Napasku terengah kala bayangan menyeramkan itu kembali melintas di benakku. Sosok hitam yang tak ku ketahui yang selalu menggangguku setiap waktu. Aku mengedarkan paandangan ku, masih terengah dengan dada yang naik turun karena panik. Tak ada siapapun di kantor ini, hanya aku sendiri. Aku memang sering mengambil jam lembur, jika kalian bertanya untuk apa, jawabannya adalah untuk membayar cicilan rumah yang setiap bulan harus ku bayar, belum lagi kebutuhan rumah seperti tagihan listrik, air, dan juga makanan.
Setelah meminum segelas air aku merasa lebih tenang dan mulai melanjutkan pekerjaanku kembali.
Tap...
Tap...
Baru saja aku akan melanjutkan pekerjaanku, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki seperti menuruni tangga. Langkahnya pelan. Tidak. Itu bahkan terdengar sangat pelan. Tubuhku kembali menegang, tangan ku bergetar dan tubuhku mulai menunjukkan reaksi yang aneh. Panic Attack ku kambuh namun aku tidak bisa melakukan apa pun karena aku sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhku. Suara langkah kaki itu terdengar semakin mendekat, keringat mulai bercucuran deras dari kepalaku.
“Kumohon jangan lagi,” gumamku sambil memejamkan mata dan menyatukan kedua tanganku.
Dalam hatiku berdoa supaya kejadian 2 tahun lalu tak terulang kembali, kejadian yang membuatku trauma dan depresi hingga hampir membuat nyawaku melayang.
Aku menuruni tangga rumahku dengan tergesa-gesa. Pagi ini aku harus berangkat ke kantor lebih cepat, namun sialnya aku bangun kesiangan karena mengerjakan pekerjaanku hingga pagi buta. Kulihat didapur ibuku sedang menyiapkan sarapan untuk kami dan ayah yang sedang membaca koran pagi. Aku pun segera menghampiri ibu dan ayahku kemudian berpamitan pada mereka untuk pergi.
“Ibu! Ayah! Aku harus pergi sekarang. Sampai nanti!” ucapku melambaikan tangan sambil menggigit sepotong roti yang baru saja dibuat oleh ibuku.
“Hey! makan yang benar-”
“Sudahlah, sepertinya anak itu terlambat lagi.” ucap kedua orang tua ku sebelum aku benar-benar menutup pintu.
***
Jam menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Aku berlari memasuki kantor kemudian berlari lagi menuju ruang redaksi. Ya, aku bekerja di sebuah kantor berita di kota Jakarta. Tugasku adalah menyusun dan mengedit berita, sedangkan tugas yang lain seperti mengumpulkan berita, mencetak dan menerbitkan berita dilakukan oleh karyawan yang lain.
Saat tiba di depan ruang redaksi aku bergegas membuka pintu, namun sialnya sudah kucoba berkali-kali tetap saja tidak bisa terbuka. Apa mereka menguncinya dari dalam dan membiarkanku tidak bisa masuk karena terlambat? Aku sempat berpikir untuk mendobrak paksa pintu itu. Namun, sebelum hal itu terjadi temanku datang dengan membawa segelas kopi dan dengan santainya dia melewatiku yang sedang frustasi karena pintu ruang redaksi itu tidak mau terbuka.
“Pagi Diva! Kok diem aja di depan? Ayo masuk, pak Heri udah marah-marah tuh di dalem. Pekerjaan kita lebih banyak dari sebelumnya katanya,” ucap temanku yang bernama Ilham sambil menekan jempolnya pada alat scan di samping pintu, tak lama kemudian pintu terbuka dan Ilham pun masuk meninggalkan ku sendiri di luar.
Setelah melihat gerak-gerik Ilham baru saja sontak aku merasa sangat malu, ingin menghilang saja rasanya. Karena terburu-buru aku jadi bertingkah bodoh dan sekarang aku semakin terlambat.
