Beberapa hari ini Rahmi merasa heran dengan perubahan perilaku putrinya. Tidak biasanya Tita bangun tidur tanpa drama. Menghabiskan sarapan tanpa disuruh. Dan meminum susu sampai gelasnya kosong.
Tita mengambil peralatan sekolah. "Tita berangkat dulu ya, Bu. Assalamu'alaikum"
"Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan".
Ketika hampir sampai di gerbang sekolah, Tita melihat jam di tangan. Harusnya jam segini Rama sudah nongkrong dengan teman-temannya di gerbang sekolah. Tita celingak celinguk, menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sosok Rama. Seketika mata Tita melihat Rama berjalan tepat di belakangnya. Jantung Tita mendadak berdebar kencang. Tita memperlambat langkah kaki. Membiarkan Rama dan teman-temannya jalan lebih dahulu lewat di hadapan Tita. Aroma minyak rambut Rama yang menyengat hinggap dihidung Tita. Rama memang suka memakai minyak rambut yang khas. Terlihat dari rambutnya yang selalu klimis, berminyak dan mengkilap.
Tita kembali melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah. Memperhatikan wajah Rama dari jauh sedang bicara dengan teman-temannya. Wajah dan rambut yang selalu terbayang-bayang dipelupuk mata ketika beranjak tidur di malam hari.
Kebetulan kelas Tita tepat berada di sebelah kelas Rama. Tita selalu mencuri-curi pandang ke kelas Rama saat Ia membuang sisa rautan pensil di tempat sampah. Sering bila mata Tita dan Rama tak sengaja beradu pandang. Dan itu hanya terjadi persekian detik sebab Tita mengalihkannya ke guru yang sedang menunggu di pintu kelas.
'Hari ini aku melihat Rama dan Citra berbincang dan bersenda gurau di depan kelas. Mereka hanya berbicara layaknya teman. '
Tita menutup buku diary miliknya. Lalu menyimpan buku itu di dalam laci lemari. Sebelum tidur, Tita berdoa dan mengumpulkan semangat untuk bangun tidur tepat waktu pada esok hari.
Esok hari Tita berjanji akan bangun lebih awal lagi. Sebab besok ada ulangan matematika. Nilainya harus bagus kalau tidak bakal berhadapan dengan Buk Ramisi, guru tergalak di sekolah.
"Kemana tuh cewek?" Tanya Rama pada dirinya sendiri. Biasanya suka nungguin dekat gerbang.Ah, itu Dia sudah berdiri depan kelas. Rama berjalan melewati Tita dengan santai. Iseng melirik pada Tita, siapa tahu Dia akan membalasnya. Tapi Rama tak mendapatkan tatapan seperti kemarin. Mata Tita tak tertuju padanya. Ah, sudahlah.
Di dalam kelas Rama mendapati sebuah amplop surat berwarna merah hati di meja. "Ini punya siapa? " Tanya Rama pada teman sebangkunya, Dodo.
"Punya lu lah. Punya siapa lagi?" jawab Dodo cuek.
"Dari siapa? "
"Mana kutahu. Lu aja belum baca"
"Masak lu nggak lihat siapa yang naroh. Lu yang duluan sampe"
"Lah kok lu yang sewot, " Dodo mulai kesal sama sahabatnya itu.
"Itu dari Salsa. Aku tadi yang menaruhnya dimejamu. Katanya berikan pada Rama jadi ya kutaruh saja di sana, " Sofia tetiba ikut nimbrung dimeja Rama.
Rama membuka amplop itu perlahan. Dan benar itu dari Salsa. Di dalamnya ada satu tiket bioskop untuk film terbaru. Rama mengerti kalau Salsa ingin Rama menemaninya nonton. Rama jadi bingung sebab Citra juga mengajaknya nonton film yang sama. Tapi bedanya Salsa lebih meyakinkan dengan langsung memberikan tiket padanya.
"Kenapa wajah lo jadi murung abis terima tiket. Terima ajalah, " saran Dodo kasihan melihat temannya gelisah sering diuber-uber cewek. Di sinilah Dodo merasa menjadi manusia paling beruntung. Tak perlu ruwet mikirin makhluk Tuhan yang bernama perempuan. Dodo percaya suatu hari nanti akan ada bidadari hanya untuknya yang dikirim Tuhan datang dan menerima Dodo apa adanya.
"Rama, ada yang titip salam. " Devi menghampiri Rama saat mereka bertemu di kantin sekolah. Rama menoleh pada cewek yang kelasnya di sebelah kelas Rama. Sebuah nama terlintas dibenaknya. Tita kah?
