Judul: Kelahiran Kembali Hiro: Mage di Dunia Baru
BAB 1
Hiro membuka matanya di tengah padang rumput luas. Langit biru yang asing, udara yang lebih segar, dan tubuh yang lebih muda menyambutnya. Ia, seorang pria berusia 32 tahun dari bumi, kini berada dalam tubuh 25 tahun. Dunia ini memanggilnya—dan ia menjawab sebagai seorang mage.
Satu bulan pertama Hiro belajar dasar sihir. Ia cepat beradaptasi, berkat pengalaman hidupnya yang panjang. Dalam sebuah misi membasmi monster liar, Hiro bertemu **Ayumu**, gadis pemanah berusia 19 tahun. Rambut coklat pendek, mata penuh semangat, dan keberanian yang jarang terlihat pada gadis seusianya.
“Aku Ayumu. Aku nggak akan kalah dari siapa pun, bahkan dari penyihir aneh kayak kamu!”
Hiro tertawa. Dan sejak saat itu, Ayumu ikut bersamanya.
Beberapa minggu kemudian, di kota pelabuhan, Hiro bertemu **Tomoe**, seorang wanita kucing usia 22 tahun, berprofesi sebagai assassin. Diam-diam, ia membuntuti Hiro karena menganggapnya berbahaya. Namun, saat Hiro menyelamatkan seekor anak kucing dari segerombolan bandit, Tomoe luluh.
“Kau... tidak seperti manusia biasa.”
Hiro hanya tersenyum. Tomoe pun memilih ikut dengannya, dari balik bayangan.
Dalam petualangan mereka menembus gunung api, rombongan Hiro hampir kalah oleh naga merah. Di saat kritis, seekor naga betina turun dari langit dan menghancurkan musuh dalam satu hantaman.
“Namak—ah, kalian bisa panggil aku **Nanase**,” katanya. Rambut merah menyala, mata tajam, dan tubuh atletis. Ia adalah pejuang garis depan, seorang fighter dari ras naga.
Nanase ikut, bukan karena tertarik pada Hiro semata, tapi karena merasa dirinya terpanggil untuk menjaga keseimbangan kekuatan sihir dan kekuatan fisik.
Terakhir, mereka masuk hutan elf, dan di sana Hiro terluka oleh perangkap sihir kuno. Seorang wanita menyembuhkannya hanya dengan nyanyian lembut.
“Aku **Sayaka**, penyembuh hutan ini,” ucapnya lembut.
Wajahnya tenang, penuh kedewasaan. Walau berusia 300 tahun, ia tampak seperti gadis 23 tahun. Dan ia merasa tertarik pada Hiro, bukan karena kekuatannya, tapi karena jiwanya yang hangat dan manusiawi.
**
Lima petarung. Satu takdir. Hiro kini tidak hanya mengejar kekuatan, tapi juga menjaga ikatan di antara mereka. Dalam petualangan, mereka bertumbuh, saling melindungi, dan perlahan menumbuhkan rasa yang lebih dari sekadar rekan.
Dunia ini penuh tantangan. Tapi bagi Hiro, ini bukan hanya kehidupan kedua—ini adalah kehidupan yang lebih berarti, bersama mereka yang ia cintai.
Dan api sihir di dalam dirinya? Kini menyala lebih terang dari sebelumnya.
Bab 2: Pertarungan di Kota Gelap & Awal Cinta yang Diam-Diam
Kota Gelap—tempat hukum dikalahkan oleh kekuatan. Rombongan Hiro tiba di sana setelah mendengar tentang "Kristal Chaos", artefak sihir yang dapat memperkuat kekuatan siapa pun yang memilikinya. Tapi kabarnya, kristal itu dijaga oleh sekelompok penyihir gelap dan para tentara bayaran.
“Kita harus cepat. Kalau jatuh ke tangan orang jahat, dunia bisa kacau,” ujar Hiro serius.
Mereka masuk malam hari. Tomoe menyelinap duluan, melumpuhkan penjaga dengan gerakan senyap. Ayumu memanah dari atap, tiap anak panahnya seperti petir yang tak pernah meleset. Nanase menjadi tameng, menahan serangan frontal. Dan Sayaka… terus menyembuhkan luka siapa pun yang terluka.
Di tengah pertempuran, Hiro masuk ke markas utama sendirian.
