Saya masih ingat hari itu. Tanggal dan musimnya telah lama larut—seperti kabut yang perlahan-lahan lenyap di balik cahaya pagi—namun wajah mereka tetap tinggal, tak pernah hilang dari ingatan. Kami bertiga: saya, Eleanor Graves, dan Jonathan Whitmore. Tiga garis tak sejajar yang entah bagaimana bertemu di satu simpang waktu.
Pagi itu kami menunggu penerbangan ke sebuah wilayah terpencil di Indonesia. Kami tiba terlalu awal, dan mungkin itu satu-satunya keputusan yang tak pernah kami sesali. Waktu, di ruang tunggu bandara itu, seakan diberi tahu untuk melambat. Ia tunduk kepada kami, memberi jeda—sebuah ruang hening yang anehnya terasa akrab.
Kami duduk di food court. Di atas meja, makanan yang sudah kehilangan hangatnya. Di balik dinding kaca, dunia tampak seperti permukaan mimpi yang belum selesai—kelabu, berat, menggantung antara hujan dan harapan.
Jo menatap saya. Ada kerutan halus di dahinya—kerutan yang saya tahu sebagai pertanda bahwa ia sedang mempertimbangkan sesuatu. Ia jarang bicara sebelum pikirannya selesai menimbang segala kemungkinan.
“Apa sebenarnya tujuanmu mengajak kami ke sini?” suaranya akhirnya memecah sunyi. Tenang, seperti seorang hakim yang siap mendengar, bukan menghakimi.
Saya ingin bercanda, ingin mengalihkan perhatian, tapi hari itu bukan hari untuk lelucon. “Aku ingin bertemu sahabat pena,” jawab saya. Sesederhana itu. “Kami sudah lama saling berkirim surat. Dia mengundangku ke Jakarta. Katanya, ingin menunjukkan kota itu padaku.”
Jo tidak tersenyum. Ia mengangkat satu alis—gerak kecil yang membawa ribuan pertanyaan. “Sahabat pena? Seperti zaman 90-an.”
Eleanor hanya tersenyum, seperti biasa. Ia tak pernah membalas sindiran dengan sindiran. Di tangannya, segelas kopi kertas setengah penuh, masih mengepul tipis. “Itu sesuatu yang indah, sebenarnya,” ucapnya pelan. “Di zaman yang serba cepat dan bising seperti sekarang, masih ada orang yang memilih untuk menulis dan menunggu. Itu sendiri sudah luar biasa.”
Saya mengangguk. “Dia berbeda. Surat-suratnya… tak pernah kosong. Cerita kecil—tentang hujan yang turun perlahan di Jakarta, aroma tanah setelah badai, atau lampu jalan yang tampak sedih saat malam terlalu panjang. Cara dia menulis… seperti membangkitkan sesuatu dalam diriku.”
Jo berpaling ke luar jendela. Saya tahu ia belum puas, tapi ia tahu kapan harus berhenti bertanya. “Semoga dia benar-benar ada. Bukan cuma ciptaan nostalgia atau imajinasi yang terlalu pandai menipu.”
Dan tiba-tiba, saya terseret ke masa lalu. Bukan hanya oleh kata-katanya, tapi oleh kehadiran mereka berdua. Karena saya tahu—perjalanan ini bukan semata untuk bertemu seseorang yang belum pernah saya temui. Ini tentang mengingat kembali siapa saya dahulu, bersama mereka.
Kami tidak langsung menjadi sahabat. Saya dan Jo, awalnya, lebih sering bertarung ego daripada bertukar cerita. Kampus menjadi arena kecil tempat dua dunia berselisih tanpa kompromi.
Lalu datang Eleanor. Ia bukan penengah, bukan pula pendamai. Ia hanya hadir. Kehadirannya seperti benang halus yang mengikat dua kutub, bukan untuk menyatukan, melainkan sekadar memastikan kami tidak tercerai sepenuhnya.
Ia memperkenalkan kami pada hal-hal yang tak kami tahu kami butuhkan—kopi hitam tanpa gula, puisi Sapardi yang mengalir seperti doa, dan diam yang bukan kekosongan, melainkan ruang untuk mendengar.
Saya masih ingat malam itu—malam hujan di teras kampus. Saya basah kuyup, menggigil, dan Jo, tanpa sepatah kata, membuka jaketnya dan menyampirkannya ke bahu saya. Eleanor hanya tertawa kecil. “Tanda-tanda awal damai dunia,” katanya. Dan anehnya, saya percaya.
Kami menjadi trio yang aneh itu. Seorang skeptis yang tak percaya dunia, seorang pemimpi yang tak percaya pada dirinya sendiri, dan Eleanor—titik seimbang di antara kami.
Dan mungkin, itu alasan sebenarnya saya mengajak mereka ke sini.
