Tiap kali Mbah Sri mengangkat setrika arangnya, Dara merasa seperti menonton siaran langsung dari masa lalu—hitam putih, tanpa jeda iklan. Asap kecil mengepul dari perut logam yang mengandung bara. Tidak ada suara mendesis seperti setrika uap di rumah-rumah tetangga, tak juga ada tombol-tombol digital berkedip. Tapi ada sesuatu di sana yang Dara tahu tak bisa disalip oleh kecepatan.
“Jangan terlalu dekat, Nduk. Arang ini diam, tapi panasnya bisa bikin kamu ingat seumur hidup,” kata Mbah Sri sambil meniup pelan, seolah membisikkan mantra pada bara di dalamnya.
Dara duduk di lantai, menyender pada dinding rumah yang masih berdiri tegak dari kayu jati warisan zaman penjajahan. Di tangannya, ponsel pintar menyala tanpa suara. Sambil menyimak video pendek tentang ‘life hacks modern’, matanya tetap mencuri-curi pandang ke arah neneknya—perempuan tua yang lebih percaya pada gerak tangan daripada teknologi.
“Apa nggak ribet, Mbah? Harus isi arang, tiup-tiup, terus nyetrika pelan-pelan kayak nungguin sinyal di dusun,” tanya Dara, nada suaranya separuh menggoda, separuh tulus ingin tahu.
Mbah Sri tidak langsung menjawab. Ia mengangkat satu baju sekolah, membentangkannya seperti mengamati peta rahasia. “Yang pelan itu belum tentu tertinggal. Kadang yang terburu-buru justru nyasar,” ucapnya, setrika bergerak perlahan menyusuri kain. “Kamu pernah lihat burung yang terbang rendah? Mereka bisa melihat mangsa lebih jelas daripada yang tinggi.”
Dara terdiam. Ia tak ingin kalah argumen, tapi kalimat Mbah Sri punya semacam kekuatan yang tak bisa dilawan dengan logika internet.
“Zaman sekarang, Mbah, setrika listrik udah bisa mati sendiri kalau kelamaan ditinggal. Yang itu,” ia menunjuk ke setrika arang yang sudah menghitam di sudut meja, “kalau ditinggal, bisa kebakar semua baju!”
Mbah Sri tersenyum. “Maka jangan ditinggal. Sama seperti janji.”
---
Bau arang samar memenuhi udara, mencampur dengan aroma kayu tua dan sedikit bubuk kopi yang lupa dibereskan tadi pagi. Di luar, suara klakson motor dan deru mobil dari jalan utama seperti datang dari dunia lain—dunia tempat segala sesuatu serba cepat, serba instan, dan serba bunyi.
Dara menggeser posisi duduknya. Notifikasi ponsel terus berdenting, tapi entah mengapa, suara gesekan setrika arang terasa lebih menarik hari ini.
“Mbah,” katanya, pelan. “Kenapa sih Mbah nggak mau pakai yang lebih modern? Lebih ringan, lebih bersih, dan—ya, lebih kekinian gitu.”
Mbah Sri masih menunduk. Ia melipat hasil setrikaan pertamanya dengan rapi, seolah melipat surat penting.
“Karena Mbah tidak sedang mengejar zaman, Nduk. Mbah sedang menjaga caranya tetap hidup.”
Kalimat itu membuat Dara menghentikan jemarinya yang hampir menyentuh layar. Ia menoleh penuh ke arah neneknya—wajah tua yang penuh keriput tapi bersih, sorot mata yang tenang seperti danau yang sudah melihat cukup banyak pergantian musim.
“Benda-benda lama itu bukan sekadar alat. Mereka itu saksi,” sambung Mbah Sri. “Setrika ini dulu dipakai ibumu waktu mau sidang skripsi. Mbah setrika bajunya sampai keringat netes ke lantai. Tapi lihat, dia lulus, kerja, bisa bangun rumah. Setrika ini memang nggak bisa mati sendiri kalau ditinggal, tapi dia pernah jadi bagian dari orang yang nggak pernah ninggalin tanggung jawabnya.”
Dara menatap benda berat berwarna hitam di meja. Tak ada yang menarik dari bentuknya. Pegangan kayu sudah sedikit retak, dan bagian bawahnya sedikit bengkok. Tapi ada yang aneh—ia mulai merasa, setrika itu punya napas.
“Mbah tahu nggak, di TikTok, orang-orang bilang barang kuno itu ‘aesthetic’. Kalau difoto dengan cahaya senja bisa viral.”
“Ah, viral itu cuma batuk yang pindah-pindah, Nduk. Besok hilang, besoknya lagi orang lupa,” sahut Mbah Sri sambil tergelak. “Tapi kalau kamu bisa bikin sesuatu bermanfaat, meskipun orang nggak lihat, itu tetap berharga.”
---
Hari Sabtu datang seperti biasa: santai, penuh rencana, dan Wi-Fi. Dara sudah menjadwalkan sesi live streaming untuk promosi brand baju lokal di akun sosial medianya. Ia telah menyiapkan latar ruangan, tripod, ring light, dan tentunya—baju baru yang belum sempat disetrika.
Ia masuk ke kamar Mbah Sri dengan ekspresi setengah panik.
“Mbah! Setrikaku nggak mau nyala! Listrik mati!”
Mbah Sri duduk di bangku pendek, tengah mengupas pisang rebus sambil bersenandung lagu Jawa yang entah judulnya apa. Ia menoleh pelan.