"Si Mage muda yang sok bijak," ejek pemimpin penyihir gelap, pria berjubah merah.
Tanpa basa-basi, Hiro mengangkat tangan. Lingkaran sihir berlapis muncul. Api biru menyala, membentuk naga dari sihir murni—**"Ifrit of the Flame"**.
Satu ledakan menggetarkan kota. Markas musuh hancur. Kristal Chaos berhasil direbut.
Tapi...
Setelah pertempuran, di sebuah penginapan sederhana, suasana jadi berbeda. Tomoe duduk di pinggir tempat tidur Hiro.
“Kenapa kamu selalu melindungi semua orang, Hiro?” bisiknya.
“Karena kalian penting buatku.”
Tomoe menatap mata Hiro dalam-dalam. Tak ada kata, hanya napas hangat yang tersisa. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Hiro, ekornya melilit perlahan ke tangan Hiro—diam-diam, ia menyatakan perasaannya.
Di tempat lain, Ayumu duduk di atap, melihat bintang.
“Kenapa aku deg-degan tiap dia ngomong serius sih…” gumamnya. “Apa aku jatuh cinta? Bodoh banget…”
Sayaka, di sisi lain, sedang menulis di buku harian elf-nya. “Hiro… ada kehangatan dalam sihirmu yang berbeda. Mungkinkah... aku juga menginginkan dia?”
Dan Nanase? Ia berdiri di luar kamar, melatih tinjunya. Tapi wajahnya memerah saat mendengar tawa Hiro dari dalam. “Kenapa sih… aku jadi begini?”
**
Petualangan terus berlanjut. Tapi kini, bukan hanya musuh yang harus Hiro hadapi, melainkan perasaan-perasaan yang mulai tumbuh di antara keempat gadis… dan dirinya.
Satu hal pasti—hidup sebagai mage di dunia kedua ini... makin rumit, makin indah.
Bab 3: Ciuman Pertama di Tengah Salju
Beberapa minggu berlalu sejak pertarungan di Kota Gelap. Rombongan Hiro kini melakukan perjalanan ke Utara—menuju Pegunungan Arcthyr, tempat di mana legenda mengatakan ada “Mantra Suci” yang hanya bisa diaktifkan oleh mage dengan hati murni.
Salju turun perlahan. Angin dingin menusuk, tapi mereka terus berjalan.
Di malam ketiga, mereka mendirikan tenda di tepi danau beku. Nanase dan Tomoe bergantian berjaga. Ayumu tidur memeluk busur panahnya. Sayaka duduk di dekat api unggun, menyanyikan lagu elf lembut.
Hiro keluar dari tenda, mengenakan jubah sihirnya.
“Kamu belum tidur?” tanya Sayaka.
“Belum. Terlalu banyak yang kupikirkan.”
Sayaka tersenyum hangat. “Kalau terlalu banyak yang dipikirkan, kadang kamu harus berhenti jadi mage… dan jadi manusia.”
Ia berdiri, berjalan pelan ke Hiro, salju lembut mengelilingi mereka. Wajahnya dekat, sangat dekat. Napasnya hangat di tengah dinginnya malam.
“Aku hidup selama 300 tahun, Hiro… tapi malam ini, untuk pertama kalinya… aku ingin merasakan cinta.”
Dan di bawah cahaya bintang, Sayaka mencium Hiro. Lembut, tenang… seperti sihir penyembuh yang mengalir dari hatinya langsung ke dada Hiro.
Beberapa meter dari situ, Ayumu membuka sedikit tirai tenda. Matanya membelalak. “S-Sayaka… mencium dia…”
Ia kembali ke dalam, wajah merah padam, berguling-guling di pelukan kantung tidurnya. “Grrr! Aku harus jadi yang kedua! Aku juga suka Hiro, tahu!”
Sementara itu, Tomoe di atas pohon, tersenyum tipis. “Ternyata si elf curang juga…”
Dan Nanase hanya duduk, menyaksikan danau yang membeku.
“Kalau memang ini perang… aku akan menang,” ucapnya pelan. Tangannya mengepal, bukan karena marah—tapi karena hatinya kini benar-benar bergetar.
**
Ciuman pertama telah terjadi. Tapi bukan akhir dari segalanya. Justru itu adalah awal dari sesuatu yang lebih rumit—cinta, rasa cemburu, dan janji yang tak terucap.
