakitan, suara yang bukan lagi melodi, melainkan jeritan yang mengoyak gendang telingaku.
"Aku akan kembali, Elara!" raungnya, suaranya mulai memudar seiring asap yang mengepul. "Ini belum berakhir! Aku akan memilikimu!"
"Tidak," kataku, berdiri tegak di tengah kepulan asap. "Kau tidak akan pernah kembali. Aku sudah mematahkan janji yang tak bisa kau patahkan. Kau telah melanggar aturanmu sendiri. Kontrakmu hancur."
Saat asap itu lenyap, yang tertinggal hanyalah bau belerang yang menyengat dan bekas hangus di lantai kayu yang mahal. Silas telah pergi. Terusir, bukan oleh ritual suci, tapi oleh kelemahan yang ia anggap tak mungkin dimilikinya: **cinta yang terlarang**.
Aku berdiri di sana, terengah-engah, tubuhku gemetar, tetapi ada kehangatan yang kembali ke dalam diriku. Seolah bagian-bagian jiwaku yang hilang telah kembali. Ayahku, masih gila, masih terperangkap dan masih terperangkap dalam ilusi kekuasaannya. Tapi dia bebas dari pengaruh Silas. Dan Julian, dia aman.
Malam itu, aku tahu. Banyak iblis yang menjatuhkan manusia. Namun, di mansion Rothschild ini, seorang manusia telah menjatuhkan iblis. Itu adalah lelucon dunia yang paling ironis. Dan aku, Elara, telah menjadi pahlawan di cerita hororku sendiri, seorang yang menipu iblis dengan emosi yang tak bisa ia pahami.
Aku tertawa,bukan karena rasa puas atau bahagia, aneh sekali.. rasanya seperti ada sesuatu yang menusuk dadaku hingga air mataku jatuh