Langit Jakarta sore itu memudar kejinggaan, menambah dramatis suasana hati Luna Agatha. Di tangannya tergenggam map cokelat berisi CV dan surat lamaran kerja. Ia berdiri di depan gedung pencakar langit bertuliskan Wijaya Corp, menatapnya seperti hendak menantang dunia.
“Mulai hari ini, aku bukan Luna Agatha, pewaris Grup Agatha,” gumamnya pelan. “Aku cuma Luna... Luna Samudra.”
Ia melangkah mantap, menyembunyikan identitasnya di balik nama samaran. Keputusan ini sudah dipikirkannya matang-matang. Ia tak ingin hidup di bawah bayang-bayang nama besar keluarganya. Dan ia tak ingin perlakuan istimewa dari seorang Ananta Wijaya, pria yang kini secara hukum adalah suaminya.
Pernikahan mereka, hasil kesepakatan dua keluarga konglomerat, dilangsungkan secara diam-diam tiga bulan lalu. Hanya segelintir orang tahu. Tidak ada pesta, tidak ada publikasi. Hanya ikatan hukum dan dua hati yang belum saling mengenal.
Luna ingat betul hari itu.
“Aku harap kau tidak menganggap ini lebih dari sekadar formalitas,” suara Ananta terdengar datar saat itu, bahkan tanpa menatap matanya.
Luna hanya mengangguk. “Aku tidak berharap apa-apa. Cukup kita sama-sama sepakat untuk menjaga nama baik keluarga.”
Itulah awal pernikahan mereka.
Dan kini, ia berdiri di perusahaan milik suaminya, bukan sebagai istri, melainkan pelamar kerja.
Wawancaranya berlangsung lancar. Ia diterima di divisi pemasaran sebagai staff junior. Tapi kabar baik itu tidak bertahan lama, karena pada hari pertama masuk kerja, ia bertemu dengan satu nama yang kelak menjadi duri dalam hidupnya, Gisel Amanda.
“Baru juga masuk, udah berani pakai lipstik merah ya?” sindir Gisel sambil menyipitkan mata ke arah Luna. “Kamu kira ini fashion show?”
Luna menahan diri. “Maaf, Bu. Saya akan menyesuaikan.”
“Bagus.” Gisel menyeringai. “Di sini, yang cantik belum tentu bertahan lama.”
Hari-hari Luna menjadi penuh tekanan. Ia bekerja keras, bahkan sering pulang paling malam. Tapi Gisel tak pernah puas. Ia selalu menemukan celah untuk mengkritik, menjelekkan, bahkan mempermalukan Luna di depan rekan kerja lain.
Yang tidak diketahui Gisel, Ananta sering kali mengamati semua itu dari CCTV ruang meeting. Ia menyaksikan Luna memungut kertas yang dijatuhkan Gisel dengan sengaja. Ia melihat bagaimana istrinya menahan tangis setiap kali dihina di ruang pantry.
“Kenapa kamu gak bilang apa-apa?” tanya Ananta suatu malam saat mereka bertemu di rumah besar keluarga Wijaya.
Luna menatapnya dingin. “Karena kamu CEO. Aku hanya staf biasa. Aku bisa hadapi sendiri.”
Ananta mendesah. Ia ingin sekali melindungi Luna. Tapi ia tahu, jika ia menunjukkan keberpihakan, akan ada konsekuensi. Terutama karena status pernikahan mereka masih dirahasiakan.
Namun batas kesabarannya benar-benar diuji saat Gisel mulai berani menggoda dirinya secara terang-terangan.
“Pak Ananta, kita cocok lho kalau kerja bareng. Siapa tahu cocok juga untuk hal lain,” kata Gisel genit suatu kali saat meeting selesai dan hanya mereka berdua di ruangan.
Ananta menatapnya tajam. “Saya tidak mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan, Bu Gisel.”
“Oh? Padahal saya dengar CEO kita belum menikah. Masih single dan... bisa diperebutkan,” balas Gisel sambil menyentuh lengannya.
Ananta langsung menjauh. “Jaga sikap, atau saya pertimbangkan ulang posisi Anda di perusahaan ini.”
Namun ancaman itu tak membuat Gisel jera. Sebaliknya, ia menyusun rencana keji, menjebak Luna dalam kasus manipulasi data laporan anggaran.
---
Sudah seminggu Luna merasa ada yang aneh. Gisel yang biasanya terus mencari kesalahan, tiba-tiba mendadak ramah. Bahkan beberapa kali memberikan tugas-tugas penting.
