Di sebuah warung kecil yang lebih sering dipeluk angin daripada pelanggan, duduklah Pak Dirman, lelaki tua yang tak pernah lupa menaburkan gula di kopinya—meski ia tahu, pahitnya tak akan berubah.
"Ini kopi atau air mata masa lalu?" gumamnya setiap sore.
Warung itu berada di pinggir jalan sepi, tempat di mana daun gugur bukan karena musim, tapi karena bosan menunggu siapa pun lewat. Di dinding warung, tergantung jam tua yang sudah lama berhenti, seolah dunia juga malas melanjutkan waktunya di sana.
Pak Dirman selalu datang pukul lima, membawa serta koran tiga hari lalu dan pikiran yang lebih ramai dari pasar malam.
Hari itu, seorang pemuda masuk. Wajahnya murung, matanya seperti hujan yang belum turun tapi sudah basah. Ia duduk, memesan kopi tanpa gula.
Pak Dirman mengintip dari balik koran. “Kopi tanpa gula? Kau pasti baru patah hati atau baru sadar gaji tak seberapa.”
Pemuda itu tersenyum miris. “Yang kedua. Tapi rasanya sama saja.”
Mereka diam sejenak. Hanya suara sendok yang membentur gelas, dan bisik-bisik matahari yang perlahan turun ke balik bukit.
“Aku kehilangan semangat, Pak,” ucap si pemuda. “Aku kerja keras, kuliah jauh-jauh, tapi hidup kayaknya tetap ngerjain aku.”
Pak Dirman menyesap kopinya, lalu berkata, “Kau tahu bedanya kopi pahit dan kopi manis?”
“Gula?” jawab si pemuda, bingung.
“Harapan,” ujar Pak Dirman, menatap langit jingga. “Kopi pahit tak selamanya buruk. Kadang, ia membuat kita sadar, kalau kita masih bisa merasa. Itu tandanya kita belum mati rasa.”
Pemuda itu terdiam. Kata-kata itu seperti secuil matahari yang menyelinap ke dalam dadanya yang gelap.
Pak Dirman tertawa pelan. “Dulu aku juga seperti kamu. Tapi akhirnya aku memilih menerima kenyataan. Termasuk kenyataan bahwa kopi di warung ini... selalu kemanisan kalau yang bikin ibu warung sedang jatuh cinta.”
Tiba-tiba, Bu Rini—si pemilik warung—muncul dari dapur. “Hus! Jangan sebar rahasia dapur!”
Mereka bertiga tertawa. Bukan tawa bahagia, tapi tawa yang cukup untuk membuat senja tak terasa terlalu sepi.
Ketika malam datang, pemuda itu berdiri. Ia pamit, tapi sebelum pergi, ia berkata, “Terima kasih, Pak. Mungkin hidup nggak seenak kopi Starbucks, tapi setidaknya di sini, aku belajar menerima rasa.”
Pak Dirman hanya mengangguk. “Ingat, Nak. Hidup itu kayak kopi. Kadang pahit, kadang manis. Tapi selama masih hangat, nikmatilah. Jangan tunggu dingin dan menyesal.”
Dan malam pun menutup cerita, dengan aroma kopi pahit yang mengendap di udara, dan secercah harapan yang perlahan menyala di dada.
Seminggu berlalu sejak percakapan itu. Warung kecil itu tetap berdiri seperti biasa—sederhana, agak miring ke kiri, dan beratap seng yang sering memukul-mukul dirinya sendiri tiap hujan turun.
Tapi sore ini berbeda.
Pak Dirman datang lebih awal dari biasanya. Ia duduk di bangku favoritnya, memandang langit yang sedang bermain cat air dengan jingga dan merah.
Bu Rini menghampiri. “Tumben cepat, Pak. Koran hari ini belum datang.”
Pak Dirman tertawa pelan. “Hari ini aku menunggu sesuatu yang lebih penting daripada berita...”
“Ah, menunggu cinta lama datang kembali?” goda Bu Rini sambil meletakkan segelas kopi.
“Bukan. Hari ini aku menunggu pemuda itu.”
Dan benar saja. Tak lama kemudian, dari kejauhan, muncul sosok yang dikenalnya. Tapi kali ini, wajahnya tak lagi serupa mendung. Ia berjalan dengan langkah ringan, membawa ransel dan semangat yang baru.
“Pak!” sapa pemuda itu. “Saya balik lagi. Kali ini... bawa cerita.”
Pak Dirman menyambutnya dengan senyum. “Cerita seperti kopi, Nak. Tak selalu harus manis. Kadang pahit pun layak disruput pelan-pelan.”
Pemuda itu duduk. Ia membuka ranselnya, mengeluarkan map berisi sketsa, proposal, dan—dengan sedikit malu—beberapa puisi gagal.
