Saat Aditama dan Aruna melintasi lorong menuju barak prajurit, suara-suara yang sebelumnya samar kini mulai menggema. Bisikan-bisikan, desahan, dan tawa-tawa hampa mulai terdengar dari dinding-dinding. Udara terasa semakin dingin, seolah puluhan pasang mata tak terlihat sedang mengawasi mereka.
"Mereka selalu ingin melihatmu," bisik Adit, tanpa menoleh. Wajahnya tetap tenang, namun matanya yang kosong tampak lebih gelap. "Kau adalah hal baru di sini. Sumber cahaya kecil."
Aruna merasakan bulu kuduknya berdiri. "Siapa... 'mereka'?" tanyanya, suaranya hampir tak terdengar.
"Mereka yang terjebak," jawab Adit singkat. "Sama sepertiku. Mereka ingin kau tetap di sini."
Tiba-tiba, lorong di depan mereka berkedip. Dinding-dinding beton runtuh menjadi tumpukan puing, menampakkan pemandangan yang sama sekali berbeda: sebuah aula besar yang dipenuhi bayangan-bayangan hitam yang bergerak cepat. Bayangan-bayangan itu tidak memiliki wujud jelas, hanya siluet-siluet kabur yang melesat dan berputar, disertai suara-suara teriakan dan erangan yang mengerikan. Ini adalah manifestasi dari para arwah yang terjebak, yang kini menjadi lebih agresif.
"Mereka tidak suka kau pergi," kata Adit, nada suaranya berubah menjadi lebih serius. "Mereka ingin kau menjadi bagian dari mereka."
Salah satu bayangan melesat ke arah mereka, menembus dinding dengan suara mendesis tajam. Aruna merasakan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsumnya. Itu bukan hawa dingin biasa, melainkan dinginnya keberadaan yang mati.
"Ikut aku, Aruna!" Aditama tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangan Aruna, genggamannya terasa dingin namun begitu kuat, seolah ia adalah satu-satunya jangkar Aruna di tengah kekacauan ini.
Tanpa peringatan, Aditama mulai berlari. Ia tidak berlari seperti manusia biasa, melainkan melesat seperti angin, gerakan yang sangat tidak realistis. Dinding-dinding di sekitar mereka terus bergeser dan berubah. Terkadang mereka berada di dalam barak, sedetik kemudian mereka mungkin berada di tengah hutan yang diselimuti kabut tebal, lalu tiba-tiba di puing-puing bangunan yang hancur. Ini adalah geometri yang kacau, sebuah perwujudan dari ingatan yang rusak dan terfragmentasi.
Aruna terengah-engah, kesulitan mengikuti kecepatan Adit. "Adit! Kita mau ke mana?!" teriaknya, suaranya tenggelam dalam lolongan dan jeritan bayangan-bayangan.
"Keluar dari sini!" jawab Adit, suaranya tegas dan mendesak. "Kita harus kembali ke terowongan! Sebelum mereka menyerapmu!"
Bayangan-bayangan itu semakin banyak, melesat di setiap sudut, mencoba menghalangi jalan mereka. Aditama, dengan kecepatan yang mengerikan, menghindar, melompati puing-puing yang baru saja muncul, dan bahkan meninju bayangan-bayangan yang terlalu dekat. Pukulannya tidak menghasilkan suara, namun bayangan itu terpental, seolah memang ada kekuatan fisik di baliknya. Ini adalah keterampilan seorang prajurit yang bertarung melawan musuh tak kasat mata.
"Mereka ingin menambahkanmu ke dalam siklus ini, Aruna!" Adit berteriak, saat mereka melesat melewati koridor yang kini tampak seperti reruntuhan parit perang. Mayat-mayat ilusi bergelimpangan di tanah, dan bau darah semakin memekakkan. "Jika kau terlalu lama di sini, kau akan menjadi seperti kami! Terjebak selamanya!"
Mereka berlari menembus dinding yang runtuh, dan tiba-tiba mereka berada di luar, di tengah kabut tebal yang menyelimuti seluruh area. Namun, ini bukan kabut yang tenang seperti yang Aruna lihat di desa. Ini adalah kabut yang bergejolak, seperti awan asap tebal dari ledakan, membawa serta bau kematian dan keputusasaan.
"Kita harus bersembunyi sebentar!" Adit tiba-tiba berhenti di balik sebuah batu besar yang tertutup lumut tebal. Ia menarik Aruna untuk merunduk bersamanya.
Momen Persembunyian dan Pengungkapan
Kabut pekat dan suara-suara samar dari bayangan yang mengejar mereka menjadi selimut persembunyian. Aruna terengah-engah, jantungnya masih berdetak kencang. Ia menatap Adit, yang kini terlihat lebih lelah dari sebelumnya. Noda darah di seragamnya tampak lebih jelas, dan lebam di wajahnya semakin menghitam.