“Kamu kerjakan laporan final pengeluaran event ini, ya. Nanti langsung submit ke Pak Ananta,” ucap Gisel dengan senyum palsu.
Luna menatap dokumen digital di layar komputernya. Angka-angka pengeluaran, invoice, dan catatan transfer bank sudah diverifikasi dengan teliti olehnya. Tapi ia tidak tahu bahwa file yang diupload terakhir telah diubah.
Hari itu, seluruh manajemen dikumpulkan secara mendadak.
“Kita mendapat laporan adanya penyimpangan dana sebesar 150 juta rupiah dalam laporan keuangan divisi pemasaran,” ucap salah satu direktur utama dengan wajah muram.
Semua mata beralih pada Luna. Termasuk Gisel, yang pura-pura terkejut.
“Tidak mungkin! Itu Luna yang pegang laporannya!” serunya lantang. “Saya pribadi menyerahkan tugas itu padanya karena saya percaya... Tapi ternyata—”
Luna berdiri dengan wajah pucat. “Saya tidak memalsukan laporan itu. Saya teliti semua datanya. Saya... saya bahkan simpan salinan mentahnya.”
“Cukup!” Ananta masuk ruangan dengan langkah cepat. Sorot matanya tajam, menembus setiap orang.
Suasana berubah drastis.
“Semua keluar, kecuali Luna, Gisel, dan tim audit,” perintahnya tegas.
Orang-orang perlahan bubar. Gisel terlihat gugup.
Ananta menatap Luna. “Kamu bilang punya salinan?”
Luna mengangguk, gemetar. “Ada di email saya. Saya kirim ke akun pribadi malam sebelum submit.”
“Tim audit, periksa sekarang juga,” kata Ananta.
Dalam waktu singkat, kebenaran terbongkar. Salinan mentah Luna terbukti berbeda dari yang diserahkan ke sistem perusahaan. File yang terupload berasal dari IP address berbeda yaitu dari komputer Gisel.
Wajah Gisel pucat pasi.
“Saya... saya cuma—”
“Diam,” potong Ananta. “Saya akan laporkan ini ke dewan etik. Dan sementara itu, mulai hari ini, Anda dinonaktifkan dari seluruh jabatan Anda. Keluar dari ruangan ini.”
Gisel terdiam. Ia memalingkan wajah, menatap Luna dengan mata berapi.
“Ini belum selesai,” desisnya lirih.
Ketika pintu tertutup, Luna masih berdiri membeku. Air matanya mengalir diam-diam. Ia tak tahu apakah harus merasa lega atau hancur.
Ananta menghampirinya perlahan.
“Kau tidak perlu takut lagi,” katanya lembut.
Luna menatapnya. “Kenapa kamu peduli sekarang?”
Ananta menatap matanya dalam. “Karena aku lelah berpura-pura. Dan karena aku suamimu. Aku tidak akan diam saat orang lain menginjakmu.”
Besok paginya, semua kantor heboh.
Headline di papan pengumuman elektronik berbunyi
“Pengumuman Resmi: Istri Sah CEO Wijaya Corp adalah Luna Agatha.”
Suasana kantor Wijaya Corp seperti disambar petir. Tidak ada yang menyangka gadis manis yang duduk di meja pojok divisi pemasaran, yang selama ini dianggap “anak baru”, ternyata adalah istri sah sang CEO.
"Serius itu Luna? Istri Pak Ananta?"
"Makanya wajahnya kayak pernah lihat di majalah ya..."
"Buset, Gisel dulu ngatain dia tiap hari!"
Gosip menyebar lebih cepat dari virus. Beberapa rekan yang dulu ikut mentertawakan Luna, kini mendadak menjadi ramah. Tapi Luna tak peduli. Ia tetap bekerja seperti biasa tanpa mengubah sikap.
Di sisi lain, Ananta mulai berubah. Ia tak lagi menjaga jarak. Saat makan siang, ia muncul di kantin bersama Luna. Saat rapat, ia terang-terangan menyebut Luna sebagai "istriku."
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama.
Sore hari, pintu ruang pribadi Ananta diketuk.
“Masih ingat aku?”
Ananta mendongak. Sosok itu berdiri di ambang pintu dengan senyum menawan dan tatapan tajam.
“Raisa...” desis Ananta pelan.
Raisa Putri, mantan kekasih yang pernah menjadi bagian dari hidupnya sebelum keduanya memilih jalan masing-masing. Kini ia kembali, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih berbahaya.