“Saya resign, Pak. Dari kantor. Dari tekanan. Dari hidup yang bukan milik saya.”
“Hoo... berat. Tapi lebih berat hidup di bawah bayang-bayang orang lain,” komentar Pak Dirman sambil menyesap kopinya.
“Saya mau mulai usaha kecil, Pak. Bikin kafe. Tapi bukan kafe mewah... kafe kecil, kayak gini. Yang jualan kopi... dan cerita.”
Pak Dirman terdiam sebentar, lalu terkekeh. “Kafe yang jualan kopi dan luka?”
“Dan tawa juga, Pak.”
Pak Dirman menatap langit senja. “Kau tahu, Nak... dulu aku pernah punya impian seperti itu. Tapi hidup waktu itu terlalu mahal untuk aku beli dengan mimpi. Tapi kamu... kamu punya keberanian yang tak aku miliki.”
Pemuda itu tersenyum.
“Boleh aku beri nama tempatku nanti dengan nama yang terinspirasi dari sini?” tanyanya.
“Tentu. Apa namanya?”
Pemuda itu menatap meja, melihat noda kopi yang membentuk peta kecil seperti negeri yang belum ditemukan.
“Senja dan Pahitnya.”
Pak Dirman mengangguk. “Nama yang bagus. Karena sesungguhnya, senja itu memang pahit... tapi indah.”
Sore itu pun menjadi saksi. Bukan hanya dua orang yang sedang minum kopi, tapi dua jiwa dari dua generasi berbeda yang sepakat: hidup mungkin pahit, tapi tak berarti tak layak dinikmati.
Dan di ujung warung, Bu Rini hanya geleng-geleng kepala. “Dasar dua lelaki... filosofi terus. Gula mana, gula?”
Hari-hari berlalu seperti detik di jam tua warung Pak Dirman—pelan, kadang tak terdengar, tapi selalu berjalan ke depan.
Pemuda itu, yang belakangan dikenal sebagai Raka, mulai sering datang. Ia membawa ransel, sketsa, proposal, dan mimpi yang makin matang. Warung kecil itu menjadi tempat brainstorming, tempat curhat, tempat mengumpulkan nyali.
Bu Rini, diam-diam menyimpan setoples gula khusus untuk Raka. Katanya, “Anak muda ini butuh yang manis-manis dulu, biar pahitnya hidup bisa ditawar sedikit.”
Pak Dirman? Ia jadi mentor tidak resmi. Memberi nasihat, guyonan, bahkan kadang—meski malu-malu—menyumbang ide logo.
Suatu sore, Raka datang dengan wajah bersinar.
“Pak, Bu Rini… saya mau pamit,” katanya.
Suasana mendadak sunyi, hanya sendok yang kembali berdenting di gelas kosong.
“Saya dapet tempat. Kecil, tapi strategis. Di pojokan taman kota. Mulai minggu depan saya buka. Kafe itu… beneran jadi.”
Pak Dirman tersenyum lebar, tapi matanya tak bisa bohong: ada genangan kecil yang pura-pura disalahkan angin sore.
“Kau akan pergi?” tanya Bu Rini, pelan.
“Bukan pergi, Bu. Hanya pindah meja. Tapi kopinya tetap sama. Ceritanya tetap hidup.”
Ia lalu mengeluarkan dua undangan sederhana, tulisan tangan, kertas cokelat daur ulang:
Grand Opening – Kafe Senja dan Pahitnya
Tamu kehormatan: Pak Dirman dan Ibu Rini
Sore itu mereka rayakan dengan tawa dan kopi, seperti biasa. Tak ada perpisahan yang benar-benar menyedihkan jika yang ditinggal merasa ikut hidup dalam langkah si pergi.
Dan seminggu kemudian, warung kecil itu tutup lebih awal.
Pak Dirman dan Bu Rini datang ke kafe baru Raka. Tempat itu sederhana, tapi hangat. Ada rak buku kecil, lukisan kopi yang tak terlalu rapi, dan papan tulis besar bertuliskan:
“Hidup ini seperti kopi: pahit di awal, hangat di tengah, dan manis kalau kita tahu cara menikmatinya.”
Di pojok ruangan, ada meja bertuliskan: Meja Dirman – Reserved for Wisdom & Cerita Usang.
Dan setiap sore, Pak Dirman datang, duduk, dan menyapa orang asing yang baru datang. Ia tak lagi sekadar minum kopi, tapi menyeduh kisah baru setiap hari.
Kadang, Bu Rini membawakan donat, kadang datang dengan rambut baru. Tapi satu yang tak berubah:
Kopi pahit itu tetap ada. Dan cerita... selalu menemukan tempat untuk dilanjutkan.
Tamat...