Dan Hiro, sang mage yang dulunya hanya ingin jadi kuat… kini sadar bahwa kekuatan terbesar mungkin bukan sihir—tapi hati yang berani mencintai.
Bab 4: Festival Cinta & Rasa yang Tak Bisa Disembunyikan
Mereka tiba di Desa Rosenta, sebuah desa cantik yang hanya muncul setiap lima tahun sekali karena dilindungi oleh sihir ilusi. Beruntung, rombongan Hiro datang tepat saat **Festival Hikari**—perayaan cinta, cahaya, dan keberanian.
Warga desa berkata: "Siapa pun yang berdansa bersama orang yang disukai di malam Festival Hikari akan memiliki takdir cinta yang terikat selamanya."
Hiro yang polos hanya mengangguk, tanpa sadar telah menjadi target keempat gadis yang bersamanya.
**
Pagi harinya, suasana desa begitu ramai. Stan makanan, permainan tradisional, lampion sihir beterbangan di udara. Ayumu langsung menarik Hiro ke stan lempar panah.
“Ayolah! Kalau kamu bisa pecahin balon paling ujung, aku… aku akan kasih hadiah spesial!” katanya dengan pipi merah.
Hiro tersenyum. Dengan satu tembakan sihir ringan, balon itu pecah.
Ayumu diam sebentar, lalu mencium pipi Hiro cepat sekali. “Itu… itu hadiahku. Jaga baik-baik ya, dasar mage bodoh!”
Hiro kaget. Tapi belum sempat berkata apa-apa, Tomoe datang dari belakang, menarik lengan Hiro.
“Kau sudah terlalu lama dengan dia. Sekarang waktuku,” katanya dengan mata sipit menggoda.
Mereka ke sudut festival, dan Tomoe menyodorkan minuman manis yang dibuat sendiri. “Coba. Aku belajar dari warga sini khusus untukmu.”
Hiro meminumnya. Rasanya agak aneh, tapi hangat.
“…Minuman ini ada efek jujur. Kalau kamu suka seseorang, kamu bakal refleks nyebutin namanya,” kata Tomoe dengan tatapan tajam.
“…Sa…Sayaka…” lirih Hiro, tanpa sadar.
Tomoe diam. Lalu tertawa kecil. “Kupikir begitu… Tapi ingat, yang menguji rasa cintamu hari ini… bukan cuma dia.”
Sore harinya, Sayaka mengajak Hiro berjalan di taman lampion. Mereka duduk di kursi kayu, bunga-bunga bercahaya mengelilingi mereka.
Sayaka menyandarkan kepalanya ke bahu Hiro. “Terima kasih… sudah menyebut namaku.”
Hiro kaget. “Kamu tahu?”
Sayaka hanya tersenyum. “Aku healer. Aku bisa merasakan detak jantung orang saat jatuh cinta.”
Dan malam pun tiba.
Nanase muncul dengan pakaian tradisional naga yang menakjubkan. Ia mendekati Hiro di tengah alun-alun festival, saat musik mulai dimainkan.
“Berdansa denganku,” katanya, tanpa banyak basa-basi.
Mereka berdansa. Langkahnya kaku, tapi Hiro mengikuti. Mata Nanase serius.
“Aku ingin menjadi lebih dari pelindungmu. Aku ingin berdiri di sisimu… bukan hanya di medan perang, tapi juga… di dalam hatimu.”
Lampion naik ke langit. Satu per satu, cinta dan harapan mereka mengudara. Dan di bawah cahaya lembut malam Hikari, Hiro dikelilingi empat cinta yang semakin dalam, dan perasaan yang tak bisa lagi ia sembunyikan.
**
Tapi langit tak selamanya tenang.
Dari balik bayang-bayang hutan ilusi, sepasang mata merah mengintai mereka. “Jadi, si mage itu sudah tumbuh… Sudah saatnya dia menerima takdir kelamnya.”
Petualangan, cinta, dan misteri masa lalu Hiro akan segera pecah. Festival hanyalah jeda… sebelum badai besar datang.
Bab 5: Serangan Bayangan & Rahasia Masa Lalu Hiro
Festival Hikari baru saja selesai. Lampion terakhir belum benar-benar menghilang dari langit, saat desa Rosenta tiba-tiba diselimuti kabut hitam pekat.
