Seperti biasa, di waktu yang sama, dan di tempat yang sama, mereka menjadikan diriku sebagai bahan lelucon, ejekan, menjadikan ku sebagai budak, mereka bahkan menjadikan diriku sebagai bahan pelampiasan emosi mereka.
"Woy! tolol, bangun! rapihin baju lo, jangan sampai guru ngelihat lo dalam keadaan kek gitu," Ujar seorang lelaki remaja yang bernama Dean.
"Awas aja kalo lo sampe berani lapor guru, abis lo!" Ancam temannya yang bernama Vian.
"Udah puas kalian!? ayo ke kantin, laper gua," Ucap Fasya, ketua dari sekelompok anak-anak nakal yang sudah terkenal akan kenakalan nya di sekolah maupun luar sekolah.
Sementara mereka mulai menjauh, menghilang dari pandanganku, perlahan air mataku mulai menetes mengingat apa yang telah mereka perbuat padaku.
Namaku Rasya, seorang remaja yang lahir tanpa mengetahui siapa ibunya, bahkan saudaranya. Dirinya tinggal bersama ayahnya, namun bagi Rasya dia bukanlah ayah melainkan sesosok berandalan yang tanpa sengaja tinggal serumah bersamanya.
***
Suasana hening di dalam kamar mandi, Rasya menatap dirinya dengan penuh kesedihan. Dalam sebuah cermin dengan keadaan pakaian yang kotor dan berantakan.
"Sya, mau sampai kapan lo kayak gini?" Tanya Rasya yang mulai bicara pada dirinya sendiri.
"Lo gak bosen jadi bahan bullyan mereka!?" Lanjut Rasya, perlahan air matanya menitik kembali berlinang, teringat dengan semua yang telah ia alami.
"Lo harus berubah Sya! lo gak boleh jadi pengecut kayak gini!" Sorak Rasya pelan, dengan air mata yang mulai menetes deras membasahi pipinya.
Ditengah keheningan itu, tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar kamar mandinya. Sontak Rasya langsung mencuci wajahnya dan mengusapnya dalam sebuah kain. Sesaat setelah pintu terbuka, senyuman sinis terlihat jelas di mata Rasya.
"Lo ngapain lama-lama di kamar mandi!?" Ucap Fasya santai sembari tersenyum sinis.
Fasya menarik baju Rasya, lalu mendorongnya keluar dengan kasar sembari berkata, "minggir lo!"
Rasya tersungkur ke lantai, menatap Fasya yang telah berada di dalam kamar mandi. Mengepalkan tangannya, Menggertakkan giginya, menahan emosi yang semakin memuncak. Ingin sekali menghajar orang itu, tapi dirinya sadar, dia tidak berdaya jika melawannya.
***
Dalam kelas Rasya diam, termenung, melamun. Guru yang melihatnya, spontan melempar sebuah penghapus tepat di wajah Rasya, karena geram.
"Rasya! Jangan malah diam dan melamun, fokus!" Tegur sang guru di selangi suara tawaan para murid lainnya di dalam kelas.
Rasya kaget, bertingkah tak karuan sembari menahan malu. Dirinya hanya bisa berkata, "iya," pada guru yang sedang mengajarnya.
"Minggu depan ada ujian, kalian semua harus belajar lebih giat lagi! Ujian kali ini menentukan naik atau tidaknya kalian di kelas," Ujar sang guru sembari pergi meninggalkan kelas.
"Ujian ya..." Ucapku terhenti.
Beberapa jam kemudian, bel pulang pun berbunyi, Rasya pun bergegas pulang kerumah untuk mempersiapkan ujian nantinya. Namun, lagi-lagi Fasya, Dean, dan Vian mendekati Rasya sebelum pulang.
"Mau kemana? Buru-buru amat," Tanya Dean sembari tersenyum sinis.
"Bukan urusan kalian," Jawabku mencoba untuk tetap tenang.
Seketika mereka tertawa mendengarnya, kecuali Fasya ia hanya tersenyum melihatnya. Lalu Vian berkata dengan tawa kecil, "lo udah berani ngomong kek gitu?"
Aku diam tak berkata sepatah katapun, tak berhenti menatap mereka.
"Liat Sya, ada yang mulai berani nih kayaknya," Ujar Dean terkekeh.
Perasaanku semakin tak nyaman dengan mereka, aku memilih untuk pergi meninggalkan mereka. Namun Fasya menarik bajuku dan melemparnya ke meja, dengan rasa sakit yang ku tahan aku bangun kembali.
