Introduction: ”Ini adalah kisah masa muda sederhanaku saat SMP—cinta pertama, sekaligus cinta terakhir.” Semua nama dan lokasi dalam cerita telah di ubah dan di samarkan.cerita ini berbeda dengan cerpen iu yang lainya.
Aku bersekolah di Sulawesi Selatan, tepatnya di Barru, di sebuah sekolah bernama SMP Negeri 5 Barru. Aku memilih sekolah itu bukan karena lokasinya yang strategis atau fasilitasnya yang lengkap, tapi karena ibuku bekerja di sana sebagai guru.
Masa SMP-ku pada dasarnya tidak jauh berbeda dari kebanyakan orang: bangun pagi, sarapan cepat, lalu berangkat ke sekolah dengan ransel berat di punggung. Tapi semua berubah ketika aku bertemu dia...
(Aku akan samarkan namanya karena malu. Jadi, untuk sekarang, aku hanya akan menyebutnya “dia”.)
Di sekolah kami, ada peraturan unik: satu kelas harus seragam jenis kelamin. Kelas 7.1 hingga 7.4 adalah kelas khusus perempuan, sedangkan kelas 7.5 sampai 7.8 adalah kelas laki-laki. Aku berada di kelas 7.5, dikelilingi oleh teman-teman cowok yang ribut dan usil. Meskipun kelas kami tidak bercampur dengan cewek, kelas kami bersebelahan langsung dengan kelas 7.4—kelas tempat dia berada.
Aku pertama kali mendengar tentang dia dari seorang temanku, mantan satu SD dengan dia. Awalnya sih biasa aja, sampai suatu hari, pagi-pagi sekali, dia datang membersihkan kelas karena jadwal piketnya tiba. Saat itu, aku baru saja selesai olahraga ringan di halaman, dan entah kenapa kakiku menginjak lantai kelas mereka yang masih basah karena baru dipel.
DIA MARAH.
Dia langsung mengomel panjang lebar, tanpa ampun. Menurutku, dia itu... *cerewet banget.
Sejak saat itu, setiap kali kami bertemu, pasti selalu ada alasan untuk saling ejek. Di koridor, di halaman sekolah, bahkan saat di kantin sekolah sekalipun. Kami seperti dua kutub magnet yang saling tolak-menolak.
Kami punya julukan khusus satu sama lain. Aku menyebutnya ”Ular”—karena setiap kali mulai berbicara, dia tak pernah berhenti, seperti bisikan ular yang tak kunjung reda. Sedangkan dia menyebutku ”Nurul”—katanya, nama itu terlalu lembut untuk laki-laki, jadi dia senang sekali menggunakannya.
Lambat laun, aku mulai menyadari sesuatu. Ejekan-ejekan kecil itu, pertengkaran sehari-hari, semuanya terasa... beda. Aku tidak tahu kapan atau bagaimana perasaan itu mulai tumbuh, tapi aku mulai menyadari bahwa “Ular” bukan lagi sekadar musuh atau lawan debat. Ada sesuatu yang istimewa darinya—dari caranya tertawa meski kita baru saja berantem, dari caranya melihat dunia dengan pandangan tajam dan lugas.
Dan entah kenapa, setiap hari rasanya tidak lengkap jika belum bertemu dengannya... meskipun hanya untuk saling melempar kata-kata ejekan.
Perasaan itu tumbuh pelan tapi pasti, sampai-sampai aku berguling-guling di atas kasur seperti orang kebingungan. Aku tidak percaya bisa merasakan hal seperti ini—mirip banget dengan drama-drama cinta yang sering aku tonton di TV. Cinta jadi benci? Bisa juga sebaliknya: benci yang berubah jadi cinta?
Titik balik pertama dalam hubunganku dengan “Ular” terjadi saat ada perombakan kelas tengah semester. Sekolah kami punya sistem kelas unggulan untuk siswa yang nilainya tinggi. Untuk perempuan, kelas unggulan ada di 7.1, sedangkan untuk laki-laki, di 7.5. Dan aku berhasil masuk ke kelas itu. Aku tetap di 7.5, kelas yang sama sejak awal.
Dan ternyata, “Ular” juga masih bertahan di kelas 7.4—kami tetap bersebelahan. Aku tidak tahu apakah dia kurang pintar atau mungkin sekadar belum mencoba maksimal, tapi satu hal yang pasti: aku senang. Sangat senang. Karena itu berarti kami masih bisa saling ejek setiap hari... atau minimal saling lewat di koridor tanpa sadar.