Ayumu langsung menarik busurnya, Tomoe menghilang ke dalam bayangan, Sayaka memanggil lingkaran suci, dan Nanase berdiri paling depan dengan aura naga yang menyala.
Dari balik kabut, sosok berjubah gelap muncul. Wajahnya tersembunyi, tapi suaranya bergema:
"Hei, Hiro… masih ingat siapa aku?"
Hiro menegang. Tangannya gemetar.
"...Zevran."
Seketika, empat gadis itu menatap Hiro dengan heran. “Siapa dia?” tanya Sayaka.
Zevran tertawa lirih. "Hiro yang kalian kenal… bukan cuma orang yang reinkarnasi. Dia mantan **penjaga dunia kegelapan**. Raja bayangan yang melarikan diri dari takdirnya."
Hening.
“Apa… maksudnya?” bisik Ayumu.
Hiro menghela napas, lalu menatap mereka.
“Dulu, di kehidupan sebelumnya sebelum Bumi… aku pernah jadi bagian dari dunia ini. Tapi aku mengkhianati kegelapan, memilih jadi manusia biasa… mati, dan reinkarnasi ke Bumi. Tapi takdir menarikku kembali ke sini… sebagai mage yang harus menebus masa lalunya.”
Tomoe mencibir, “Jadi kamu ini… mantan penjahat?”
“Aku... pernah jadi monster. Tapi sekarang, aku memilih kalian.”
Zevran mengangkat tangannya. Dari bayangannya muncul makhluk-makhluk hitam, mulai menyerang desa.
Pertempuran pecah!
Nanase berubah ke bentuk semi-naga, melempar api biru dari mulutnya. Ayumu membidik mata monster satu per satu. Tomoe menyelinap di balik mereka dan menghabisi dari belakang. Sayaka terus menyembuhkan luka satu per satu, bahkan saat tubuhnya sendiri terluka.
Hiro berdiri di tengah. “Kalian… adalah alasan kenapa aku tetap waras.”
Ia membuka segel sihirnya sendiri—mantel mage-nya meledak cahaya ungu. Rambutnya tertiup ke belakang, mata bersinar.
"Chrono Incantation—**Void Flame Tetra Nova!**"
Empat bola api hitam meledak di langit, menyapu monster bayangan.
Zevran tersenyum. “Kekuatanmu masih ada… itu bagus. Kita akan bertemu lagi.”
Ia menghilang ke kabut.
**
Pertempuran selesai. Tapi kini suasana berubah.
Ayumu menatap Hiro. “Kamu masih orang yang sama… kan?”
Sayaka hanya memeluknya. “Aku tidak peduli masa lalu, asal kamu tetap jadi Hiro yang aku cintai.”
Tomoe menatap tajam. “Kalau kau berubah jahat… aku sendiri yang akan membunuhmu.”
Nanase diam, tapi menggenggam tangan Hiro erat.
**
Malam itu, di atas reruntuhan desa yang selamat, Hiro menatap langit. Cahaya bintang seolah mengawasi takdir yang mulai terungkap. Ia tahu—perang belum selesai. Tapi kali ini, dia tidak sendirian.
Dan di balik cintanya… ada bayangan takdir yang terus mengintai.
Satu hal pasti—ia harus memilih: menebus masa lalu, atau dihancurkan oleh bayangannya sendiri.
Bab 6: Markas Bayangan & Tawaran Kegelapan
Beberapa hari setelah serangan, Hiro dan rombongan memutuskan bergerak ke arah barat—mencari petunjuk soal Zevran dan markas kegelapan yang pernah ditinggalkan Hiro di kehidupan lamanya.
Dalam perjalanan, mereka tiba di reruntuhan kastil tua: **Castel Umbra**—dulu markas utama Hiro sang penguasa bayangan. Tempat itu kini sunyi, tapi hawa gelap masih terasa di dinding-dinding batu yang retak.
“Aku pernah duduk di tahta itu…” Hiro berkata lirih, menunjuk singgasana raksasa yang masih berdiri tegak. “Tempat di mana aku memerintah ratusan monster, dan mengorbankan banyak jiwa.”
Ayumu menggenggam tangannya. “Tapi sekarang, kamu bukan dia lagi.”
Namun tiba-tiba… dari bayangan singgasana, muncul sosok perempuan tinggi berjubah ungu gelap. Mata merah menyala. Bibirnya melengkungkan senyum tajam.