"Siapa? "
"Donita, " jawab Devi dengan berbisik di telinga Rama
"Wasalam, " jawab Rama sambil meninggalkan Devi yang tertawa terbahak-bahak. Donita kan teman sekolah mereka yang sudah meninggal beberapa waktu yang lalu.
Rama geleng-geleng kepala dengan kelakuan teman-temannya pagi ini.
Hari ini kebetulan ada tugas bahasa Indonesia. Tita harus mendapatkan beberapa sumber untuk menyelesaikan sebuah makalah. Dan perpustakaan adalah tempat yang paling tepat.
Sebelum berangkat Tita memberitahu ibunya kalau setelah pulang sekolah Tita akan mampir ke perpustakaan daerah. Ada buku yang harus dicari di sana untuk menyelesaikan tugas sekolahnya.
Tiba di di gedung yang cukup besar, terletak di pusat kota. Tita menyusuri setiap rak berjejer tinggi hampir mencapai atap. Membaca judul demi judul buku yang tersusun dengan rapi.
Setelah selesai membaca dan menulis beberapa rangkuman, Tita meletakkan buku tersebut kembali ke meja panjang milik perpustakaan. Tita ingin mencari buku referensi yang lain. Saat berdiri dari tempat duduknya," Boleh aku pinjam?Sepertinya aku butuh buku ini." Rama memegang buku yang tadi Tita baca.
"Hah.. Si.. Silahkan, " Tita tak berkutik beberapa saat melihat siapa di hadapannya.
"Kamu anak kelas 2.3 kan? Pasti kesini buat tugas Bahasa? " tanya Rama pelan.
"Iya.Kamu sendirian? " Tita balik tanya.
"Tadi aku sama Dodo. Tapi mendadak Dia harus pulang. Ada keperluan keluarga katanya. Jadi Dia pulang duluan, " jawab Rama.
Mereka lanjut mencari buku dan bekerja sama dalam menyelesaikan tugas, walau Tita tak bisa lagi berkonsentrasi pada buku-buku yang dibacanya. Dugaan Tita ternyata benar. Rama adalah cowok yang ramah dan baik.
Waktu buka perpustakaan hampir habis. Tita dan Rama tak menyangka jika di luar sedang hujan deras. Mereka terkurung dan tak bisa melanjutkan langkah untuk pulang ke rumah. Hari mulai gelap dan mau magrib tapi hujan tak jua reda. Akhirnya mereka memutuskan untuk berlari menghadapi hujan walau tanpa payung. Hujan membasahi seluruh tubuh hingga kuyup termasuk tas sekolah yang mereka sandang. Tita melambaikan tangan ketika di persimpangan. Mereka berpisah untuk melanjutkan tujuan yang telah berbeda arah.
Perasaan Tita hari ini sangat bahagia. Hari yang tak akan pernah terganti dengan hari lainnya. Menyusuri jalan bersama dengan Rama di bawah hujan adalah kenangan yang tak pernah Tita lupakan selamanya.
*****
Sepuluh tahun berlalu. Nama itu kembali hadir menyapa Tita, tersurat pada lembar undangan reuni.
Tita ingat tak lagi bisa bertemu Rama setelah tamat sekolah. Mereka mengambil jurusan berbeda. Dan itupun pada lembaga yang berbeda pula. Walau semilir kabar sering terdengar tentang kehidupan Rama. Memutuskan tak menamatkan pendidikan karena keburu menikah diusia muda.
Tita kembali melihat undangan, kapan acara reuni dimulai. Ya, hari ini tepatnya pada malam hari. Tita akan menyiapkan busana apa yang akan dikenakan nanti. Segala sesuatu harus disiapkan termasuk urusan psikisnya. Hampir sebagian besar teman reuninya telah berkeluarga. Mereka pasti akan menanyakan statusnya saat ini. Tita harus menyiapkan jawaban yang pasti agar mereka tak lagi bertanya.
“Nunggu apalagi sih, Tita. Karier lancar, rumah ada, kendaraan punya? “ Itulah pertanyaan yang sering Ia dengar dari teman-temannya.
Selama ini Tita menjawabnya dengan tenang, “Tunggu saja, bakal kuundang semua kok”.
Malam itu Tita memberanikan datang sendiri. Sebuah cafe yang cukup terkenal. Semua tamu bebas memilih dan memesan makanan kesukaannya. Tita menyapa semua teman yang datang. Ada yang diingatnya ada juga yang hampir lupa dikenal.