Tapi titik balik kedua... itulah yang benar-benar mengguncang duniamu.
Hari itu pagi-pagi sekali, suasana masih sepi karena jam sekolah belum dimulai. Seperti biasa, aku datang lebih awal karena ibuku bekerja di sini. Tiba-tiba, saat aku ingin masuk kelas, aku melihatnya berdiri di depan pintu kelas 7.5. Dia tidak seperti biasanya. Tidak menyambutku dengan ejekan atau suara cerewetnya. Malah, dia diam saja, kepala tertunduk, dan tangannya memegang sesuatu.
Aku pura-pura acuh, seperti biasa. Tapi tepat saat aku akan melewatinya, dia tiba-tiba bersuara. Suaranya pelan, lembut, beda sekali dari biasanya. Bahkan... dia tidak menyebutku ”Nurul” lagi.
“Iman,” katanya pelan.
Aku terkejut. Sampai hampir melompat. Nama lengkapku adalah Nurul Iman Muhammad—iya, nama yang mirip dengan nama masjid. Artinya “cahaya kepercayaan Nabi Muhammad.” Dan aku bangga dengannya.
Tanpa menunggu jawabanku, dia menyerahkan sebuah surat dan langsung berlari kembali ke kelasnya, seolah takut aku akan membacanya di depan matanya.
Aku menatap surat itu dengan pikiran kosong. Rasanya seperti mimpi. Atau mungkin mimpi buruk? Aku tidak tahu mana yang lebih menakutkan.
Kelas masih kosong karena masih sangat pagi. Aku duduk di kursi paling depan, tempat biasa—kursi terdepan di dekat papan tulis. Tempat itu adalah posisi wajib karena aku pendek, dan itu aturan wali kelas. Lagipula, aku senang bisa duduk di situ. Lebih mudah melihat, dan... kadang lebih mudah melihat siapa yang lewat di depan kelas.
Dengan jantung yang mulai berdebar, aku membuka surat itu.
Isinya singkat. Terlihat jelas ditulis dengan terburu-buru, tapi usaha untuk membuatnya rapi masih terasa. Tulisan tangan itu... ya Tuhan, kayak coretan kucing garong. Tapi isinya bikin aku makin bingung:
“Siapa yang kamu lihat setiap kali aku lewat depan kelasmu? Aku atau temanku yang minum Okky Jelly Drink?”
Di bawahnya, dia menandatangani surat itu dengan: semisal namanya wulan, atau Sindi
“Dari Wulcan atau Wulan Cantik” “dari Sincan atau Sindi Cantik”
Dan gambar love besar di sampingnya.
Aku terdiam.
Jujur saja, setiap kali dia lewat, hanya dia yang kulihat. Tidak peduli siapa temannya, cantik atau tidak, imut atau tidak—matiku hanya mengikutinya. Hanya dia.
Tapi satu hal yang menggangguku sekarang... apakah dia juga merasakan hal yang sama denganku?
Pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepala. Aku langsung menutup surat itu, seakan-akan dengan menutupnya, aku bisa menghindar dari jawaban yang sebenarnya ingin sekali kutahu.
Sayangnya, aku tahu satu hal tentang diriku: aku pengecut. Sampai hari ini. Dan sepertinya, sampai kapan pun.
Aku masih ingat betul perasaanku saat itu. Perasaan yang seharusnya membahagiakan—jantung berdebar, wajah memanas, pikiran melayang-layang seperti baru pertama kali merasakan sesuatu yang begitu manis—tapi malah berakhir dalam penyesalan yang mendalam.
Aku menyimpan surat itu di laci meja kelasku. Tidak kubuang, tidak kusobek, hanya kutaruh begitu saja, seperti sebuah rahasia yang belum siap untuk diceritakan. Tapi ternyata, menyimpannya begitu saja adalah kesalahan terbesar dalam hidupku.
Waktu terus berjalan. Teman-teman satu kelas mulai datang. Suara riuh anak-anak SMP yang ribut mulai terdengar. Dan tak lama kemudian, teman sebangkuku datang juga.