"Diem dulu lo disini," Ucap Fasya santai dengan tatapan tajam.
"Apa!?" Tanyaku menatapnya sinis.
"Whoa!! udah berani lo!" Balas Dean sembari mendekati Rasya, namun ditahan oleh Fasya.
"Mundur," Perintah Fasya.
Dean mundur perlahan, sementara Fasya terus mendekati Rasya dengan santai. Saat sedang berhadapan dengan Rasya, Fasya langsung memukul Rasya keras, menendangnya hingga terjatuh lalu pergi begitu saja.
"Udah biarin, pulang. Nanti kumpul di tempat biasa jam tiga," Perintah Fasya sambil berjalan santai keluar dari kelas.
Aku bangun kembali dari lantai, dengan rasa sakit yang ku tahan. Lalu pulang ke rumah dengan amarah yang tak bisa terlampiaskan.
"Owch... Sebenarnya apa maksud mereka memperlakukan diriku sampai seperti ini?" Ringis ku kesakitan bertanya-tanya.
Rasya berjalan tertatih menuju rumahnya, setiap langkah terasa berat. Tubuhnya sakit, namun rasa sakit itu tak sebanding dengan luka batin yang menganga. Di rumah, ia hanya disambut kesunyian dan aroma alkohol yang menyengat dari kamar ayahnya. Ayahnya, seorang pria yang lebih mirip bayangan daripada seorang pelindung. Rasya tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, hanya ada kekerasan dan ketidakpedulian.
Ia menghabiskan sisa hari itu dengan belajar, mencoba melupakan perlakuan kejam teman-temannya. Buku-buku pelajaran seakan menjadi pelarian dari kenyataan pahit yang terus menghantuinya. Namun, fokusnya buyar, bayangan wajah-wajah penuh ejekan dan tinju-tinju yang mendarat di tubuhnya terus menghantui pikirannya.
Tak berselang lama kemudian, terdengar suara teriakan lirih dari kamar ayahnya, "Rasya!!"
Spontan Rasya bangkit segera menemui ayahnya dengan sedikit was-was penuh rasa takut.
"Ada apa?" Tanyaku pada ayah.
"Sini!" Panggil ayahku dengan keadaan setengah mabuk.
Sontak aku langsung duduk di sampingnya dengan pelan, cemas penuh kekhawatiran.
Ayah Rasya terdiam sejenak, perlahan mengambil secarik potongan foto yang ada di sakunya dengan raut wajah sedih.
"Rasya... maafkan ayahmu ini, ayah tidak bermaksud seperti ini selama ini. Ayah terlalu berlarut dengan masalalu ayah dengan ibumu, kali ini... ayah akan memberitahu semuanya. Lewat foto ini," Ucap sang ayah sembari memberikan potongan foto yang sobek.
Aku menerimanya dengan tangan bergetar, bingung dengan sikap ayah yang berbeda hari ini. Setelah melihat foto itu, seketika aku tersentak dengan wajahnya yang mirip dengan Fasya.
"Dia adalah kakakmu, dan orang yang di sampingnya itu adalah ayah. Potongan foto yang satunya lagi, ada ditangan ibumu. Jadi, jika kamu ingin mencari ibumu, carilah kakakmu dia tinggal bersama ibumu," Jelas ayahnya Rasya.
***
Mentari pagi menyinari wajah Rasya yang masih terbenam dalam mimpi buruk. Bayangan tinju dan tendangan Fasya, kakaknya yang tak pernah ia kenal, masih menghantuinya. Dia tak pernah menyangka, anak nakal yang selalu menyiksanya itu adalah saudara kandungnya sendiri. Sebuah rahasia kelam yang terungkap secara tiba-tiba, menghancurkan dunianya.
Di tempat biasa, seperti biasa Fasya mempermainkan Rasya di belakang sekolah bersama kelompoknya. Di tengah asyiknya mereka membully Rasya, sepotong foto terjatuh di saku Rasya, membuat Fasya penasaran dan mengambilnya.
Spontan Fasya terkejut melihat foto itu, "foto ini!? bukankah..." Ucap Fasya terhenti sembari merogoh sakunya dan mengambil potongan lain dari foto milik Rasya.