“Aku dengar kabar dari luar negeri... kau menikah?” Raisa tertawa kecil. “Dengan staf sendiri? Hebat. Kamu berubah banyak.”
Ananta bangkit berdiri. “Apa maumu, Raisa?”
Raisa melangkah pelan, mendekat. “Aku hanya penasaran. Apakah... kau benar-benar mencintainya? Atau hanya bagian dari strategi bisnis keluargamu?”
Ananta tak menjawab.
Raisa tersenyum penuh arti. “Kau tahu, aku masih mencintaimu. Dan aku tak akan menyerah semudah itu.”
---
Beberapa hari setelah itu, Luna merasa suasana kembali menegang. Raisa muncul di banyak agenda pertemuan perusahaan sebagai investor potensial. Dan entah bagaimana, ia selalu berhasil ‘tersesat’ ke ruangan Ananta, bahkan kadang saat Luna ada di sana.
“Ups, ganggu ya?” Raisa menyeringai saat masuk ke ruang kerja Ananta. “Aku cuma ingin tanya, siapa yang lebih kamu suka: kopi buatan istri kecilmu atau kopi dari masa lalu yang kau tahu rasanya tak pernah berubah?”
Luna menegang. Tapi sebelum ia menjawab, Ananta sudah berdiri dan meraih tangan Luna.
“Luna,” ucapnya mantap. “Dia yang kupilih. Dia yang kupilih setiap hari, mulai sekarang dan seterusnya.”
Raisa terdiam. Dadanya naik turun.
“Kalau begitu,” katanya pelan. “Kita lihat siapa yang lebih kuat bertahan dalam permainan ini.”
Luna menatap pantulan dirinya di cermin ruang ganti kantor, matanya tampak lelah. Ia berusaha keras menahan segala emosi, tapi kehadiran Raisa seperti luka lama yang terus dikuak.
“Dia mantan pacarnya. Wanita yang pernah ia cintai,” gumamnya pelan, meremas tisu di tangan. “Dan aku? Hanya istri karena perjodohan.”
Hubungan mereka memang mulai membaik, tapi luka itu masih menggantung di antara keduanya. Apalagi setelah Luna tak sengaja mendengar percakapan Raisa dan Ananta di taman belakang kantor.
“Aku tak datang untuk merusak. Aku hanya ingin kau tahu, aku tak pernah berhenti mencintaimu,” suara Raisa terdengar lembut tapi tajam.
Ananta terdiam lama sebelum akhirnya berkata, “Aku mencintai Luna.”
Tapi yang menyakitkan bukan kalimat itu. Yang membuat Luna goyah adalah... ia harus berpikir begitu lama untuk menjawab.
---
Hari-hari selanjutnya menjadi penuh keraguan.
Ananta yang biasanya hadir di rumah sebelum jam delapan malam, kini pulang lewat tengah malam. Alasannya selalu “meeting” dengan investor, padahal Luna tahu Raisa adalah salah satunya.
Puncaknya terjadi malam itu.
“Aku lihat kamu makin dekat dengan Raisa,” ucap Luna tajam di ruang makan.
Ananta menatapnya, lelah. “Dia investor utama, Luna. Aku hanya bersikap profesional.”
“Profesional? Sejak kapan profesional berarti menghabiskan malam bersama di bar lounge hotel?” Suaranya meninggi.
Ananta berdiri. “Kau memata-mataiku?”
Luna berdiri juga. “Aku istrimu! Dan kamu makin hari makin membuatku merasa... aku cuma formalitas di hidupmu!”
Ananta menghela napas panjang. “Jadi semua ini tentang percaya atau tidak percaya?”
“Bukan. Ini tentang... hatimu. Aku gak tahu... apa aku pernah benar-benar punya tempat di dalamnya.”
Ananta memejamkan mata, seolah menahan sesuatu yang berat.
“Kalau kamu lelah, kita bisa ambil waktu masing-masing.”
Kata-kata itu seperti pedang bagi Luna. Ia menunduk.
“Baik.”
Malam itu, Luna mengemasi beberapa pakaian, dan pergi ke apartemen lamanya. Tempat itu kecil, tapi justru di sanalah ia merasa bisa bernapas kembali.
Di tempat lain, Raisa tersenyum puas di balik kemudi mobilnya. Ia tahu, satu celah kecil saja cukup untuk mengguncang hubungan yang dibangun dengan dasar rapuh.
“Luna... kamu hanya datang karena perjodohan. Aku datang karena cinta,” bisiknya pada bayangan sendiri.
