Aruna terpaku, jantungnya berpacu tak karuan. "Sebenarnya... tempat apa ini?" gumamnya, bunga melati di tangannya terasa dingin dan berat. Aroma darah dan besi yang terbakar kini semakin kuat, bercampur dengan bau mesiu yang tajam. Ia sendirian di tengah jalan, dikelilingi rumah-rumah kuno dan orang-orang yang melayang, dan sekarang... ledakan.
Tiba-tiba, perhatian Aruna teralih. Seekor anjing hitam, yang sama persis dengan anjing yang menyeretnya ke terowongan, muncul dari balik sebuah rumah. Anjing itu menggonggong keras, melengking, suara gonggongannya menusuk telinga Aruna. Namun, yang membuat Aruna benar-benar salah fokus adalah ponselnya tidak terlihat bersama anjing tersebut.
Anjing itu langsung berbalik dan berlari menuju arah yang berlawanan dari tempat Adit menghilang, gonggongannya terus menarik perhatian Aruna. Agak menakutkan, Aruna tidak tahu tempat apa ini, apalagi tujuan anjing ini. Apakah itu benar-benar anjing? Atau hanya ilusi lain?
Aruna menggigit bibir bawahnya. Logikanya mengatakan untuk lari dari tempat yang jelas-jelas berbahaya ini, tapi rasa penasaran dan kebingungan yang mencekik menguasai dirinya. Jika ponselnya tidak bersama anjing itu, lalu kenapa anjing itu muncul lagi? Dan kemana perginya ponselnya? "Sial!" umpatnya pelan. Ia langsung berlari, mengejar anjing tersebut melewati belokan rumah dan jalan.
Aneh, tidak ada seorang pun yang menyadari seekor anjing berlari dan menggonggong keras, atau Aruna yang tengah berlari terburu-buru. Orang-orang di jalan masih tertawa, anak-anak masih berbagi kue, seolah ledakan dan teriakan Adit barusan tidak pernah terjadi. Pemandangan ini terlalu nyata untuk sebuah mimpi, terlalu aneh untuk sebuah kenyataan.
Dalam sekejap, dunia terasa berputar bagi Aruna. Sensasi pusing yang memualkan menyergapnya, dan suara anjing itu menghilang. Kegelapan menyambutnya, total, tanpa cahaya sedikit pun, hanya kegelapan yang menelan segalanya. Dan segera, kegelapan itu digantikan oleh suara ledakan yang memekakkan telinga, teriakan marah, dan makian yang bercampur dengan suara peluru yang berdesing di udara.
Aruna terbelalak, napasnya tercekat. Ia menyadari dirinya berada di tengah kekacauan, di sebuah tempat yang entah bagaimana terasa familiar. Bau darah segar menusuk hidungnya, bercampur dengan bau mesiu yang tajam. Mayat-mayat bergelimpangan di tanah, dan darah membasahi bebatuan. Orang-orang yang memakai seragam militer mirip dengan Adit tengah mengumpat, berteriak, dan memegang senjata, baku tembak terjadi di mana-mana. Ini adalah medan perang.
Kengerian yang mematikan menguasai Aruna, tapi ia tidak punya waktu untuk panik. Tanpa sadar, ia menyadari dirinya tengah membalut luka seorang wanita yang berbaring di tanah. Wanita itu, seorang prajurit muda dengan seragam kotor berlumuran darah, tengah hampir kehilangan kesadarannya. Dengan tangan gemetar, Aruna melilitkan perban dari perlengkapan medis darurat yang entah dari mana asalnya, mencoba menghentikan aliran darah yang deras keluar dari bahu wanita itu.
Mata Aruna terasa panas, dan perih karena pemandangan di depannya. Ia berusaha sekuat tenaga, tapi rasa putus asa menyelimuti. Ia tidak mampu menghentikan apapun, tidak mampu menyelamatkan siapa pun. Entah bagaimana, ia tahu bahwa wanita yang dirawatnya itu tidak akan bertahan. "Ah... tamat sudah," pikir Aruna, sebuah rasa pasrah yang mengerikan menguasai dirinya.
Ia merasa stres, terperangkap dalam neraka ini. Yang lebih gila lagi, tidak ada seorang pun yang tampaknya menyadari kehadirannya. Para prajurit berlarian melewatinya, seolah Aruna adalah udara. Saat Aruna mencoba meninju orang paling dekat dengannya, seorang prajurit yang sedang mengisi ulang senjatanya, tangannya tembus. Benar-benar seperti meninju udara. Tubuh Aruna tidak berwujud di tempat ini. "Tempat macam apa ini?!" teriaknya dalam hati, frustrasi dan ketakutan menyelimutinya.