“Hiro… lama tak bertemu. Atau seharusnya aku panggil: **Tuan Kegelapan**?”
Hiro langsung siaga. “Lamia…”
Sayaka melangkah maju. “Siapa dia?”
“Dia… jenderal kegelapan yang dulu sangat setia padaku. Dan…” Hiro menatap kosong, “…mantan tunangan sebelum aku kabur dari dunia ini.”
Lamia tertawa manja. “Ahh~ masih pahit ya. Tapi aku tak datang untuk mengingat masa lalu. Aku datang untuk menawarimu masa depan.”
Ia menjentikkan jari. Satu dunia ilusi terbuka—menampakkan Hiro duduk kembali di tahta kegelapan, dengan semua gadisnya berdiri di sisinya, tersenyum dengan mata kosong.
“Kau bisa punya semuanya, Hiro. Kekuatan… cinta… dan ketaatan abadi. Asal kau kembali padaku.”
“Tidak!” bentak Ayumu. “Dia milik kami!”
Tomoe mencabut belati. “Sentuh dia, dan aku bunuh kau.”
Nanase mengaum dalam bentuk naga. Sayaka menyebarkan perisai cahaya.
Tapi Lamia hanya tersenyum.
“Aku akan memberimu waktu tujuh hari. Jika tak mau kembali… maka aku akan ambil kembali jiwamu—dan para wanita yang bersamamu.”
Dengan itu, Lamia menghilang.
**
Malam itu, Hiro duduk sendirian di balkon kastil tua, memandangi bulan.
Sayaka datang, duduk di sampingnya. “Kamu baik-baik saja?”
“Aku takut... aku kehilangan kalian.”
Sayaka tersenyum, lalu mencium pelan dahinya. “Kalau kamu berubah, aku akan menyembuhkanmu. Kalau kamu hancur, aku akan membangunmu kembali. Karena cinta yang kami berikan… bukan untuk bayangan. Tapi untuk Hiro yang di sini, saat ini.”
Hiro memejamkan mata.
Dalam tujuh hari… ia harus memilih. Antara jalan terang yang penuh rasa sakit, atau kembali ke kegelapan yang menjanjikan segalanya.
Dan waktu terus berjalan.
**
To be continued...
Bab 7: Ujian Hati di Kota Cahaya
Hari pertama dari batas waktu tujuh hari dimulai. Rombongan Hiro melanjutkan perjalanan ke **Luminare**, kota yang dikenal sebagai tempat paling terang di seluruh dunia. Di sana terdapat kuil yang bisa menampakkan “keinginan hati terdalam”—alat untuk mengetahui niat seseorang.
Sayaka berkata, “Kita harus tahu... apakah Hiro masih punya sisi kegelapan atau tidak.”
Hiro mengangguk, walau dalam hatinya gemetar.
Sesampainya di Kuil Cermin Cahaya, sang penjaga menyambut mereka.
“Siapa pun yang masuk ke ruang refleksi, akan melihat wujud terdalam dirinya… dan tidak bisa berbohong.”
Satu per satu mereka masuk.
**
Ayumu melihat dirinya sendiri sedang menggenggam tangan Hiro di atas bukit yang penuh bunga. “Aku ingin bersamanya… sampai akhir.”
Tomoe melihat dirinya tersenyum lembut—tanpa senjata. “Aku ingin bisa mencintai... tanpa takut kehilangan.”
Nanase melihat dirinya dalam bentuk manusia penuh, tanpa sisik. “Aku ingin diterima… bukan hanya sebagai naga.”
Sayaka melihat dirinya memeluk bayi kecil. “Aku ingin merawat Hiro… dan kehidupan baru bersamanya.”
Semua menangis diam-diam.
Lalu giliran Hiro.
Ia masuk ke ruang cermin.
Dan yang ia lihat... adalah dirinya sendiri, duduk di antara dua tahta: cahaya dan kegelapan. Tapi ada rantai besar di kakinya. Dan suara berat terdengar:
“Hatimu belum memilih. Kau ingin bebas... tapi juga ingin memiliki segalanya.”
Cermin pecah.
Penjaga kuil datang dengan wajah serius. “Kegelapan masih ada di dalam hatimu. Tapi... begitu juga cahaya. Kau adalah jembatan. Dan jembatan harus memilih, atau hancur di tengah.”
**
Di luar, Hiro menceritakan apa yang ia lihat.