Sejujurnya, aku tidak ingin terlalu banyak bercerita tentang orang lain selain aku dan “Ular” di sini. Tapi sayangnya, ada satu tokoh yang harus ikut masuk ke dalam cerita ini. Bukan karena dia penting. Tapi karena dialah yang membawa petaka kecil dalam hidupku. (Maaf, agak lebay. Tapi inilah cara otakku bertahan hidup.)
Namanya? Yusran.
Hanya Yusran. Tanpa embel-embel “ganteng” atau “pintar”. Hanya Yusran. Nama yang menurutku... sangat kampungan.
(Yusran bukan murid asli kelas 7.5. Dia pindah dari kelas lain karena termasuk lima besar peringkat terpintar. Jadi, ya, sekolah kita itu sistemnya kayak gitu.)
Mengapa aku menyebutnya setengah iblis?
Karena saat jam istirahat, tanpa sepengetahuanku, dia mengambil surat itu. Aku sedang pergi beli makanan, sambil sekalian melirik ke kelas sebelah—mencari-cari apakah “Ular” sudah datang atau belum.
Saat aku kembali ke kelas, niatku adalah menulis jawaban untuk surat itu. Aku sudah mengumpulkan keberanian. Aku sudah menyiapkan pena. Bahkan kalimat pertamanya sudah kupikirkan.
Tapi...
Surat itu hilang.
Aku panik. Jelas-jelas tadi masih ada di laci mejaku. Aku mencari ke sana ke mari, bahkan sampai membongkar tas, tapi nihil. Akhirnya, aku hanya bisa duduk dengan pikiran kosong, seperti batu yang dilempar ke jurang.
Dan tepat saat itulah, setengah iblis itu masuk ke kelas.
Dia bersenandung riang. Senyum-senyum sendiri. Matanya menatapku seperti tahu sesuatu yang tidak aku ketahui. Aku langsung punya firasat buruk.
Besok harinya, “Ular” terlihat berbeda. Dia tidak cerewet seperti biasa. Tidak ada ejekan pagi hari. Tidak ada cekcok di koridor. Dia hanya diam, murung, seperti ada beban berat di hatinya.
Aku bingung. Apa yang salah?
Di rumah, pikiranku terus mengganggu. Aku yakin, pasti Yusran yang ambil surat itu. Jadi keesokan harinya, begitu dia datang, aku langsung menginterogasi.
Dan benar saja.
Yusran mengakui semuanya. Tidak hanya dia mengambil surat itu, dia bahkan menulis sesuatu di dalamnya. Julukan setengah iblis benar-benar cocok untuknya.
Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata dia kenal dengan “Ular”. Bukan teman dekat, tapi cukup akrab untuk tahu siapa yang menulis surat itu.
Dan apa yang dia tulis?
“Temanmu yang minum Okky Jelly Drink.”
Boooom.
Otakku langsung blank. Seperti laptop yang tiba-tiba mati karena kehabisan baterai.
Aku tidak habis pikir. Kenapa dia menulis itu? Apa maksudnya?
Mungkin Yusran mengira orang yang kusuka adalah temannya “Ular”? Mungkin menurutnya, teman “Ular” lebih cantik? Atau mungkin dia hanya iseng, merasa lucu melihat orang lain bingung?
Aku bertanya padanya, dan dia hanya menjawab:
“demi kebahagiaan kamu”
(Dasar bodoh, apa yang kamu tahu)
Dengan pikiran membatu, aku hanya bisa menatapnya. Ingin marah, ingin menangis, ingin tertawa—semua bercampur jadi satu.
Dan yang paling menyakitkan?
Aku bahkan tidak bisa menjelaskan semuanya kepada “Ular”.
...
Catatan tiba-tiba di tenga cerita: Jangan pernah menyesal sepertiku aku menamainya “Kiamat Bernama Rasa Malu”
...
Sial.
Gabungan sifat pengecut dan kurang percaya diri ternyata bisa menjadi bom waktu yang meledak-ledak kapan saja. Dan saat itu, ledakan itu benar-benar terjadi. Aku hanya tersenyum datar, mencoba bersikap acuh tak acuh, seolah-olah tidak ada yang salah—seolah-olah aku adalah manusia paling keren di dunia.
Padahal dalam hati, aku ingin menangis.
Yusran semakin yakin bahwa aku suka pada temannya “Ular”—yang katanya minum Okky Jelly Drink setiap pagi. Bahkan “Ular” sendiri mulai berpikir begitu. Hal itu terlihat dari sikapnya yang mulai berubah. Dia jarang membalas ejekanku, bahkan tidak lagi mengajakku bicara seperti biasa.