Lorong Tak Berujung
Perlahan-lahan, pemandangan di depan Aruna berganti lagi, kabur dan kemudian menjadi jelas. Kali ini, ini adalah sebuah lorong. Mirip lorong rumah sakit lama yang pernah Aruna lihat di film dokumenter—dinding-dindingnya mengelupas, lampu-lampu redup berkedip-kedip, dan udara terasa pengap dengan bau antiseptik yang bercampur aroma karat.
Di sana, di lantai dingin, Adit duduk bersandar di dinding, lebih tepatnya duduk di lantai bersama Aruna. Seragam militernya tidak lagi rapi. Ada noda darah kering yang gelap di balik seragamnya, dan lebam samar terlihat di pipi dan pergelangan tangannya. Mungkin ada lebih banyak luka tersembunyi di dalam pakaian pria ini. Ia tampak seperti baru saja mendapatkan istirahat dari pekerjaan berat yang tiada henti.
Adit menatap lurus ke depan, ke ujung lorong yang gelap. Mata cokelatnya yang tadi memancarkan cahaya kini tidak terlihat bercahaya sama sekali. Mereka kosong, cekung, seolah-olah lelah karena mengulang siklus yang tidak pernah berakhir. Ada keputusasaan yang nyata terpancar dari sorot matanya, sebuah kesedihan yang mendalam yang membuat hati Aruna teremas.
Aruna entah mengapa merasa sesak, tidak nyaman melihat kondisi Adit yang seperti itu. Rasa dingin yang ia rasakan sebelumnya dari Adit kini terasa seperti sebuah kehangatan yang aneh, sebuah koneksi emosional yang tak terduga. Dengan berat hati, ia menawarkan bahunya. "Kau... kau mau istirahat sebentar, Adit? Bisa pakai bahuku sebagai bantal."
Adit terdiam sejenak. Mata cokelatnya yang kosong perlahan bergeser, menatap Aruna. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, terbentuk di bibirnya. Senyum itu tidak memiliki kehangatan, hanya sebuah kelelahan yang menyedihkan. Lalu, tawa kecil yang kering keluar dari tenggorokannya. Suara tawa itu pelan, nyaris tak terdengar, namun terasa seperti lelucon paling luar biasa di muka bumi, hingga membuat Aruna malu dan sedikit kesal.
"Maaf, Aruna," kata Adit, suaranya serak dan lelah. "Itu... itu terdengar lucu. Kau jauh lebih kecil dariku. Bahumu mungkin akan patah jika kupakai sebagai bantal."
Meskipun begitu, Adit tanpa ragu sedikit pun memindahkan berat tubuhnya. Ia tidak menggunakan bahu Aruna, melainkan meluncur perlahan ke lantai, menempatkan kepalanya di atas paha Aruna sebagai bantal. Ia menatap langit-langit lorong yang kotor, menghela nafas yang terdengar samar.
"Lantainya kotor, Adit," bisik Aruna, entah kenapa merasa khawatir.
"Tidak masalah, dokter," jawab Adit, suaranya hampir menyerupai bisikan. "Seragamku sudah terlanjur kotor. Dan... kurasa aku tidak peduli lagi."
Aruna menatapnya, bingung. Ia bisa merasakan bobot kepala Adit di pahanya, tapi tidak ada kehangatan yang terpancar dari tubuhnya. Aroma darah kering dan mesiu masih samar, namun kini bercampur dengan bau rumah sakit yang basi. Anehnya, lorong rumah sakit ini terlalu kosong. Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada suara perawat yang tergesa-gesa, tidak ada suara pasien yang mengerang. Hanya napas dan detak jantung Aruna sendiri yang terdengar jelas, memekakkan telinga dalam kesunyian yang menakutkan ini. Sedangkan pria yang berbaring di pangkuannya itu tidak terasa hangat, tidak terdengar hembusan napas, dan bahkan mungkin tidak memiliki detak jantung. Seolah-olah memang tidak ada apapun di sini selain bangunan baru yang kosong.
Aruna tanpa sadar menunduk, menatap Adit yang ada di pangkuannya. Rambutnya hitam legam, dan matanya terpejam. Ia tampak begitu damai, namun damai yang mengerikan.