Rama terlihat di dalam kerumunan. Wajah itu tak mungkin Ia lupakan. Masih seperti dulu, tak banyak berubah. Padahal Tita dengar Dia sudah memiliki satu orang anak dari pernikahannya yang telah kandas. Usia muda tak menjamin suatu pernikahan akan hangat selamanya. Walau dulu mereka saling mencintai. Pasti ada alasan yang sangat kuat hingga pasangan menikah memutuskan untuk berpisah. Tita tak tahu pasti penyebabnya, dia sendiripun belum menikah.
Seseorang mencolek pundaknya. Sofia mengajak Tita gabung dengan teman-teman yang lain. Acara inti akan segera dimulai. Mengadakan beberapa perlombaan untuk mendapatkan hadiah menarik. Tita melihat kearah Rama yang sudah berdiri di sudut ruangan. Rama tersenyum ketika mata mereka saling bertemu. Tita membalas senyuman itu sambil mengangguk.
Sebelum acara reuni berlangsung, Rama sedang dalam menghadapi masalah besar menyangkut biduk rumah tangganya yang hampir tak terselamatkan.
Malam menjadi sepi tiada lagi kicauan suara yang seperti gemiricik riak air di kolam. Kenapa harus mengatakan perpisahan jika getarannya masih terasa. Rama termenung sendiri mengingat pertengkaran yang pernah terjadi.
"Pokoknya kamu harus keluar dari rumah ini sekarang juga, " suara Tarina menggelegar ke seluruh penjuru ruangan.
"Ssst... Nanti Harumi bangun. Kayaknya kamu salah paham lagi deh. Sini aku jelasin. Aku dan Tami cuma temenan. Nggak lebih, sayang. Sumpah. " Rama berusaha meyakinkan Tarina dengan mengangkat dua jari telunjuk dan tengah.
Namun Tarina tetap bersikukuh untuk berpisah. Jika Rama tak cabut dari rumahnya, Tarina memutuskan biar Dia yang akan pergi.
Berulang kali Rama melakukan hal yang sama. Walau hanya sebagai teman, harusnya Rama menjaga perasaan Tarina.
Rama terpaksa meninggalkan rumah demi keputusan Tarina. Lebih baik Dia yang pergi daripada mencemaskan Tarina jika berada di luar sana seorang diri.
Satu minggu berlalu. Tarina tiba-tiba menghubunginya. Rasa Rindu menyeruak dalam lubuk hati.
"Harumi panas tinggi. Sekarang kami sedang berada di rumah sakit. " Suara histeris Tarina terdengar dari balik telepon genggam milik Rama. Dengan secepat kilat Rama datang untuk menemui mereka.
"Tita? " Rama tak menyangka bertemu Tita.
"Rama. Ada apa? Siapa yang sakit? " Tita tak kalah terkejut.
Rama memberitahu keadaan Harumi pada Tita. Berharap Tita dapat menyembuhkan putri kecilnya. Dan Tita pun berjanji akan merawat Harumi asal orang tuanya ikut membantu menjaga Harumi di ruang inap.
Sampai Harumi sembuh, Rama dan Tarina kembali ke rumah. Bersatu seperti waktu dulu. Tarina makin menyayangi Rama. Kehadiran Rama sangat berarti bagi Tarina dan buah hati mereka. Tarina akan melakukan apa saja demi kebahagian keluarganya.
"Jangan lupa kalau Harumi harus kontrol lagi minggu depan, " ujar Tita memeriksa Harumi dalam masa pemulihan. Sejak Harumi di rawat di tempat ini, Tita selalu menguatkan hati melihat kebersamaan keluarga Rama. Sungguh miris hidupnya telah menyatukan mereka sedang hati merasa tersiksa.
Ternyata reuni merupakan awal dari pertemuan-pertemuan Tita dan Rama selanjutnya.
Tok Tok Tok
Suara ketukan pintu terdengar dari luar. "Ya, silahkan masuk. " Tita menatap pintu ruangan kerjanya dengan penuh tanda tanya. Siapa gerangan yang berkunjung padahal jam praktek masih setengah jam lagi.
"Apa aku mengganggu? " Wajah Rama muncul sambil tertawa nyengir.
"Rama, tentu saja tidak. Ada apa ke mari. Apakah Harumi drop lagi? " Tita menyiapkan peralatan medis di mejanya.
"Tidak.Harumi sudah sembuh. Dia mulai aktif bermain dan berlari seperti sebelumnya. Terimakasih, itu semua berkat kamu, " ujar Rama masih berdiri di dekat pintu.