Tapi satu hal yang membuatku semakin gelisah: dia mulai menggunakan *make-up*.
Itu sangat jelas. Pipinya lebih putih karena bedak, bibirnya lebih merah karena lipstik. Dan itu... membuatku risih. Entah kenapa. Bagiku, “Ular” yang asli, yang natural, itulah yang istimewa. Wajah tanpa polesan, senyum spontan, dan suara cerewet yang menusuk telinga—itu semua adalah bagian darinya yang aku sukai.
Kalau kamu ingin tahu gimana rasanya melihat orang yang kamu suka berubah jadi sesuatu yang bukan dirinya, dengarkanlah lagu *Little Things* dari One Direction. Itu persis seperti apa yang kurasakan saat itu.
Beberapa hari kemudian, “Ular” mulai menyapaku lagi. Tapi seperti biasa, rasa malu dan pengecutku langsung kambuh. Saat matanya menatapku, otakku langsung blank. Aku pura-pura tidak melihat. Di depan kelas, di kantin, bahkan di koridor—di mana pun dia menyapaku, aku selalu berpaling.
Aku tahu, mungkin tindakanku itu yang membuatnya semakin yakin kalau bukan dirinya yang aku suka—tapi temannya yang sering minum Okky Jelly Drink.
Hari-hari terus berlalu. Perlahan, kehidupan SMP-ku kembali seperti biasa. Tapi perasaanku tidak.
Kalian mungkin mengira perasaan itu mulai memudar. Mungkin kalian pikir ini Cuma cinta monyet—cinta masa remaja yang cepat hilang. Tapi bukan begitu denganku.
Rasa itu bukan memudar. Justru...
Cinta itu bertambah.
Bertambah besar. Bertambah dalam. Sampai-sampai aku sendiri tidak mengerti bagaimana caranya mengungkapkannya.
Mungkin aku memang orang yang seperti ini—orang yang terlalu pemalu untuk jujur, terlalu pengecut untuk mengambil langkah pertama.
Titik Balik Baru
Saat kelas naik ke 8.5 (ya, aku masih bertahan di kelas unggulan laki-laki), hari itu terasa damai. Awan jarang menggantung di langit biru, matahari bersinar hangat tapi tidak menyengat. Suasana sekolah juga tenang. Seperti hari biasa.
Tapi tiba-tiba, sebuah kegaduhan terjadi. Tepat menjelang akhir jam pelajaran. Semua orang mulai berlarian ke arah kelas sebelah—kelas 8.4. Kelas tempat “Ular” berada.
Sebagian besar teman sekelasku langsung penasaran. Biasanya, kalau ada keributan begini, pasti gara-gara ada perkelahian atau sesuatu yang heboh.
Tapi aku? Aku tetap duduk di tempatku, fokus mengerjakan tugas. Padahal itu hanyalah cara bodoh untuk bersikap keren dan pendiam—dua sifat yang aku benci dalam diriku sendiri.
Dan tepat saat itu, si setengah iblis Yusran masuk ke kelas dengan wajah berbinar.
“Eh, bro. Ada yang ditembak di kelas sebelah!”
Aku mendongak. Jantungku berdebar.
Ditembak?
Siapa?
Dan... apakah itu berarti...
“Ular” ada di sana.
...
Catatan di tengah cerita: judul dari cerita setelahnya adalah: Aku Tetap Sama
...
(Nah, “ditembak” di sini maksudnya bukan ditembak peluru atau semacamnya—tapi pengakuan perasaan. Di Tiongkok, kata ini sering diartikan seperti *pengakuan dosa*, yang menurutku cukup menarik. Seperti mengakui kesalahan... karena mencintai seseorang.)
Mendengar kata-kata Yusran, aku langsung tertarik. Aku berdiri, meskipun tujuanku bukan untuk melihat adegan romantis atau konfesi cinta. Tujuanku Cuma satu:
Melihat “Ular”.
Setiap ada kesempatan, aku pasti akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Ini adalah salah satu sifat plin-plan yang aneh dari diriku: kalau sudah ada keributan atau kejadian besar, tiba-tiba aku jadi berani. Padahal biasanya pemalu dan pengecut. Tapi ya... berani dari jauh sih hehe.