Tak mau ambil pusing, aku langsung masuk ke dalam, tetapi sebelum itu aku menekan jempolku pada alat scan itu, pintu pun terbuka. Aku masuk masih dengan ekspresi malu, aku yakin pasti wajahku terlihat seperti kepiting rebus sekarang. Aku membungkuk dan tersenyum menyapa rekan-rekan kerjaku kemudian duduk di meja kerjaku dan mulai mengerjakan pekerjaanku, untungnya pak Heri tidak memarahiku karena dia sedang sibuk dengan ponselnya.
Pekerjaan ku menumpuk seperti biasanya dan hari-hari ku juga tidak ada yang berubah, setiap hari pasti ada saja pekerjaan yang membuatku harus tinggal di kantor hingga malam hari.
Saat ini hampir semua karyawan sudah pulang, seiring berjalannya waktu kantor pun menjadi sunyi, lampu-lampu yang semula menyinari ruang-ruang kerja satu persatu mulai dimatikan karena ditinggalkan. Temanku Ilham juga baru saja pulang meninggalkan ku sendiri di ruang redaksi ini.
Yah... tapi itu sudah menjadi hal yang biasa bagiku. Berkutat dengan komputer hingga malam hari. Waktu terus berjalan, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Akhirnya setelah berjam-jam berkutat dengan pekerjaan ku yang menumpuk aku bisa pulang ke rumah.
Setelah mematikan komputer aku sedikit merenggangkan tubuhku karena terlalu lama duduk kemudian mulai membersihkan ruangan dan bersiap untuk pulang.
Ketika aku sedang menutup pintu ruang redaksi tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan sebuah suara, seperti suara seseorang yang membanting pintu, sangat kencang hingga membuatku kesal karena kaget.
“Siapa yang membanting pintu malam-malam! Bikin kesal saja!” gumamku.
Saat aku berbalik ingin menuruni tangga, aku kembali teringat bahwa di lantai ini hanya ada aku sendiri. Bagaimana aku bisa tahu karena beberapa menit yang lalu petugas keamanan datang dan memberitahuku bahwa tidak ada orang lain lagi selain diriku di lantai ini, setelah itu dia memperingatkanku bahwa aku harus berhati-hati lalu kemudian dia pergi begitu saja. Aku tidak berpikiran hal yang aneh-aneh karena selama aku bekerja di kantor ini hingga larut malam aku tidak pernah menemukan hal-hal spiritual atau semacamnya.
Aku menghentikan langkahku tepat diujung tangga paling atas setelah teringat bahwa tidak ada siapapun lagi di lantai ini. Karena penasaran aku melihat ke sekitar ku, memang tak ada tanda-tanda bahwa ada orang lain di lantai ini.
Tidak menemukan apa pun akhirnya aku memutuskan untuk pulang, saat aku melangkahkan kaki ku turun di tangga pertama suara itu terdengar lagi. Tetapi kali ini bukan suara membanting pintu, melainkan suara langkah kaki seseorang.
Dari suaranya terdengar agak lambat dan langkah kaki itu seperti mendekatiku. Entah kenapa tubuhku merinding dan bulu kuduk ku berdiri. Aku membeku di tempat dengan keringat dingin yang mulai bercucuran.
Tap ...
Suara langkah kaki itu berhenti, aku merasakan bahwa ada seseorang yang berdiri di belakangku. Aku memejamkan mataku takut, kaki ku rasanya lemas tak bisa di gerakkan, namun aku merasakan aura yang tidak enak. Akhirnya aku pun memutuskan untuk melihat kebelakang ku. Aku memutar kepala ku perlahan mencoba melihat siapa yang ada dibelakangku.
Deg!
