Kucing putih yang tampak kecil dan kotor. Adikku yang paling kecil datang membawa kucing itu ke rumah. Semua orang mengabaikannya kecuali kakak sulung. Ya, si sulung dan si bungsu memang sama-sama pecinta kucing. Tapi dengar-dengar kucing itu di pungut dari selokan, masih bayi, dan masih membutuhkan induknya.
Aku sama sekali tidak memiliki simpati pada kucing itu. Tapi si bungsu dan si sulung sangat berusaha merawatnya. Kadang-kadang aku selalu mengatakan “Lebih baik merawat bayi orang dari pada bayi kucing. Kucing seperti itu hanya akan merepotkan”
Setiap hari aku selalu mengatakan itu saat melihat si bungsu memberinya minum, sama seperti yang aku lakukan hari ini. Bedanya aku tidak hanya melihat dan mengatainya, tapi juga menghampirinya.
“Namanya SUGEN” Kata si bungsu tiba-tiba.
“Hah Sugen?”
“Iya, dia kan minum Susu Energen, jadi panggil dia Sugen!”
Aku mengulum tawa, sedikit aneh dengan nama itu “Nama yang konyol” hardikku pada bayi kucing itu.
***
Hari ini si sulung dan si bungsu menitipkan kucing itu padaku. Aku tidak mengiyakan dan malas untuk mengasihinya. Tapi karena semua orang sedang sibuk, mau tidak mau aku yang harus mengurusnya. Dan itu pertama kali aku menyentuhnya.
“Sugen!” tanpa sadar aku menyebut namanya, mengasihinya dan menoyol nya beberapa kali. Tapi untungnya tidak ada yang melihat dan mendengarku.
Aku memang bukan pecinta kucing, tapi juga tidak membenci kucing. Hanya saja aku memang tidak memiliki emosi pada hewan lucu itu.
Hari-hari telah berlalu, semua orang telah menyayangi kucing itu kecuali aku. Mama pun sangat menyayanginya. Bahkan dalam beberapa hari ini mama yang terus memberinya makan. Dan setiap kali aku melihatnya makan, aku selalu mengatakan “Nggak ada guna dan tahunya makan saja”. Mungkin itu terdengar kejam, tapi aku memang mengatakannya.
Kini kucing itu sudah sedikit lebih besar. Dia sudah bisa melompat dan berlari ke sana-kemari walau belum benar-benar lincah. Tapi sialnya dia terus menggangguku membersihkan rumah. Setiap kali aku mengayun sapu, kucing itu lagi-lagi datang bermain. Dia terus mengejar ijuk sapu dan bergantung di sana. Aku sangat kesal dan selalu menghempasnya. Bahkan semakin hari semakin keras.
Kucing itu selalu membuat aku kesal, apalagi setiap pagi dia selalu datang menyerang kakiku, menginjak perutku dan bahkan membuatku takut. Dia selalu datang mengganggu tidurku yang hanya tersisa beberapa menit lagi.
Aku selalu marah dan mengadu pada mama. Tapi mama malah memberiku nasihat dan lebih memihak pada kucing buluk itu. Bahkan pagi ini juga begitu.
“AKU PUSING MAA! BUANG SAJA KUCING ITU” Ketusku pada mama.
Aku memang sangat kesal saat itu, tapi ada waktu dimana semua orang kesal tapi aku tidak. Kejadiannya baru saja kemarin siang.
Siang itu kucing yang bernama Sugen buluk itu sangat kotor. Jadi kakak sulungku berinisiatif untuk memandikannya. Dia dimandikan dengan penuh perjuangan, bahkan Kakaku sampai terluka dan rela ikut basah. Tapi saat hendak dikeringkan kucing itu dengan laju berlari keluar. Dia berjemur dan berguling bebas di tanah.
Semua orang sangat kesal dan tidak mengizinkannya kembali masuk ke rumah, tapi aku hanya tertawa dan terpingkal.
“Hiduplah dengan bebas Sugen” Ucapku meneriaki kucing itu sambil tertawa.