Tak ada yang marah. Tapi semuanya terdiam.
Lalu, Ayumu melangkah dan memeluknya erat. “Kalau kamu jatuh ke kegelapan… kami akan ikut terjun, lalu menarikmu naik.”
“Karena cinta itu… bukan tentang tak pernah salah. Tapi tentang selalu kembali.”
Hiro akhirnya menangis. Untuk pertama kalinya, ia merasa... diterima.
**
Tapi malamnya, surat datang ke penginapan mereka.
Satu kalimat saja:
**“Hari keempat… aku akan datang untuk mengambil jiwamu.” – Lamia**
Dan perang hati… segera berubah jadi perang sesungguhnya.
Bab 8: Serangan Tengah Malam & Benteng yang Tumbang
Malam keempat. Kota Luminare diselimuti keheningan yang tak biasa.
Sayaka merasakan ketegangan di udara. “Energinya… berubah. Ini bukan sihir biasa.”
Tiba-tiba—langit terbelah oleh semburan bayangan.
**“BRAAAAKK!!”**
Menara timur kota hancur disambar naga hitam yang dikuasai kegelapan. Dari balik kabut muncul puluhan pasukan bayangan—monster, assassin, dan beast yang dulunya berada di bawah perintah Hiro.
Dan memimpin mereka di langit...
**Lamia.**
Dengan jubah ungu berkibar, ia tertawa sambil melayang di atas kota.
“Hiro... waktumu habis. Aku datang menjemputmu—atau menghancurkan semua yang kau cintai.”
**
Hiro langsung mengangkat tongkatnya.
“Aku gak akan biarin kamu menyentuh mereka.”
Pasukan kota bergegas bertahan, tapi jelas kalah jumlah. Hiro tahu: ini bukan cuma ujian hati, ini adalah perang untuk mempertahankan makna hidup barunya.
**
Di medan pertempuran:
- **Ayumu** memanah cepat dari atap ke atap, melindungi warga yang mencoba kabur.
- **Tomoe** bergerak dalam bayangan, menghabisi assassin satu per satu tanpa suara.
- **Nanase** berubah ke wujud naga emas, bertarung langsung dengan naga hitam Lamia.
- **Sayaka** memutar tongkat sihirnya, menyembuhkan dan menciptakan perisai cahaya untuk menjaga semua orang.
Hiro berdiri di tengah alun-alun kota, sihir petir dan bayangan membaur di tangannya.
“Kau bisa ambil semua ini…” teriak Hiro ke Lamia yang turun mendekat, “...tapi bukan hati mereka!”
Lamia mendengus. “Kalau begitu, aku akan merobeknya dari tubuhmu!”
Pertarungan epik pun terjadi.
Cahaya dan kegelapan bertabrakan di udara. Benteng pertahanan kota mulai roboh. Tapi pasukan Hiro tak gentar.
**
Saat pertarungan mencapai puncaknya—Hiro membuat keputusan.
Ia menyerap bayangan serangan Lamia ke dalam tubuhnya sendiri, menyalurkannya ke dalam jantung sihirnya. Tubuhnya sejenak berubah: satu sisi hitam pekat, sisi lain bercahaya.
“Kalau aku harus menyatukan keduanya… maka aku akan jadi Mage dengan dua sisi. Aku… **Mage Penjaga Dunia Keseimbangan**!”
Dengan sihir campuran cahaya dan kegelapan, Hiro meledakkan bayangan di langit—menghancurkan naga hitam dan membuat Lamia terjatuh ke bumi.
Lamia terluka… tapi tertawa. “Kau menarik, Hiro. Tapi pertunjukan ini belum selesai. Sampai jumpa... di akhir.”
Lalu dia menghilang.
**
Kota Luminare porak poranda, tapi selamat.
Hiro berdiri di reruntuhan, dikelilingi gadis-gadis yang mencintainya. Mereka tidak hanya melihatnya sebagai pahlawan… tapi sebagai pemimpin, pasangan, dan cahaya yang mereka pilih.
Namun satu pertanyaan belum terjawab:
**Jika kegelapan adalah bagian dari dirinya… apa yang akan terjadi saat ia benar-benar kehilangan kendali?**
To be continued...
Bab 9: Pelukan Setelah Pertempuran & Ciuman yang Dijanjikan
Setelah hiruk-pikuk pertempuran, senja menyelimuti reruntuhan Kota Luminare. Udara masih berbau asap dan debu, tapi kehangatan perlahan kembali hadir.