Tiba-tiba, tanpa diduga, mata cokelat Adit terbuka. Tatapan mereka bertemu. Kali ini, tidak terlihat ada cahaya sama sekali di mata Adit. Seolah semuanya sudah terjatuh ke dalam kegelapan yang dingin, kehampaan yang tak berujung. Ada kesedihan yang begitu mendalam di sana, rasa sakit yang tak terkatakan, dan kelelahan yang abadi.
Entah mengapa, Aruna merasa tenggorokannya sakit, bukan secara fisik, melainkan sebuah nyeri emosional yang menusuk. Ia merasakan empati yang begitu kuat untuk pria di pangkuannya ini, meskipun ia adalah hantu, meskipun ia adalah bagian dari mimpi buruk ini. Aruna akhirnya tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Kau... lelah, Adit?" Aruna sendiri tidak mengerti konteks dasar dari pertanyaannya sendiri, tapi pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirnya.
Adit menatapnya dengan tatapan kosong, bayangan masa lalu yang kelam terpantul di matanya. Ia terdiam cukup lama, seolah sedang mencari kata yang tepat di antara tumpukan ingatan yang hancur. Sebuah desahan yang terdengar lebih mirip hembusan angin dingin keluar dari bibirnya.
"Lelah?" Adit mengulang, suaranya nyaris berbisik, serak seperti daun kering yang digerus. "Tentu saja, Aruna. Sangat lelah. Lelah menjalani semua ini. Lelah mengulang semua ini."
Ia memejamkan mata lagi, kepalanya terasa semakin berat di paha Aruna. "Setiap hari... setiap malam... aku ada di sini. Di pesta pernikahan itu, di medan perang ini, di lorong ini. Semua terulang, lagi dan lagi. Aku melihat mereka semua... orang-orang yang kukenal... yang mati di hadapanku. Dan aku... aku hanya bisa melihat."
Aruna menatapnya dengan pilu. Ia merasakan bobot yang bukan hanya fisik, melainkan bobot takdir yang menindih Adit.
Pada titik ini, Aruna tidak bisa mengatakan apa pun. Ia hanya menatap mata cokelat Aditama dengan napas tertahan. Rasanya seperti ada tangan-tangan tak kasat mata yang mencoba mencekiknya, mengambil napasnya. Kengerian yang mencengkeramnya begitu kuat hingga ia merasa paru-parunya menolak bekerja.
Aditama, seorang letnan militer dengan refleks yang tajam, tidak mungkin memiliki kepekaan yang buruk. Tanpa Aruna sadari, Adit mengulurkan tangannya. Jemarinya yang dingin menyapu sisi leher Aruna dengan halus, hampir terlalu sopan, seperti sentuhan embun pagi yang beku. Sebuah gumaman pelan, nyaris tak terdengar, keluar dari bibirnya. "Maaf."
Aruna tersentak. Sensasi sesak napasnya menghilang seketika, meskipun bau darah terbakar dan mesiu masih menusuk hidungnya. "Maaf," bisik Aruna, suaranya serak. Ia tersadar, menyadari bahwa ia telah tenggelam terlalu dalam dalam pikirannya sendiri.
Adit hanya bersenandung pelan, senandung yang terdengar seperti melodi militer kuno yang sedih. "Jangan melamun, Dokter," katanya dengan humor kering yang aneh, kontras dengan kengerian di sekitar mereka. "Nanti ada hantu yang menculikmu."
Mendengar hal itu, Aruna sedikit cemberut, lalu tawa kecil yang hampa keluar dari bibirnya. Rasa geli karena humor itu bercampur dengan rasa merinding yang menusuk. Memang ada hantu yang menggunakan pahanya sebagai bantal. Dan hantu itu adalah pria yang sedang berbicara dengannya. Ini terasa seperti lelucon paling gelap di dunia.
Aruna memberanikan diri. "Letnan Aditama," katanya, berusaha terdengar santai, meskipun suaranya sedikit bergetar. "Mengapa... mengapa rumah sakit ini kosong?"
Adit mengangkat kepalanya sedikit dari paha Aruna. Mata cokelatnya yang kosong menatap lurus ke mata Aruna, tatapan yang sulit diartikan. Ada jejak kesedihan abadi di sana, keputusasaan yang begitu dalam hingga membuat Aruna merasakan sakit di dadanya. Sebuah bisikan keluar dari bibir pucat Adit. "Kita tidak sedang berada di rumah sakit, Aruna."