Ketika ku lihat tepat di belakangku ada sesosok manusia, tidak, mungkin lebih tepat disebut hantu atau setan. Hantu itu berdiri agak sedikit membungkuk dengan darah yang berlumuran disekujur tubuhnya, rambutnya yang panjang hingga menutupi wajahnya membuatku merasa akan pingsan seketika. Tiba-tiba sosok itu berteriak sangat kencang didepan wajahku sampai membuatku ikut berteriak ketakutan.
Aku berbalik, menuruni tangga yang gelap itu sambil berlari, kakiku lemas dan napasku juga tak teratur tetapi entah kenapa aku masih bisa mengontrol diriku untuk berlari. Aku terus berlari menuruni tangga dari lantai empat sampai lantai satu kantorku tanpa berani melihat ke belakang. Saat sudah sampai di pintu keluar seorang petugas keamanan menghampiriku yang terengah sambil berlari.
“Neng Diva! Ada apa? kok saya tadi dengar ada suara orang teriak,” tanya petugas keamanan itu, Pak Asep atau biasa di panggil mang Asep oleh para karyawan di kantor.
“Hah... hah... i-itu, itu mang-” ucapku terbata-bata, bahkan tubuhku juga ikut gemetaran.
“Ya-ampun neng, ada apa sebenarnya. Coba duduk tenangin diri dulu,” ucap mang Asep dan aku pun menurutinya. Setidaknya aku tidak sendiri lagi. Aku mengatur napasku kemudian lanjut menceritakan kejadian yang baru saja ku alami pada mang Asep.
“Itu mang, tadi... di lantai empat... di tangga samping ruang redaksi, disitu saya liat hantu mang, setan. Depan muka saya mang, ngeri banget. Dia teriak depan muka saya jadinya saya ikut teriak karena kaget plus takut,” jelasku.
Aku melihat ekspresi mang Asep ketika aku menceritakan penampakan hantu itu, namun mang Asep tampak biasa saja, tidak ada ekspresi takut sama sekali.
“Hantu itu rambutnya panjang, agak bungkuk, berlumuran darah, dan satu lagi... mulutnya sobek-”
“IYA! Iya, iya, itu. Kok mang Asep tau, jangan-jangan-”
Mang Asep tersenyum. Aku tahu senyumannya itu menyimpan banyak arti. Antara dia sudah sering di ganggu atau ada karyawan lain yang pernah di ganggu sebelum diriku. Daripada mati penasaran aku pun memutuskan untuk bertanya kepada mang Asep, dia pasti tahu suatu hal tentang hantu itu.
“Mang Asep tau asal-usul hantu itu? Atau mang Asep pernah di ganggu juga?” tanyaku hati-hati.
“Sebenarnya dulu ada satu karyawan juga yang pernah ngalamin kejadian kayak neng Diva sekarang. Sama persis, kalau mang Asep nggak salah dia juga kerja di bagian redaksi sama kayak neng Diva,” jelas mang Asep.
“Terus sekarang orangnya kemana mang?”
“Itu kejadian udah lama banget neng, sekarang orangnya udah gaada. Dia bunuh diri dari lantai enam gedung ini, kata orang-orang sih depresi karena sering diganggu sama hantu yang neng ceritain barusan.”
Deg!
Mendengar hal itu membuat jantung ku berdetak dua kali lebih cepat. Pikiran ku mulai tak terkontrol, bagaimana jika aku juga mengalami hal yang sama dengan orang itu, bagaimana jika aku juga akan diganggu?
“Sebaiknya neng Diva lebih hati-hati lagi, kalau kemana-mana jangan sendiri, kalau mau lembur juga minta temen neng buat tungguin. Takutnya hantu itu lagi cari mangsa, amang takut neng bakal kayak karyawan yang dulu diganggu juga,” ucap mang Asep, aku tahu dari raut wajahnya, dia sangat khawatir terjadi sesuatu padaku.
“Iya mang, yaudah saya pulang dulu ya mang, udah kemaleman ini. Makasih ya mang Asep,” ucapku yang diangguki oleh mang Asep.