Hiro duduk di sebuah bangku batu yang retak, kelelahan namun tenang. Ayumu duduk di sampingnya, memegang tangannya erat.
“Kalau aku tidak ada, kamu tidak akan bisa bertahan,” ujar Ayumu pelan, matanya penuh haru.
Hiro tersenyum lelah. “Kamu lebih kuat dari yang aku kira.”
Tiba-tiba, Tomoe datang membawa air dan handuk. Dengan sikap dinginnya yang biasa, ia meletakkan handuk di pundak Hiro.
“Jangan terlalu sombong,” katanya datar tapi ada kehangatan di suaranya.
Nanase berubah kembali ke wujud manusia, melangkah mendekat dan menyandarkan kepala di bahu Hiro.
“Kita semua lelah. Tapi bersama-sama, kita tak terkalahkan.”
Sayaka muncul dengan senyum lembut, membawa sebuah bunga kecil yang ia temukan di tengah reruntuhan.
“Kamu harus istirahat. Aku akan menjagamu.”
Hiro menatap mereka satu per satu, hati hangat. Ia menarik Ayumu lebih dekat, lalu perlahan memeluk semua gadisnya, satu demi satu.
“Terima kasih sudah tetap di sini… untuk aku.”
Ayumu mengangkat wajahnya, mata mereka bertemu.
“Janji ya, Hiro. Di mana pun kita pergi, kita hadapi semua bersama.”
Hiro menunduk, dan dengan lembut menciumnya.
Ciuman itu bukan hanya simbol cinta, tapi janji—janji untuk tetap bersama melewati gelap dan terang.
Malam itu, di bawah langit yang mulai cerah, mereka tahu: pertempuran baru saja dimulai. Tapi hati mereka sudah kuat, dan cinta itu... tak akan pernah runtuh.
Bab Spesial 1: Hati Ayumu – Cinta yang Tak Pernah Meleset
Malam sebelum hari keempat, saat semua sudah tertidur, Ayumu duduk sendiri di atap penginapan. Busurnya di pangkuan, mata menatap langit penuh bintang.
Hiro naik diam-diam.
“Gak bisa tidur?” tanya Hiro pelan.
Ayumu mengangguk. “Pikiran terlalu ramai. Tapi yang paling keras... adalah suara hatiku.”
Ia menoleh menatap Hiro. “Aku jatuh cinta sama kamu, Hiro.”
Hiro kaget, walau senyum perlahan muncul.
“Aku tahu... aku bukan yang paling kuat. Bukan yang paling cantik. Tapi aku selalu ingin ada di sampingmu, nembakin siapa pun yang nyakitin kamu.”
Ia bangkit, berdiri di depannya.
“Aku gak butuh kamu sempurna. Aku cuma butuh kamu gak nyerah. Karena aku akan selalu dukung kamu... sampai anak kita bisa nembak lebih jago dari aku.”
Hiro menatap Ayumu. “Kamu orang pertama yang narik tanganku waktu aku masih ragu.”
“Aku juga orang pertama yang bakal tembak orang yang bikin kamu nangis,” jawab Ayumu sambil cengengesan.
Lalu ia mengejutkan Hiro—dengan pelukan erat. Hangat, lembut, tulus.
“Jangan ninggalin aku, Hiro. Karena hatiku udah lama kamu curi... dan aku gak mau itu dikembalikan.”
Hiro membalas pelukan itu, memejamkan mata.
Di malam yang sunyi, cinta Ayumu menancap tepat di hati Hiro. Seperti panahnya—tak pernah meleset.
Bab Spesial 2: Tomoe — Bayangan Sunyi yang Menyimpan Api
Tomoe berdiri di sudut gelap sebuah gang sempit di Kota Luminare, matanya tajam memperhatikan sekeliling. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, tapi di dalam hatinya ada badai.
Dia bukan hanya pembunuh bayangan yang paling mematikan di tim Hiro, tapi juga yang paling diam-diam menyimpan perasaan.
Sudah lama Tomoe menyadari: hati Hiro bukan untuk dia yang keras dan dingin, tapi untuk gadis-gadis lain yang terang benderang.
Namun, bukan berarti dia menyerah.
