Hari ini suara-suara bising itu bersahut-sahutan lagi, padahal gemuruh di langit sudah cukup memuakkan. Tanganku mulai kebas karena berada di posisi yang sama dalam waktu lama, sayangnya sekuat apapun menyumpal telinga dengan telapak tangan, masih saja tak dapat meredam bising di ruang tengah.
“Jual saja tanah di samping itu, untuk apa juga kau menyimpannya, sungguh tak guna!”
Suara berat pria itu semakin besar volumenya, membuat rasa muak itu meluap-luap kembali.
“Berhenti lah menjual dan menjual! Kebiasaan burukmu benar-benar tak ada habisnya!”
Suara bergetar seorang wanita di balik dinding meremukkan jantungku, memicu pikiran-pikiran kotor di kegelapan bangkit kembali.
“Ini demi kebaikan bersama, jika tanah itu tak dijual darimana kita dapat uang untuk memperbaiki rumah ini?!”
“Semua akan ada jalannya, kita hanya perlu bekerja lebih keras lagi, berhentilah terus-terusan menjual aset berharga milik kita.”
“Membantah terus, urus saja rumah ini sendiri jika kau benar-benar mampu!”
Brak!
Entah benda apa lagi yang dibantingnya kali ini, suara bedebum itu benar-benar membuat terkejut, rasanya lemas sudah tulangku.
“Selalu ikut campur dengan keputusan yang aku buat, sok pintar benar kau jadi perempuan!”
Sahut-sahutan emosi diluar mereda setelah kalimat terakhir dilontarkan, entah ke mana lagi pria itu pergi, yang jelas aku sungguh tak peduli.
Rumah tidak benar-benar hening setelah pria itu pergi, karena ocehan penuh kekesalan segera memenuhi ruangan.
“Menjual dan menjual saja kerjanya, benar-benar tak sabaran jadi manusia. Apa dia tak sadar, entah sudah berapa kali dia mengulang kebiasaan buruk itu.”
“Tak ingat dia jika aku selalu menuruti kemauannya, seenaknya sendiri, keterlaluan benar jadi manusia ”
Napasku terasa berat rasanya, meski bukan aku sumber dari kekesalan wanita di luar sana, tetap saja aku ikutan tercekik oleh suasana rumah yang mereka ciptakan.
Bukan hal aneh lagi perihal perilaku buruk pria yang kusebut bapak itu, sumbu pikiran beliau yang pendek adalah yang paling menyebalkan.
Emosi dan keegoisannya yang besar menolak diajak berdiskusi perihal sebuah masalah, yang dia inginkan hanya satu yaitu orang-orang yang mengalir mengikuti arus yang dia ciptakan.
Saking terbiasanya, aku merasa air mataku benar-benar sudah kering, meskipun di waktu-waktu tak terduga mataku sembab juga.
Berenang-renang di lautan emosi yang terpendam benar-benar melelahkan, aku tak paham bagaimana cara menuangkannya menjadi sebaris kata.
Ujung-ujungnya aku menjadi tenggelam oleh isi kepalaku yang menakutkan, aku terombang-ambing di antara dua pilihan, mulai dari tali yang kokoh hingga cairan yang menjijikkan.
“Nak, mari makan!”
Ah, seruan yang sama dengan nada lembut seperti biasa. Lantai kayu yang kupijak bergoyang, menyesuaikan irama langkah kakiku.
“Makan apa Mak?”
“Ada ikan bakar tuh, kalau tak suka ada juga ikan goreng di lemari.”
Lagi-lagi senyum itu mekar seperti biasa, padahal situasi sekarang sedang tidak damai seperti hari-hari lainnya.
Dengan berat hati kepalaku mengangguk, memberi tanda bahwa aku mengerti. Meski masih gemetar kupaksa juga kakiku menuruni tangga, memijakkan kaki di dapur berlantai tanah.
Rumah panggung milik kami memang dibangun sederhana, rumah sementara katanya. Dapur yang menyatu dengan rumah panggung dibiarkan beralas tanah, sebab terkadang kami memasak menggunakan tungku dari tanah liat.
Kuraih piring, mengisinya dengan nasi dan lauk pauk lalu duduk di meja makan tanpa bising, menulikan telinga dari suara-suara menggerutu dari mamak yang tak ada habisnya.
Meski tak nafsu makan aku tetap menjejali mulut dengan makanan, memaksa kerongkongan yang kering menelan nasi yang hambar rasanya.