Aku menuju kelas 8.4, ikut berkerumun bersama teman-teman lain. Bukan hanya dari kelasku, bahkan dari kelas lain juga berkumpul. Apakah sebegitu menariknya?
Aku mencoba mengintip dari balik kerumunan. Sulit, tapi ternyata tidak sesulit yang kubayangkan.
Dan saat aku melihat...
Dunia terasa melambat.
(Bercanda, ini bukan film. Dunia nyata tidak pernah melambat. Tapi bagi otakku saat itu, rasanya seperti begitu.)
Aku membeku. Pikiran kosong.
(Sudah berapa kali aku tulis “pikiran kosong”? Entahlah. Mungkin tiga atau empat kali. Tapi percayalah, di saat seperti ini, otak benar-benar mati total.)
Di sana, tepat di tengah kerumunan...
“Itu dia.”
“Ular.”
Dia cantik. Sangat cantik. Bahkan lebih cantik dari biasanya. Tapi...
Tapi dia sedang berdiri bersama seseorang.
Seorang laki-laki. Senior, mungkin? Wajahnya asing bagiku. Aku hampir tahu semua cowok seangkatan, tapi orang ini benar-benar tidak kukenal.
Dan dia memegang buket bunga.
Lalu...
Ia berlutut.
Aku tidak sempat mendengar ucapannya. Karena saat itulah aku mulai berlari. Secepat kilat. Seperti Nabi Musa yang membelah lautan, aku menerobos kerumunan manusia dengan tenaga tak terduga. Sampai-sampai aku sudah duduk di kursiku sendiri, menatap papan tulis tanpa melihat apa pun.
(Tidak ada air mata. Aku yakin mereka ingin keluar, tapi entah kenapa tidak ada. Mungkin karena dulu ibuku pernah memukul sandal waktu kecil, jadi air mataku ketakutan keluar.)
Aku tidak peduli lagi apa yang terjadi setelahnya. Aku tidak mau tahu. Setiap kali Yusran mencoba menceritakan detailnya, aku langsung pergi atau pura-pura sibuk dengan hal lain.
Bahkan sampai aku lulus SMP.
Aku tetap bertahan di kelas unggulan, 9.5. Begitu juga Yusran—masih menjadi teman sebangku yang menyebalkan. Dan begitu juga “Ular”—masih di kelas yang sama. Bodohnya, aku masih saja berharap dan berpikir bahwa semua ini adalah takdir.
Sayangnya, takdir tidak selalu baik.
Masa SMA dimulai. Aku berpindah sekolah. Akhirnya, kelas campuran antara cowok dan cewok. Aku pikir, inilah saatnya aku melupakan “Ular”. Pasti akan ada banyak cewek baru, mungkin salah satunya bisa menggantikan tempatnya.
Tapi ternyata...
Salah.
Aku tetap sama. Tidak pernah ada cewek lain yang bisa menggantikannya. Hanya dia.
Aku masih berguling-guling di kasur, memikirkannya. Masih gila. Masih pengecut. Masih merindukan.
Rasa itu tidak pernah hilang. Justru semakin kuat, seperti yang pernah kutulis sebelumnya.
Sampai hari ini.
Aku sudah kuliah. Bahkan sampai S2.
(Kalau kalian percaya.)
Dan aku masih sama.
Still same.
Aku berpikir, mungkin aku memang akan tetap seperti ini sampai akhir hayat. Sampai kita bertemu lagi... jika memang masih ada kesempatan.
...
Catatan: kalau ada yang kurang paham: kelas tempat ku belajar tetap sama tempat nya hanya ganti nama
Catatan: sebenarnya yang pengakuan dosa itu bukan senior di sekolah aku itu adalah anak SMA yang datang untuk pengakuan dosa, lihat seberapa cantiknya ular sampai seseorang datang untuknya, hal ini aku tahu dari Yusran, walaupun aku bilang tidak mendengarkannya saat cerita aku pasti tetap penasaran tentang dia.... “ularku yang tak pernah aku miliki.
Catatan: sebagai penulis saya harap kalian
1. Tertawa di beberapa bagian
2. Merasa gugup saat menerima surat
3. Merasa kesal sama Yusran
4. Ikut sedih saat “ular” di tembak
5. Dan semoga kalian... ikut merindukan dia, padahal kalian bahkan tidak kenal siapa dia.
...
KISAH NYATA