"Kita tidak punya banyak waktu," kata Adit, napasnya memburu, meskipun Aruna tahu Adit tidak bernapas. Suaranya serak dan putus asa. "Mereka akan menemukan kita."
"Siapa mereka, Adit? Apa ini semua?" Aruna bertanya, rasa takut bercampur dengan kebutuhan mendesak untuk memahami.
Adit menghela napas, sebuah desahan hampa. "Ini adalah Medan Hantu, Aruna. Tempat di mana perang tidak pernah berakhir. Mereka yang mati di sini, termasuk aku, terjebak dalam siklus. Ingatan kami berulang, kejadian tragis terulang lagi dan lagi." Ia menatap Aruna, matanya yang kosong menatap ke dalam jiwa Aruna. "Aku adalah salah satu dokter yang tewas di terowongan itu, Aruna. Aku mencoba menyelamatkan para prajurit, tapi takdirku adalah melihat mereka semua gugur. Dan melihat diriku sendiri gagal."
Aruna menatapnya dengan kaget. "Kau... kau dokter?"
"Ya. Letnan Aditama, dari tim medis militer," jawab Adit. "Aku mati saat mencoba menarik prajuritku yang terluka ke terowongan itu, berharap bisa mencapai laut. Tapi kami tidak pernah berhasil." Ia terdiam, lalu menatap Aruna lagi, tatapannya kini memohon. "Kau adalah satu-satunya yang belum sepenuhnya terserap, Aruna. Kau nyata. Mereka ingin kau menjadi bagian dari kami. Satu lagi ingatan yang berulang."
"Tapi... mengapa aku bisa melihatmu? Dan menyentuhmu?" Aruna bertanya, menatap tangannya yang tadi digenggam Adit.
"Karena kau masuk ke terowongan itu, gerbang antara dunia ini dan dunia nyata," Adit menjelaskan. "Dan karena kau memiliki kekuatan untuk merasakan. Kau merasakan penderitaan kami, kau merasakan kehangatan yang sudah lama hilang dari kami. Itulah yang menarik kami padamu. Itulah mengapa mereka menginginkanmu."
Suara-suara di dalam kabut semakin mendekat. Bayangan-bayangan itu mulai berkerumun, menembus kabut, mencari mereka.
"Kau harus pergi, Aruna," Adit berkata, suaranya mendesak. "Ini adalah kesempatanmu. Aku akan menahan mereka. Kau lari. Lari menuju terowongan itu, teruslah lari sampai kau melihat cahaya. Jangan pernah menoleh ke belakang."
Aruna menggelengkan kepalanya. "Tidak! Aku tidak bisa meninggalkanmu! Ada cara untuk membebaskanmu, Adit. Kita bisa mencari jalan keluar bersama!"
Adit tersenyum, senyum yang sangat sedih dan lelah. "Tidak ada jalan keluar untukku, Aruna. Aku sudah mencoba berkali-kali. Siklus ini adalah takdirku. Tapi bukan takdirmu. Kau adalah harapan." Ia meraih wajah Aruna dengan kedua tangannya yang dingin, jemarinya membelai pipi Aruna. "Kau adalah hal terindah yang pernah kulihat dalam siklus yang tak ada habisnya ini. Jangan biarkan aku menenggelamkanmu dalam kegelapan ini."
Suara teriakan bayangan semakin dekat, mereka kini terlihat samar di balik kabut.
"Sekarang, Aruna!" perintah Adit, matanya memancarkan tekad yang mengerikan. "Ini satu-satunya kesempatanmu!"
Pelarian Menuju Terowongan
Aditama tiba-tiba berdiri. Dalam sekejap, ia seperti sebuah kilatan, menghadapi bayangan-bayangan yang menerjang mereka. Aruna melihatnya bergerak dengan kecepatan luar biasa, meninju, menendang, meskipun ia tahu Adit adalah hantu dan bayangan itu adalah arwah. Sebuah pertempuran yang tidak masuk akal terjadi di tengah kabut pekat, antara seorang hantu prajurit dan para arwah yang ingin menjebak.
"LARI, ARUNA!" teriak Adit, suaranya menggelegar, meskipun ia terlihat semakin transparan. "MENUJU TEROWONGAN!"
Aruna, dengan air mata mengalir di pipinya, mengangguk. Ia tidak tahu bagaimana Adit bisa melakukan itu, mengapa ia bertarung. Tapi ia tahu, ini adalah kesempatan terakhirnya. Ia berbalik dan mulai berlari, menembus kabut yang terasa seperti memeluknya, mencoba menahannya.
Ia berlari melewati reruntuhan yang tidak jelas, melintasi pepohonan yang tampak bengkok dan menyeramkan. Suara pertempuran Adit di belakangnya semakin samar, digantikan oleh suara napasnya sendiri yang tersengal-sengal dan detak jantungnya yang memekakkan. Setiap langkah terasa berat, seolah lumpur tak terlihat menahan kakinya.