***
Setelah kejadian hari itu hantu yang aku temui tak pernah menunjukkan wujudnya lagi. Entah kenapa aku merasa lega sekaligus tak tenang. Lega karena hantu itu tak menggangguku dan tak tenang karena bisa saja yang di katakan mang Asep akan terjadi.
Benar saja dugaan ku, malam ini aku merasa hawa di rumahku agak berbeda membuatku merinding, padahal ini rumahku sendiri dan sebelumnya tidak seperti ini, apa hantu itu mengikutiku?
“Haha tidak mungkin,” gumamku. Aku mencoba menepis segala pikiran negatif dan bersikap biasa saja seolah tak pernah terjadi sesuatu.
PRANG!!
Ketika aku sedang bersiap untuk tidur tiba-tiba saja ada suara benda jatuh dari arah dapur, aku terperanjat kemudian segera turun ke dapur untuk mengecek apakah ada tikus yang sedang mencuri makanan.
Saat sampai di dapur aku tidak menemukan apapun, tidak ada jejak tikus atau pun manusia... tunggu, aku baru ingat kalau hari ini aku hanya sendirian di rumah, kedua orang tua ku siang tadi pergi ke rumah nenekku dan tidak akan pulang ke rumah selama beberapa hari kedepan. Itu artinya selama beberapa hari kedepan juga aku akan tinggal di rumah ini sendiri.
Semua bagian dapur sudah ku periksa, tidak ada makanan yang hilang, masih sama seperti terakhir ku tinggalkan. Hanya ada satu itu kejanggalan, bagaimana bisa mangkok alumunium itu terjatuh dari lemari dan siapa yang membuka lemari itu?
Mulai merasakan hawa yang aneh aku pun bergegas kembali ke kamarku, takut-takut hantu itu akan menampakkan wujudnya lagi. Aku berlari menuju kamarku tetapi sudah terlambat, dia sudah menungguku di tangga, hantu yang menampakkan wajudnya kala itu.
Hantu itu berdiri di tangga dengan gestur yang sama, tetapi kali ini aku maerasa lebih takut dari kemarin. Kenapa hantu itu menjadi lebih seram dari sebelumnya? Aku berdiri mematung melihat hantu itu yang perlaham menghampiriku dengan senyum seramnya.
Mulutnya yang sobek membuat ku sangat ketakutan hingga tanpa sadar aku pun pingsan seketika.
Aku terbangun dipagi hari ditempat semalam aku melihat hantu itu. Aku merasa tubuhku remuk, tubuhku juga sangat lelah. Karena terkejut dengan kejadian semalam sepertinya tubuhku sedikit demam.
Hari ini aku akan meminta libur kepada pak Heri karena kondisiku yang tidak memungkinkan untuk bekerja.
Aku juga menghubungi semua temanku untuk menyuruh mereka semua menginap dirumahku. Setidaknya aku tidak akan sendiri jika ada mereka. Tetapi hal itu tidak semulus dugaanku, mereka semua sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing hingga menolak ajakan ku untuk menginap. Entah alasan rumah ku jauh dari kantornya, tidak diberi izin oleh orang tua, dan lain sebagainya. Aku pun hanya bisa menghela napas pasrah, biarlah. Sepertinya setelah ini aku akan mati.
Takut hal itu terjadi lagi aku memutuskan untuk memindahkan kamarku ke lantai bawah dekat dengan kamar kedua orang tua ku. Hanya beberapa barang yang ku butuhkan saja yang ku bawa, baru setelah aku kembali sehat aku akan memindahkan semua barangku ke kamar baruku.
Setelah selesai memakan bubur dan meminum obat aku pergi ke dapur untuk menaruh gelas dan piring sekalian menganbil air. Saat akan kembali ke kamarku, aku mendengar suara seseorang membanting pintu kamar mandi setelah itu disusul suara gemercik air dari dalam kmar mandi lantai dua rumahku.