Malam itu, ketika semua tertidur, Tomoe menyelinap ke tempat Hiro beristirahat. Dengan suara lembut yang jarang ia keluarkan, ia berkata, “Hiro… aku bukan wanita yang mudah kau mengerti. Tapi aku ingin kau tahu… aku akan melindungimu, sampai napasku habis.”
Hiro menatapnya, sedikit terkejut dengan kejujuran itu.
Tomoe melanjutkan, “Aku bukan seperti Ayumu yang ceria, bukan seperti Nanase yang kuat, bukan seperti Sayaka yang lembut… tapi aku punya satu hal yang tak bisa mereka beri: keheningan dan perlindungan yang tak terputus.”
Tanpa berkata lebih banyak, Tomoe memberikan Hiro sebilah belati kecil—hadiah sekaligus simbol kepercayaannya.
“Bawa ini… saat kau dalam bahaya, ingat aku ada di belakangmu.”
Hiro mengangguk pelan, merasakan getaran kehangatan yang tersembunyi di balik dinginnya Tomoe.
Saat itu juga, Tomoe tersenyum kecil—senyum pertama yang pernah ia tunjukkan di depan Hiro.
Cinta dalam diamnya tak kalah dalamnya.
Bab Spesial 3: Nanase — Naga yang Menyembunyikan Sayap Lembutnya
Nanase berdiri di tepi danau berkilau, tatapannya tajam memandang permukaan air yang tenang. Di dunia luar, dia adalah naga fighter yang ditakuti—kuat, gagah, dan tak tergoyahkan.
Tapi di dalam hatinya, ada kelembutan yang tak banyak orang tahu.
Saat Hiro datang menghampiri, Nanase menoleh. Matanya yang besar dan penuh rasa ingin tahu menyiratkan sesuatu yang berbeda.
“Hiro,” suaranya berat tapi lembut, “aku mungkin bukan yang paling dekat denganmu, tapi aku ingin kau tahu… aku juga takut kehilanganmu.”
Hiro tersenyum dan duduk di sampingnya.
“Kamu selalu jadi pelindung yang hebat, Nanase. Tapi aku ingin jadi pelindungmu juga.”
Nanase menghela napas, “Aku terbiasa menyembunyikan perasaanku karena takut dianggap lemah. Tapi denganmu… aku ingin belajar terbuka.”
Ia mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Hiro dengan jari yang halus namun penuh kekuatan.
“Kau mengubahku, Hiro. Dari naga yang berapi menjadi naga yang mampu mencintai tanpa takut terluka.”
Hiro menggenggam tangannya erat.
“Nanase, aku berjanji… aku akan menjaga sayap lembutmu, sekuat apapun badai yang datang.”
Di bawah sinar bulan, mereka duduk berdua, dua jiwa yang belajar saling percaya dan membuka hati.
Nanase, sang naga kuat, menemukan arti baru kekuatan: keberanian untuk mencintai.
Bab Spesial 4: Sayaka — Penyembuh Abadi yang Mencari Rumah di Hati
Di dalam hutan suci yang dipenuhi cahaya bulan, Sayaka berdiri memegang tongkat sihirnya. Wajahnya lembut, penuh ketenangan yang menyejukkan.
Meskipun usianya sudah 300 tahun, ia tampak seperti gadis muda berusia 23 tahun, dan hatinya masih penuh cinta yang tak lekang oleh waktu.
Hiro mendekat pelan, duduk di sampingnya.
“Aku tahu, kau sudah lama menyimpan beban, Sayaka,” ucap Hiro lembut.
Sayaka tersenyum, “Sebagai healer, aku selalu memberi, tapi kadang aku lupa menerima. Bersamamu, aku belajar bahwa aku juga berhak dicintai.”
Hiro menggenggam tangannya, “Aku ingin jadi rumahmu. Tempat di mana kau bisa sembuh dan merasa aman.”
Mata Sayaka berkaca-kaca, “Aku ingin membangun masa depan denganmu, bukan hanya menyembuhkan luka, tapi juga menciptakan kebahagiaan.”
Mereka berdua terdiam sejenak, merasakan kehangatan yang tumbuh di antara mereka.
Dalam pelukan hangat Hiro, Sayaka merasakan bahwa ia akhirnya menemukan cinta sejati—tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa takut kehilangan.
Dengan satu janji sederhana, mereka memulai babak baru: cinta yang menyembuhkan dan abadi.