“Makan sayur Nak.”
Ah, nasehat yang sama, sampai aku hapal diluar kepala. “Tidak Mak, tak enak.”
“Kebiasaan kamu, makanya nggak gemuk-gemuk, kurus kering kurang gizi.”
Sahutan yang sama seperti biasa, aku terkekeh geli, sedikit tertohok oleh kenyataan yang benar-benar aku sadari.
Tubuhku yang semakin kurus dari tahun ke tahun memang sebuah fakta yang tak bisa kutepis, aku sendiri sudah muak dengan berat badanku yang tak kunjung naik.
Dari hari ke hari rasanya tulang-tulangku semakin menonjol, setiap kuraba siku dan mata kaki rasa insecure itu tumbuh makin besar.
Aku tak tahu bagaimana lagi caranya agar nafsu makanku meningkat, memulihkan waktu tidurku yang terlanjur berantakan, atau sekedar menghentikan otak dan hati yang terus bermonolog tanpa henti.
“Loh, sudah selesai? Nggak mau nambah?”
“Tidak, kenyang.”
“Sedikit sekali makanmu, Nak.”
Kuhiraukan oecahan tersebut, memilih naik menuju kamar, suatu kebiasaan yang entah sejak kapan sudah mendarah daging.
Kamar adalah satu-satunya tujuanku setelah selesai melakukan aktivitas apapun, mandi dan berdandan lalu kamar, mencuci dan menjemur lalu kamar.
Selesai makan langsung ke kamar, selesai beresin rumah kamar lagi, itulah sebabnya kamarku tak pernah sehari pun terlihat rapi.
Entah di mulai sejak kapan, hal sederhana itu menjadi kebiasaan buruk yang sulit diubah, seolah semangat hidupku menguap entah ke mana.
Kepala tak bersandar di bantal sehari saja sudah suatu hal yang patut diapresiasi, karena tiada hari tanpa rebahan.
Ponsel sudah seperti teman hidup, tak ada hari yang dihabiskan tanpa bertatap muka dengan benda pipih beracun itu.
Mengapa? Karena tak ada yang bisa kuajak bicara, tak ada tujuan lain untuk melarikan diri dari rumah dan cuacanya yang tak terprediksi.
Setelah lulus dari SMA, cap pengangguran resmi melekat di punggungku, membebani jiwaku oleh rentetan pertanyaan dari tetangga yang tengah cosplay menjadi seorang wartawan.
Lelah, rasanya ingin berlari menjauh, dari rumah, dari mulut tajam orang-orang yang sok tahu. Mereka pikir aku seorang anak yang tak mau berusaha memudahkan jalan orang tuanya, padahal aku tak lebih dari anak yang dibelenggu kakinya.
Ting!
Ah notifikasi grup aplikasi biru putih, entah siapa lagi yang mengirim pesan, kuharap itu benar-benar penting.
“Hah, tawaran pekerjaan lagi ternyata.”
Memuakkan, meski tak dipungkiri aku senang karena teman-temanku benar-benar peduli, tapi rasanya semua hanya akan jadi tak berguna.
Menerima lowongan pekerjaan tanpa izin mamak adalah sebuah pemberontakan besar, aku lelah berdebat untuk hal yang sama.
Meski begitu aku ingin mencoba sekali lagi, mungkin berdiskusi kembali dengan mamak akan membawaku pada keputusannya yang beda.
Akan tetapi, jemariku tak berhenti gemetar, rasa senang dan sedihnya bercampur lagi, harapan serta ketakutan yang sama terselip di pikiran dan hati.
Derit pintu dibuka, pastinya bapak sudah pulang, tak terdengar suara, hanya langkah kaki di atas lantai kayu yang menciptakan bising.
Seperti biasa, pria tua itu akan selalu menjadi diam jika tengah terlibat huru hara dengan mamak. Kali ini agaknya ego di dirinya membuat ia tak langsung masuk ke dapur, tempat di mana kamar mereka berada.
Jika tebakanku tak meleset mungkin dia akan memutuskan tidur di teras, membiarkan tubuh tuanya dipeluk angin dingin, benar-benar berwatak keras.
Hah, aku mengantuk, tapi isi pesan masuk di ponselku terus terbayang-bayang di pikiran, agaknya malam kali ini akan menjadi mimpi buruk.