Karena penasaran aku pun ke atas untuk mengecek sekalian mematikan air yang tiba-tiba menyala itu. Saat sampai di atas suara air itu tiba-tiba saja berhenti. Perasaan ku sudah tidak karuan, aku kembali berpikir, pasti hantu itu lagi yang menggangguku.
“Oh ayolah, jangan menggangguku setiap hari,” ucapku.
Di sudut ruangan aku melihat bayangan hitam namun tak berwujud. Aku cepat-cepat melihat jam, ternyata jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam yang artinya banyak makhluk halus yang seharusnya sedang berkeliaran di jam-jam sekarang. Tanpa berpikir panjang aku pun langsung berlari menuruni tangga. Namun, lagi-lagi hantu itu muncul di perpotongan tangga membuat langkahku terhenti begitu saja.
Hantu itu menolehkan kepala nya secara tiba-tiba kearahku, matanya melotot dengan senyum menyeramkannya dan tertawa kencang membuatku langsung menutup telinga dan tanpa berpikir panjang aku langsung berlari melewati hantu itu yang masih tertawa, bahkan ketika aku sampai di dalam kamarku suara itu masih terdengar nyaring ditelingaku.
Cepat-cepat aku mengunci pintu lalu bersembunyi di balik selimut dan menutup kedua kelingaku menggunakan bantal.
“Hentikan! Berhenti! Ibu! Ayah!”
Setelah kejadian malam itu gangguan-gangguan kecil terus menggangguku selama beberapa hari membuatku terbisa dan juga lelah, hingga sampai pada puncaknya yaitu malam dimana aku pulang dari pesta perayaan ulang tahun temanku, Ilham.
“Terima kasih sudah menyempatkan datang, Diva,” ucap Ilham.
“Iyaa sama-sama, sekali lagi selamat ulang tahun ya. Kalo gitu aku pulang dulu.”
“Mau ku antar?”
“Ngga perlu, aku bisa sendiri, udah ya, bye.”
Aku sampai di rumah pukul sepuluh lebih tiga puluh menit, begitu sampai aku langsung membersihkan diriku kemudian bersiap untuk tidur. Tak butuh waktu lama aku langsung terlelap dalam mimpi.
***
Aku terbangun di sebuah kasur di ruangan yang terasa asing bagiku dan anehnya aku hanya bisa membuka mata dan tidak bisa menggerakkan tubuhku. Aku melihat ke sekeliling ruangan dan melihat jam menunjukkan pukul tiga dini hari.
Diruangan itu samar-samar aku melihat foto seorang perempuan dengan memakai pakaian sekolah, sangat cantik.
“Jadilah temanku.”
Tiba-tiba saja aku mendengar suara perempuan berbisik tetapi aku sama sekali tidak melihat wujudnya, aku mencoba mencarinya, menoleh ke kanan dan ke kiri tetapi tetap saja tidak menemukanya. Tiba-tiba setetes darah jatuh di bajuku, aku melihat ke atas. Ternyata sosok itu menempel di langit-langit ruangan kemudian merayap ke sana kemari di dinding sambil berkata.
“Ayo bermain, ayo bermain Diva, ayo bermainn!!!!”
Aku memejamkan mataku takut kala hantu itu berteriak kencang. Tidak mendengar suara apa pun aku pun membuka mataku dan hantu itu sudah menghilang entah kemana. Aku memejamkan mataku kembali karena lelah. Beberapa jam setelahnya aku pun kembali membuka mataku karena suara alarm yang memaksaku untuk bangun dan membuka mata. Kubuka mataku dan kulihat jam menunjukkan pukul lima pagi. Ketika aku akan bangun dari tidurku anehnya aku tidak dapat menggerakkan tubuhku sama sekali, sangat berat seperti tertindih gajah.
Tidak ingin menyerah aku pun terus mencoba berusaha untuk memiringkan tubuhku walau tubuhku sudah lelah dan penuh keringat.