Namun di balik semua itu, ada satu hal yang tidak Raisa tahu: Ananta tak bisa tidur tanpa Luna di sisinya.
Malam-malamnya menjadi sunyi. Ia menatap kursi kosong di seberangnya saat makan malam. Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari, cinta bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, tapi tumbuh setiap hari bersama Luna.
Hujan turun deras malam itu. Di balik jendela kaca apartemennya, Luna duduk menyelimutkan diri dengan jaket tipis sambil menatap lampu kota yang berkedip.
Ponselnya sudah tak berhenti bergetar sejak dua jam lalu. Nama "Ananta" terus muncul di layar namun ia tak menjawab.
Luna memeluk lututnya. “Kalau kau benar mencintaiku... kenapa membiarkan aku pergi?”
Di sisi lain kota, Ananta duduk di ruang kerjanya, memandangi foto pernikahan mereka yang selama ini ia simpan diam-diam. Gambar Luna tersenyum dalam balutan kebaya putih membuat dadanya sesak.
“Bodoh,” gumamnya. “Kau selalu takut menyakitinya, sampai akhirnya malah melukai.”
Teleponnya berdering. Kali ini dari sekretarisnya.
“Pak, Bu Raisa meminta jadwal private meeting besok malam. Dia ingin tanda tangan perjanjian investasi. Katanya penting.”
Ananta menatap meja kerjanya lama, sebelum akhirnya menjawab, “Batalkan. Saya tidak butuh investornya.”
“Maaf, Pak?” Tanya sekretarisnya bingung.
“Saya butuh istri saya.” Jawab Ananta.
Malam itu juga, Ananta memacu mobilnya menuju apartemen Luna. Hujan tak menghalangi langkahnya. Begitu sampai di depan pintu, ia mengetuk sekali, dua kali... tak ada jawaban.
Namun saat ia hendak menyerah, pintu itu terbuka.
Luna berdiri di ambang, rambutnya acak, matanya merah.
“Kau datang...” suaranya pelan, hampir tak terdengar.
Ananta mendekat, matanya basah.
“Maaf,” bisiknya. “Aku biarkan kamu sendiri ketika kamu sedang berjuang sendirian. Aku salah. Dan aku sadar... aku mencintaimu, Luna. Tidak ada Raisa, tidak ada perjodohan, tidak ada bisnis. Hanya kamu.”
Luna menatapnya lama, sebelum akhirnya tubuhnya goyah, jatuh dalam pelukan Ananta.
“Aku lelah, Ananta... lelah menebak-nebak posisi diriku di hidupmu.”
Ananta memeluknya erat. “Kamu adalah rumah. Tempat aku pulang. Aku tahu sekarang.”
Keesokan harinya, seluruh kantor dibuat geger untuk kedua kalinya.
Headline hari itu:
"Raisa Putri Resmi Menarik Investasi, Wijaya Corp Tolak Kerja Sama Demi Integritas!"
Dan Gisel? Ia resmi dipecat dan masuk dalam daftar hitam asosiasi profesional karena manipulasi data dan pelecehan etik.
Luna kembali bekerja dengan posisi baru: manajer divisi kreatif. Tapi ia tetap membumi. Ia bekerja dengan sungguh-sungguh, dan kini orang-orang memandangnya bukan sebagai “istri bos”, tapi sebagai pemimpin yang mereka hormati.
---
Satu bulan kemudian...
“Ananta...” suara Luna terdengar bergetar di ruang pemeriksaan dokter kandungan.
“Hm?” sahut Ananta sambil menggenggam tangannya.
Luna menunjukkan hasil tes USG.
“Kita... kita akan punya bayi.”
Ananta terdiam beberapa detik, lalu tersenyum lebar. “Kamu serius?”
Luna mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Ananta memeluknya erat, mencium keningnya dengan penuh syukur.
Malam itu, di taman belakang rumah mereka, Luna dan Ananta duduk berdampingan. Langit senja memerah lembut.
“Kalau anak kita perempuan, aku mau dia mirip kamu,” kata Luna sambil tersenyum.
“Kalau laki-laki, semoga dia mewarisi keteguhan hatimu,” jawab Ananta.
Mereka saling menatap, dan dalam hening itu, hanya satu hal yang pasti—setelah semua badai, cinta mereka menemukan jalannya sendiri.
Dan kini, mereka punya satu tujuan baru: membangun rumah yang sesungguhnya. Bukan dari dinding dan atap, tapi dari hati yang tak pernah menyerah.
TAMAT.