Fotonya tepat menyatu, membuat Fasya teringat kembali dengan perlakuan ibunya terhadapnya. Pasalnya, Fasya selalu di caci oleh ibunya sendiri karena ketidak mampuan dan ketidak pintarannya, dirinya selalu dibanding-bandingkan dengan orang yang bernama Rasya, oleh ibunya yang percaya kalau anak satunya itu pintar seperti dirinya.
Maka dari itu, ibunya terus mencari keberadaan anaknya yang diasuh oleh mantan suaminya itu, membuatnya terus mencampakan Fasya, bahkan memandangnya sebelah mata.
"Dimana lo dapet foto ini!?" Tanya Fasya kasar.
"Bukan urusan lo!" Balas Rasya dengan nada tinggi.
"Dean, Vian, pegang..." Perintah Fasya.
Dengan sigap, mereka berdua memegang Rasya erat.
Perlahan, Fasya mendekati Rasya dengan santai sambil berkata dalam hatinya, 'ternyata lo bener adek gua, maaf... tapi lo udah ngebuat gua layaknya tak punya rumah.'
Beberapa saat kemudian, sebuah pukulan melayang di wajah Rasya, Fasya memukulnya beberapa kali secara terus menerus karena emosi yang semakin memuncak mengingat masa lalunya.
Fasya tidak ingin ibunya tahu keberadaan Rasya adik kandungnya itu, karena menurutnya kehadirannya akan sangat mengganggu bagi kehidupannya.
Konflik di antara mereka bukan sekadar perundungan biasa. Fasya, yang selalu merasa terabaikan dan dibenci oleh ibunya, melampiaskan semua amarah dan frustrasinya kepada Rasya. Ibu mereka, seorang wanita ambisius yang mendambakan anak yang cerdas dan berprestasi, selalu membanding-bandingkan Fasya dengan Rasya, anak yang diharapkannya dari suami pertamanya. Fasya dianggap bodoh, sama seperti ayahnya, seorang pria yang hanya dianggap sebagai beban.
Sementara Rasya, yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu, menjadi anak yang pendiam dan pemalu. Ketiadaan sosok ibu membuatnya rentan menjadi korban perundungan. Ayahnya, yang sibuk dengan dunianya sendiri, tak mampu memberikan perlindungan dan perhatian yang dibutuhkan Rasya. Dia tumbuh dalam kesendirian, merasa terasing dan tak berdaya.
Semakin hari berlalu, semakin parah Fasya membully Rasya, dirinya tidak ingin ibunya tahu mengenai keberadaan Rasya. Dengan memperlakukan Rasya secara tak wajar setiap hari, terus memberi tekanan berat terhadapnya agar Rasya mengakhiri hidupnya dengan tangannya sendiri. Supaya kelak ketika ibunya tahu, ia tidak akan mengetahui semua perlakuannya terhadap Rasya.
***
Karena ketidak berdayaannya melawan kelompok Fasya, Rasya merasa putus asa, dia ingin mengakhiri hidupnya. Namun, saat berada di ambang kematian, B. Salviana, guru Bimbingan Konseling yang baik hati, menemukannya. Dengan sabar dan penuh empati, Bu Salviana mendengarkan kisah pilu Rasya. Bu Salviana membantunya memahami akar masalahnya, dan memberinya kekuatan untuk melawan. Bu Salviana juga membantu Rasya untuk mengungkapkan kebenaran tentang hubungannya dengan Fasya kepada ayahnya. Bahkan melindungi Rasya dari Fasya dan kelompoknya.
Di sisi lain, Fasya, yang tak mampu lagi mengendalikan amarahnya, memilih untuk terlibat dalam tawuran antar sekolah. Dia mencari pelampiasan, mencoba untuk menghilangkan rasa sakit yang mendalam di hatinya. Namun, aksi brutalnya berujung pada hukuman penjara.
Bertahun-tahun berlalu. Rasya, dengan dukungan ibunya dan Bu Salviana, berhasil bangkit dari keterpurukan. Dia melanjutkan pendidikannya, dan kini menjadi pengusaha sukses, meneruskan bisnis keluarga yang dulunya hanya menjadi sumber konflik. Dia telah memaafkan Fasya, memahami bahwa kakaknya itu juga korban dari sebuah keluarga yang disfungsional.
Sementara Fasya, di balik jeruji besi, berhadapan dengan konsekuensi dari perbuatannya. Dia menyesali tindakannya, menyesali ketidakmampuannya untuk mengendalikan emosi dan memahami keluarganya. Dia menyadari, kekerasan bukanlah jawaban atas segala permasalahan.
TAMAT...