“Astaga perasaan aneh apa ini,” batinku.
Setelah memaksa tubuhku untuk bergerak akhirnya aku bisa memiringkan tubuhku, namun... tiba-tiba aku terbangun, kulihat sekelilingku, jam menunjukkan pukul tujuh pagi, aku langsung bangun dari posisi tidurku dengan napas yang tak beraturan dan tubuh yang penuh keringat. Apa yang terjadi? Bukankan baru saja aku berhasil memiringkan tubuhku dengan susah payah? Apa itu, apakah kejadian tadi hanya mimpi? Tapi aku merasa itu sangat nyata.
Masih dengan napas yang tak beraturan dan tubuh yang limbung aku berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Setelah meminum segelas air masih saja perasaanku tak tenang seperti ada yang aneh. Saat ini aku seperti orang linglung. Tanpa sadar kaki ku membawaku ke lantai paling atas rumahku, tempat biasanya aku menjemur baju.
Tiba-tiba aku sudah berada di pinggiran tembok pembatas lantai atas itu, aku naik ke atasnya karena penghalang itu pendek aku jadi bisa menaikinya. Kejadiannya begitu cepat, aku tersadar seperdetik sebelum aku terjatuh dari sana. Semuanya terlambat, aku sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada tubuhku saat itu.
Setelah itu aku pun tidak mengingat apa pun lagi, darah mengalir di sekitarku dan pandanganku pun mulai menggelap. Aku membuka mataku, hal pertama yang ku lihat adalah aku berada di ruangan bernuansa putih, di dekat pintu ku lihat kedua orang tuaku sedang berbincang dengan dokter. Aku bernapas lega, ternyata aku masih diberikan kehidupan oleh tuhan.
Dan ternyata aku mendengar fakta yang sangat mengejutkan dari kedua orang tuaku setelah aku sembuh. Hantu yang selama ini menampakkan dirinya sebenarnya adalah seorang gadis yang meninggal karena bunuh diri dengan mencabik-cabik dirinya sendiri sebab ia depresi karena tidak mempunyai teman hingga menjadi korban bully di sekolahnya. Aku tidak menyangka ternyata rumah yang ku tinggali menyimpan sejarah kelam seperti itu.
Hah...
Hah...
Napasku terus terengah ketika mengingat kejadian itu. Kepalaku rasanya sangat pusing, aku tidak peduli lagi dengan suara apa pun itu, aku menyerah.
Tep!
“Neng?”
“Neng Diva!?"
“Neng!!”
Aku menoleh ke samping, ternyata itu mang Asep. Aku tidak menyadarinya karena aku terlalu berpikir yang aneh-aneh.
Ternyata aku masih merasa trauma.
“Eh, neng Diva kenapa? Ada masalah neng? Muka neng Diva pucet banget kayak ketakutan gitu,” ucap mang Asep.
“Iya mang, tiba-tiba keinget kejadian dulu, kayaknya trauma saya kambuh,” ucapku. “oh iya, suara itu-”
Aku dan mang Asep sama-sama terdiam mencoba fokus mendengarkan suara yang sedaritadi membuatku takut.
Tak!
Tak!
Aku baru ingat bahwa aku sedang mencetak dokumen di mesin print. Aku pun segera mengeceknya dan ternyata suara yang sedaritadi membuatku merasa takut dan merinding adalah suara mesin cetak yang rusak. Kurasa ada yang patah didalamnya sehingga bersuara seperti itu dan juga suara langkah kaki mang Asep yang kukira hantu itu lagi. Aku bernapas lega, sepertinya tidak ada yang perlu ku khawatirkan lagi sekarang.
Setelah merapikan dokumen dan membersihkan ruangan aku pun pulang ke rumah. Semenjak hari itu hidupku pun damai dan tentram walaupun masih ada sedikit trauma yang tersisa dalam diriku, hal itu tidak menjadi masalah bagiku.
SELESAI