"Kenapa berdiri di situ. Silahkan duduk. " Tita menyilahkan kursi dihadapannya untuk Rama.
"Kebetulan perusahaanku, suplier beberapa peralatan medis di tempat ini, " terang Rama.
Kemudian mereka lanjut ngobrol tentang masa-masa sekolah dulu. Pembicaraan terhenti ketika Tita harus mengunjungi beberapa pasien.
Esok hari dan diwaktu yang sama, Rama datang lagi ke tempat kerja Tita. Melanjutkan pengiriman barang dari perusahaan. Rama membicarakan tentang pekerjaannya. Saat ini Ia sedang dipromosikan untuk naik jabatan sebagai kepala cabang. Tapi dengan syarat harus mutasi ke luar daerah.
"Trus bagaimana dengan keluargamu. Apakah mereka akan ikut juga? " Entah kenapa Tita menanyakan yang bukan urusannya. Ada rasa akan kehilangan menyergap pikiran Tita.
"Itulah masalah saat ini harus kuhadapi. Tarina tak bisa ikut pindah bersamaku. Dia belum siap berhenti dari pekerjaanya. Tapi kami berencana akan tetap menjaga komunikasi. Dan bertemu sesempat kami bisa".
" Yah itu lebih baik. Harus saling komunikasi, "sambut Tita setuju.
Pintu dibuka oleh seseorang. " Tita, ayolah ini sudah waktunya. " Pak Imran, salah seorang dokter senior datang mengajaknya untuk bertugas.
Setelah Rama pergi, Pak Imran kembali menegur Tita. "Itu calon suamimu ya? Usahakan jangan membawa urusan pribadi ke tempat ini. " Ucapan Pak Imran membuat telinga Tita menjadi panas.
"Baik, Pak. Tapi orang itu bukan calon suamiku. " Tita menarik dan melepaskan udara yang dihirup. Begitulah sejatinya hidup, menerima dan melepaskan. Akan selalu begitu.
Tita selalu berkutat pada pekerjaannya. Bukan tak menghiraukan waktu yang terus berputar. Tita sadar umurnya sudah tak lagi muda. Lagipula hidup monoton seperti itu selalu menyisakan ruang hampa dalam dirinya. Setiap waktu Tita selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan petunjuk padanya untuk menjalani hidup.
Suatu hari pimpinan rumah sakit memberi Tita kesempatan untuk dinas di luar daerah. Tita tak melewatkan waktu luang pergi jalan-jalan sekaligus refresing.
Di dalam sebuah plaza, Tita bertemu dengan seseorang yang selalu bersemayam di lubuk hati. "Rama." Bibir Tita kelu melihat Rama bersama seorang wanita yang sama sekali tak dikenalnya. Wanita tersebut bergelayut dibahu Rama. Mereka sangat mesra.
"Tita." Rama terlihat gugup dan terkejut. Rama mengenalkan wanita di sampingnya sebagai teman satu tempat kerja.
Mereka akhirnya berpisah dengan saling memberikan nomor telepon.
Pada malam terakhir, Rama mengajak Tita untuk menikmati pemandangan yang sangat indah. Mereka saling bertukar cenderamata ketika berada di toko souvenir.
Setelah itu Tita dan Rama duduk dibangku kayu disebuah taman.
"Tau nggak kalau dulu kamu itu crush nya aku. " Tita tak dapat menahan tawa mengingat kenangan masa remaja.
"Aku tahu kalau kamu suka liatin aku tapi cuma nggak meyakinkan gitu. Hahaha. Tapi dulu kan cewek-cewek pada suka caper. Jadi yah..."
"Wahhh pede banget loh hahahah. Tapi iya juga sih. Aku memilih mundur perlahan. " Mereka tertawa bersama dan menghabiskan malam dengan minum air kelapa muda sambil melihat pemandangan indah di lereng bukit yang berlampu.
Rama mengantarkan Tita sampai di penginapan. Mereka saling melambaikan tangan tanda perpisahan. Bagi Tita pertemuan ini mengingatkan pada pertemuan di perpustakaan dulu. Terbesit di ujung harapan untuk pertemuan selanjutnya dalam situasi yang lebih baik.
Tahun demi tahun berlalu. Tita tak jua menemukan tambatan hati. Tak menemukan sosok pengganti seperti Rama. Pertemuan-pertemuan singkat itu menjadi kenangan tak terlupakan. Walau begitu Tita berusaha untuk membuka hatinya untuk orang lain. Sebab Rama hanya sebatas untuk di cintai tanpa harus bersama.
Tamat