“Listrik mati? Ya sudah, berarti waktumu hidup, Nduk.”
Dara mendesah. “Mbah, ini serius. Aku mau live sejam lagi. Kalau baju ini kusut, followers-ku bisa kabur!”
Mbah Sri tersenyum, lalu berdiri, berjalan perlahan ke sudut meja tempat setrika arang biasa bertengger seperti jagoan dari masa lalu. Ia membuka tutup besi di punggungnya, mengisi arang seperti seorang perajurit menyiapkan peluru terakhir.
“Kamu bisa pakai ini dulu,” katanya, menyerahkan setrika itu. “Kalau kamu mau bersabar, panasnya bisa bikin kerutan lari seperti maling.”
Dara menatap benda itu. Berat. Tua. Tidak bersuara. Tapi saat menyentuh pegangan kayunya, ia merasakan sesuatu yang tak ada di setrika listrik: kehangatan yang seperti lahir dari tangan, bukan mesin.
Ia menatap Mbah Sri, lalu baju, lalu setrika. Dalam hati, ia menyerah. “Baiklah. Tapi Mbah temani, ya. Aku takut gosongin logo.”
Dara mulai menyetrika. Tangannya canggung, tapi pelan-pelan ia menemukan ritme: satu arah, sedikit tekanan, lalu tiup pelan seperti Mbah Sri.
Samar-samar, ia menyadari sesuatu. Dalam sunyi, terdengar detak arang—bukan suara, tapi denyut. Seolah benda itu tak sekadar bekerja, tapi merawat.
Mbah Sri duduk di sebelahnya, tak banyak bicara. Matanya mengamati Dara seperti langit mengamati laut—dengan sabar, tanpa mengganggu.
Setengah jam kemudian, baju selesai disetrika. Rapi. Tanpa kerut. Dara bahkan sempat senyum sendiri.
“Wah, keren juga nih, Mbah. Aku kayak... menari tapi sama besi panas.”
Mbah Sri terkekeh. “Kamu mulai ngerti. Alat lama memang tidak otomatis, tapi mereka mengajakmu hadir. Bukan sekadar pencet tombol lalu tinggal pergi.”
---
Hari itu, Dara tampil live di ruang tamu. Meski tanpa ring light menyala, sinar senja dari jendela cukup adil membagi cahaya. Bajunya rapi. Penampilannya sederhana tapi bersih. Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya—bukan sekadar gaya, tapi gestur yang lebih tenang, lebih sadar.
Dan yang paling mengejutkan?
Penonton live-nya justru meningkat.
“Bajunya rapi banget! Brand baru ya?” tanya salah satu komentar.
“Ada aura beda hari ini. Lebih... adem,” tulis yang lain.
Dara tersenyum. Ia tak menyebut soal setrika arang. Ia hanya mengangguk, menyampaikan pesan-pesan tentang slow fashion, kualitas, dan... proses.
Setelah siaran, ia memeluk Mbah Sri yang masih duduk menonton dari kursi kayu. “Ternyata... hasil yang baik itu nggak cuma datang dari teknologi mahal. Kadang, dari tangan yang tahu ke mana harus mengarah.”
Mbah Sri hanya menepuk punggungnya.
“Karena ilmu bukan soal seberapa cepat kamu bisa, tapi seberapa dalam kamu paham.”
---
Seminggu kemudian, Dara ikut dalam kegiatan sosial di kampung—sebuah lomba menyetrika baju seragam sekolah untuk anak-anak kurang mampu. Semua peserta datang membawa setrika listrik modern. Kabel bersilang, colokan rebutan.
Namun di tengah lomba—boom. Listrik padam.
Panik. Rengekan. Protes. Semua saling menatap.
Sementara Dara? Ia membuka tas kain kecilnya, dan mengeluarkan sang jagoan: setrika arang warisan Mbah Sri.
Anak-anak mengerubunginya. Panitia tersenyum heran. Salah satu fotografer lokal bahkan memotret Dara dengan caption:
“Gadget bisa kalah. Tapi tangan yang belajar dari zaman—itu tak tergantikan.”
Dalam waktu satu jam, ia menyelesaikan lima seragam. Keringatnya menetes, tapi wajahnya tenang. Seolah ia sedang mengembalikan sesuatu pada dunia: bahwa nilai bukan soal tampilan, tapi ketekunan.
---
Sore itu, Dara duduk bersama Mbah Sri di beranda. Mereka meminum teh sambil menatap matahari tenggelam. Tak ada notifikasi. Tak ada dering. Hanya percakapan pelan dan senyum yang datang dari hati yang cukup.
“Mbah,” kata Dara. “Aku nggak tahu apakah nanti aku akan tetap setia pada alat-alat tua. Tapi aku tahu satu hal: aku nggak akan remehkan apa yang sudah lama bertahan.”
Mbah Sri mengangguk.
“Karena yang bertahan bukan karena kuat, tapi karena tahu kapan harus menepi, mengamati, dan melangkah diam-diam. Seperti biawak, Nduk.”
Dara tertawa pelan. “Mbah... serius, kenapa jadi biawak?”
“Karena biawak tidak cari sorotan. Tapi dia tahu ke mana harus pulang.”
Mereka tertawa bersama. Dan dalam tawa itu, Dara merasa hidupnya baru saja bertambah satu warisan: bukan setrika, bukan baju rapi, tapi hikmah yang tak bisa dibeli—
tentang waktu, tentang sabar, dan tentang tangan yang tak hanya memegang, tapi juga mengerti.