Ekspresi Aruna membeku. Ia menoleh perlahan. Dinding-dinding rumah sakit yang ia lihat beberapa detik sebelumnya, kini telah berubah. Warna cat yang mengelupas, lampu-lampu redup, aroma antiseptik – semua itu lenyap. Di sekeliling mereka, adalah dinding-dinding beton kokoh yang dingin, lemari-lemari besi yang terkunci, dan tanda-tanda militer yang familiar di setiap sudut. Ini adalah barak militer. Tempat yang Adit sebutkan berulang kali. Seolah-olah, rumah sakit itu memang tidak pernah ada. Hanya ilusi lain yang memudar.
Kini, mereka berada di sebuah koridor panjang di dalam barak. Gelap dan sunyi, hanya ada cahaya samar dari beberapa celah di dinding. Suara napas Aruna menjadi satu-satunya hal yang nyata di tengah kesunyian yang menakutkan ini.
"Kau melihatnya sekarang?" bisik Adit, tanpa perubahan ekspresi. "Ini adalah rumahku."
Aruna tidak bisa menjawab. Pikirannya kalut. Ia dihadapkan pada kenyataan yang bergeser. Dunia ini bukan hanya aneh, tapi juga tidak stabil. Realitasnya sendiri dipertanyakan.
Adit perlahan bangkit dari paha Aruna, gerakannya mulus dan tak bersuara, seolah tidak memiliki bobot. Ia menawarkan tangannya pada Aruna. "Ayo, Dokter. Ada banyak yang harus kuperlihatkan padamu."
Aruna ragu, tapi genggaman dingin Adit terasa anehnya meyakinkan. Ia mengikuti Adit, melangkah di sepanjang koridor barak yang remang-remang. Adit berjalan dengan langkah pasti, seolah ia sudah mengenali setiap inci tempat ini. Ia memperlakukan Aruna seolah mereka sudah saling kenal sangat lama, bertahun-tahun lamanya.
"Kantor pusat biasanya ramai jam segini," kata Adit, nadanya santai, seolah mereka hanya sedang berjalan-jalan sore. "Tapi kurasa mereka sudah selesai dengan laporannya."
Mereka tiba di sebuah pintu besi yang tertutup rapat. Adit mendorongnya terbuka tanpa usaha, seolah pintu itu tidak terkunci. Di dalamnya, sebuah ruangan besar dengan meja-meja yang berantakan, peta-peta yang digulirkan, dan tumpukan dokumen. Aruna melihat lambang unit militer yang tidak ia kenal di beberapa berkas.
Adit berjalan ke arah salah satu meja, dengan santai membuka laci yang terkunci (atau seharusnya terkunci) tanpa alat apa pun, seolah itu adalah lemari pribadinya. Ia mengeluarkan beberapa lembar dokumen lusuh.
"Ini adalah rencana serangan kita," Adit menjelaskan, menunjukkan sebuah peta dengan beberapa titik yang ditandai merah. "Kita akan menyerang dari sisi barat daya, mendekati terowongan."
Aruna menatap dokumen itu, lalu menatap Adit. Rasa penasaran dan kebingungan bercampur aduk. Bagaimana cara kerja dunia ini? Bagaimana ia bisa mengambil dokumen dari laci yang terkunci? Bagaimana semua ini terasa begitu nyata, namun begitu mustahil?
"Kau ingin melihat tempat lain?" tanya Adit, sorot matanya yang kosong menatap Aruna, seolah menunggu jawaban. "Kita bisa ke ruang pertemuan, atau gudang senjata. Atau bahkan barak prajurit, jika kau mau. Ada beberapa prajurit yang ingin kukenalkan padamu."
Aruna hanya mengangguk kaku. Ia merasa terpaku, ditarik ke dalam dunia Adit yang tidak bisa ia pahami. Adit benar-benar tidak berhenti bergerak di satu tempat lebih dari sepuluh menit, seolah itu adalah pola. Sebuah pola yang diulang tanpa henti, sebuah siklus yang ia jalani, dan kini Aruna menjadi bagian dari siklus itu.
Adit berjalan seolah mereka sudah saling kenal sangat lama, seolah Aruna memang bagian dari dunia ini, dari barak ini. Ia menunjuk ke sebuah sudut. "Dulu itu tempat kami berlatih menembak. Kau ingat bagaimana kau selalu mengeluh tentang telingamu setelah latihan?" Ia tertawa kecil. "Tapi ketepatan tembakmu lumayan juga untuk seorang dokter."