Akhirnya, di kejauhan, Aruna melihat siluet gelap terowongan. Itu tampak menganga, memanggilnya, sekaligus mengancam. Ia tidak tahu apakah itu adalah jalan keluar atau justru perangkap lain. Tapi ia harus percaya pada Adit.
Ia terus berlari, mengabaikan rasa sakit di kakinya, mengabaikan hawa dingin yang menusuk. Suara-suara yang menariknya kembali, bisikan Adit yang meminta maaf, dan erangan bayangan-bayangan, semua itu bersatu menjadi simfoni horor di telinganya.
Saat ia mencapai mulut terowongan, tiba-tiba, sebuah tangan dingin mencengkeram pergelangan tangannya. Aruna menjerit. Ia berbalik, dan melihat Adit. Wajahnya pucat pasi, seragamnya robek dan berlumuran darah yang lebih banyak, dan matanya... matanya kini hampir sepenuhnya gelap, tanpa cahaya sedikit pun.
"Kau... berhasil," bisik Adit, suaranya nyaris tak terdengar, seolah setiap kata adalah upaya yang menyakitkan. "Aruna..." Tertahan, Aditama menelan kembali kata kata yang hampir lolos dari lidahnya.
Dengan kekuatan terakhir yang entah dari mana asalnya, Aditama mendorong Aruna masuk ke dalam terowongan. Dorongan itu kuat, memaksa Aruna terhuyung ke depan. Ia merasakan gravitasi menariknya, diikuti dengan sensasi putaran yang memualkan.
Kembali ke Dunia Nyata.
Aruna terbatuk-batuk, matanya mengerjap. Ia terbaring di tanah yang lembap, bau tanah dan lumut menusuk hidungnya, tapi bukan bau darah dan mesiu. Ia merasakan angin segar menerpa wajahnya.
Ia berada di mulut terowongan yang sama, di lereng gunung di pulau itu. Kabut masih menyelimuti, tapi kini terasa lebih tenang, seperti selimut tipis. Ponselnya tergeletak di sampingnya. Anjing hitam yang sebelumnya menabraknya duduk di dekatnya, menatapnya dengan mata yang aneh, seolah ia adalah penjaga.
Aruna menatap ke belakang, ke dalam kegelapan terowongan. Tidak ada Adit. Tidak ada bayangan. Hanya kegelapan yang menganga. Ia meraba pergelangan tangannya, tempat Adit mencengkeramnya. Tidak ada bekas, tidak ada sentuhan dingin yang tersisa.
Ia kembali ke desa, trauma dan kelelahan. Aruna tidak menceritakan apa yang terjadi kepada siapa pun. Penduduk desa menyambutnya dengan lega, khawatir karena ia menghilang. Mereka tidak menanyakan banyak hal, hanya bersyukur ia kembali. Aruna melanjutkan pekerjaannya sebagai dokter, merawat pasien, tersenyum, dan berinteraksi.
Namun, di dalam dirinya, ada sesuatu yang berubah. Aroma darah dan mesiu kadang masih tercium, hanya olehnya. Di malam hari, saat kabut tekab, ia kadang melihat siluet seorang pria berseragam militer di kejauhan, di balik kabut, menatapnya. Terkadang, di dalam mimpinya, ia kembali ke barak militer itu, merasakan dinginnya tangan Adit, mendengar senandung sedihnya, dan melihat kesedihan di matanya.
Hubungannya dengan dunia nyata terasa sedikit terpisah, seolah sebagian jiwanya telah tertinggal di dunia yang tidak masuk akal itu. Dan di suatu sudut hatinya yang terdalam, sebuah romansa tragis telah terukir—cinta kepada seorang hantu, seorang prajurit yang terjebak dalam siklus abadi, yang mengorbankan dirinya agar Aruna bisa kembali ke cahaya.
Aruna tahu, ia adalah satu-satunya yang bisa mengingat Letnan Aditama. Dan itu adalah sebuah beban, sekaligus sebuah pengingat akan cinta yang melampaui batas hidup dan mati, yang lahir dari kegelapan dan keputusasaan di sebuah pulau yang selalu diselimuti kabut. Dan kadang, di saat-saat sepi, ia bertanya-tanya, apakah Adit merasakan kehadirannya juga, di balik tabir kabut abadi itu.
Meskipun layar ponselnya retak dan sakit hati karena jatuh hati secara tragis pada hantu yang entah bagaimana caranya, Aruna cukup senang merasakan cinta pertamanya yang tidak akan pernah terlupakan. Di saku jas dokternya selalu tersimpan bunga melati yang telah dikeringkan dan diawetkan dengan hati hati.
[Bagaimana menurutmu cerita ini? Apakah sudah sesuai dengan yang kamu inginkan?]