***
Aku akui seiring berjalannya waktu aku banyak memiliki momen bersama kucing itu. Sore ini aku baru pulang dari sekolah. Wajahku kusam, penuh keringat, dan sangat lemas. Tapi saat aku baru mengucap salam dari luar, tiba-tiba kucing kecil milik adikku itu datang menyambutku. Dia berputar mengelilingi kakiku. Aku yang sedang lelah menyingkirkannya beberapa kali. Tapi dia tetap kekeh berputar di kakiku, Menatapku dan mengaung lembut. Jujur saja aku tiba-tiba tersentuh.
Aku mengangkat dan menatap kucing itu. Tapi bukannya bersikap drama dia malah bertingkah sadis. Dia menggigit tanganku, untungnya tidak sampai berdarah.
“Dasar kucing aneh” hardik ku yang kembali kesal padanya.
Sudah biasa. Kesal, marah, tertawa, semua sudah aku lakukan. Tingkah konyol dan lincahnya membuat aku dan semua orang rumah banyak tertawa. Tapi walau pun begitu aku juga sering berteriak karena kucing Buntet itu. Aku bahkan pernah malas memberinya makan, dan terkadang membiarkannya kelaparan. Padahal aku tahu dia terus memeriksa piring makanannya karena sangat lapar.
Sejak bayi sampai sekarang dia masih selalu mengecap telapak tangannya. Persis seperti bayi manusia. Aku selalu melihatnya diam-diam, bahkan tidak jarang aku selalu memotretnya dengan alasan dia unik.
Kucing itu sangat aktif, dia bahkan bisa berdiri dan bisa melompat tinggi. Karena itu aku selalu mengatainya songong. Tapi yang lebih hebatnya lagi dia mengenal dirinya. Setiap kali kami berteriak memanggilnya Sugen, dia selalu menoleh dan berlari ke arah suara itu. Ajaib kan?
***
Enam bulan telah berlalu, kini kucing itu sudah terlihat lebih besar. Setiap subuh dia selalu bangun dan menemani siapa pun yang mempunyai aktivitas diluar Rumah. Dan Kali ini dia menemani kakak sulung. Orang yang paling banyak mengurusnya.
Kucing itu bermain disekitaran rumah, Sepintas kakak sulung tiba-tiba mendengar suara kucing yang menjerit keras. Tapi dia tidak begitu peduli dan membiarkan itu terjadi beberapa kali. Tapi saat menoleh dia langsung sadar dan berteriak.
“Sugen..!”
Entah darimana anjing sialan tiba-tiba datang menyerangnya. Dia diterkam habis-habisan sampai terpental jauh.
Kucing putih yang baru mulai besar itu terkulai lemah, kotorannya bersimbah dimana-mana, Paha dan bagian anusnya Juga terluka parah, tapi yang lebih parah lagi usus mungilnya hampir keluar.
Pagi itu semua orang tampak sedih. Tapi si bungsu menangis parah, dia terus menangis dan tidak mau ke sekolah. Tangannya terus mengelus kucing itu, seakan-akan memberikan kekuatan agar hewan lucu itu tetap bertahan.
Aku ikut sedih melihat kucing itu, Dia tampak kesakitan dan matanya terus berair, persis seperti orang menangis. Wajahnya juga terlihat pasrah, ingin hidup tapi terlalu sakit.
Aku mencoba meyakinkan diri bahwa kucing itu akan tetap hidup. Tapi dia tidak bertahan. Dia memilih pergi dari pada menahan sakit.
Adikku menangis keras, dia tidak terima kucingnya mati. Sama seperti Kakak sulung. Dia juga menangis.
Aku terdiam beberapa saat, mencoba tahan untuk tidak menangis seperti mereka. Tapi nyatanya aku juga lemah. Ini pertama kalinya aku merasa kehilangan. Aku menunduk, menangis, dan bahkan sampai sesenggukan. Hari itu aku baru menyadari bahwa aku menyayangi kucing itu. Kucing malang yang sangat lucu. Aku benar-benar merasa kehilangan dan bahkan meratapinya berhari-hari.
The End
🐈🤍🌻
~Setiap momen adalah kesempatan~
Please jangan lupa tinggalkan jejak yaa🤩🤩
Satu Komen kalian sangat berarti bagiku🌟🤍