Aruna hanya mendengarkan, mencoba mencerna semua informasi yang aneh ini. Ia mengangguk kaku, membiarkan Adit menceritakan "kenangan" mereka. Rasa penasaran dan kebingungannya semakin memuncak. Bagaimana cara kerja dunia ini? Bagaimana ia bisa melihat satu realitas, lalu tiba-tiba itu berubah tanpa ada orang lain yang menyadarinya?
"Kau ingat rintangan ini, Aruna?" Adit menunjuk ke sebuah jaring tali yang terbentang tinggi. "Dulu kau selalu kesulitan melewatinya. Aku harus menggendongmu di punggung agar kau tidak menyerah." Ia tersenyum tipis, tatapannya lembut, seolah mengenang masa lalu yang indah.
Aruna hanya bisa menatapnya bingung. "Aku... aku tidak ingat itu, Letnan."
"Ah, Aruna, kau ini pelupa sekali," Adit menggelengkan kepala pelan, namun tanpa sedikit pun nada kecewa. "Tapi itu tidak masalah. Yang penting kau ada di sini sekarang."
Mereka terus bergerak, Adit memimpin. Melewati gudang senjata yang penuh dengan senapan-senapan usang, ruang makan yang kosong dengan meja-meja kotor, dan bahkan ruang medis kecil yang penuh dengan peralatan bedah berkarat. Di setiap tempat, Adit berbicara tentang tugasnya, tentang rekan-rekannya, tentang kenangan yang hanya ia yang bisa lihat. Aruna melihatnya, mendengar ceritanya, merasakan hawa dingin yang mengelilingi Adit, dan semakin yakin bahwa ia berada di dalam sebuah ingatan yang terjebak, sebuah putaran waktu yang mengerikan.
Bau darah dan mesiu semakin kuat, meskipun tidak ada peperangan yang terlihat. Itu adalah bau yang melekat di udara, bau dari ingatan. Dan Aruna, seorang dokter yang terbiasa dengan realitas yang logis, kini terjebak di tengah horor psikologis yang perlahan-lahan merenggut kewarasannya. Ia adalah penonton dari sebuah drama yang terus berulang, di mana sang aktor utama, Adit, tak pernah bisa berhenti memainkan perannya.
Mereka tiba di sebuah pintu di ujung lorong. Adit mendorongnya terbuka. Itu adalah sebuah kantor. Meja kayu besar di tengah, rak buku yang penuh dengan berkas-berkas, dan sebuah bendera militer lusuh yang tergantung di dinding. Di sana, seorang pria paruh baya dengan seragam yang sama seperti Adit, duduk di belakang meja, tampak lelah dan sibuk dengan tumpukan dokumen.
"Komandan," sapa Adit santai, seolah mereka hanya datang untuk minum kopi. "Laporan sudah siap. Dan Aruna ikut denganku. Dia baru saja dari klinik darurat."
Komandan itu hanya mengangguk, tanpa mengangkat kepala. "Taruh saja di sana, Letnan. Dan Aruna, kau harus istirahat. Wajahmu pucat. Peperangan ini benar-benar menguras energi."
Aruna hanya mengangguk kaku. Ia melihat Adit bergerak ke samping meja komandan, dengan santai membuka laci yang terkunci, dan mengambil beberapa dokumen dari dalamnya. Tidak ada kunci, tidak ada suara gerendel, seolah laci itu tidak pernah terkunci. Adit memeriksanya sekilas, lalu meletakkannya kembali.
Aruna merasa semakin gila. Semua orang di sini bertindak normal, kecuali dirinya. Mereka tidak mempertanyakan keberadaannya, mereka tidak terkejut dengan tindakan Adit. Mereka semua adalah bagian dari ilusi yang hidup ini. Adit benar-benar tidak berhenti bergerak di satu tempat lebih dari sepuluh menit, seolah itu adalah pola, sebuah siklus yang ia jalani, berulang kali, tanpa akhir. Ia terus bergerak, terus berinteraksi, seolah ia harus memenuhi sebuah peran, sebuah tugas, agar siklus ini terus berjalan.
Kengerian itu menelannya. Ia bukan hanya penonton, tapi ia telah ditarik ke dalam siklus ini, dipaksa untuk menjadi bagian dari masa lalu yang mengerikan ini. Dan Aditama.. dia adalah hantu yang paling menawan, paling meyakinkan, namun juga yang paling menakutkan karena dia adalah kunci bagi semua ini. Aruna tidak bisa membayangkan bagaimana hal ini bisa terjadi dan bagaimana kisah ini akan berakhir, sungguh membuat frustasi.