Bukan karena takut sendiri.
Tapi karena dalam perjalanan ini, ada sesuatu yang saya cari—bukan pada orang yang akan saya temui, tapi pada diri yang pernah ada ketika kami masih bertiga.
Saya merindukan versi itu.
Mungkin lebih dari saya merindukan dia.
---
Jo menyuap saladnya perlahan, pandangannya tak lepas dari Eleanor.
“Aku sebenarnya penasaran, kenapa kamu mau ikut, Ele? Bukankah kamu nggak suka ke sana?”
Eleanor mengangkat bahu. “Kan aku sudah bilang, aku nggak suka nama itu.”
Jo tertawa kecil. “Hei. Nggak apa-apa, kan? Aku nggak marah kalian panggil aku Jo.”
Eleanor mengangguk. “Iya. Aku memang nggak suka ke Indonesia. Terlalu panas. Terakhir kali ke sana, aku malah sakit perut.”
Jo mencibir. “Kamu makan apa?”
“Rendang. Katanya enak. Jadi, aku pesan saja.”
Saya menoleh. Mereka berdua tertawa kecil. Suara mereka bagai gema dari masa silam. Untuk sesaat, segalanya terasa seperti dulu.
“Cepatlah,” kata saya, “habiskan salad itu.”
Singkatnya, kami sudah berada di dalam pesawat.
Awan di luar jendela meluncur perlahan, seperti lembaran kabut yang mencoba menyembunyikan apa pun yang menanti di bawah sana. Langit tidak benar-benar cerah, tapi cahaya pagi menyelusup dengan lembut, cukup untuk mengingatkan kami bahwa dunia tetap berjalan, meski hati kami tertinggal di belakang.
Jo duduk di sebelah saya, earbud terpasang di telinganya, tapi saya tahu ia tidak benar-benar mendengarkan musik. Matanya tertuju pada sesuatu yang hanya dia lihat—mungkin masa depan yang masih kabur, atau kenangan yang belum selesai.
Eleanor duduk di seberang lorong. Ia sudah tidur, atau berpura-pura tidur. Wajahnya tenang, tapi tangan kirinya masih menggenggam buku kecil yang belum sempat dibuka sejak kami lepas landas.
Saya memandangi mereka dalam diam, dan tiba-tiba menyadari sesuatu yang menyentak dada: mereka percaya pada saya. Tanpa syarat, tanpa banyak tanya. Meski dengan segala skeptisisme Jo, atau keluhan Eleanor tentang cuaca dan makanan pedas—mereka tetap naik pesawat ini. Bersama saya. Menuju tempat yang saya sendiri tak tahu akan membawa kami ke mana.
Perjalanan ini bukan tentang tujuan.
Ini tentang ruang yang tercipta antara keberangkatan dan kedatangan. Tentang apa yang muncul dari diam panjang, dari senyum kecil, dari tangan yang singgah di lengan saat turbulensi mengguncang sayap. Tentang rasa yang tak tertulis dalam tiket pesawat atau peta wisata.
Saya tidak tahu apa yang akan kami temui di sana.
Sahabat pena itu—jika memang dia ada—mungkin tidak seperti yang saya bayangkan.
Atau mungkin, sayalah yang bukan lagi seperti diri yang dulu menulis surat padanya.
Tapi kini, saat sayap besi ini menembus lapisan udara dan membawa kami melintasi lautan, saya tahu satu hal: saya tidak sendirian.
Dan itu, untuk saat ini, sudah lebih dari cukup.
Aku menutup mata rapat-rapat. Sehingga beberapa minit yang hening kemudian, aku mendengar suara jeritan dan tangisan yang memecahkan keheningan dan mata aku terbuka, masih setengah kabur.
Dan itu, untuk saat ini, sudah lebih dari cukup.
Aku menutup mata rapat-rapat, mencoba menyerahkan diri pada ketenangan yang rapuh—di antara deru mesin dan degup jantung yang perlahan melambat. Di luar sana, langit mungkin masih bergolak. Tapi di dalam diriku, semuanya mulai reda.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan.
Lalu, tiba-tiba—
suara jeritan.
Disusul tangisan.
Pecah, seperti gelas jatuh dari meja, menghantam lantai kesadaran yang baru saja tenang.
Mataku terbuka. Kabur. Dunia seakan perlu waktu untuk kembali tajam.
Lampu kabin masih menyala, namun suasananya tak lagi tenang. Udara terasa berat—gerakan tubuh tergesa, suara pramugari yang tertelan oleh hiruk-pikuk yang belum jelas arahnya.
Aku menoleh. Jo telah melepas earbud-nya, wajahnya menegang. Eleanor juga terjaga, matanya membelalak, mencengkeram buku kecil itu seperti sesuatu yang bisa menyelamatkannya.
"Ada apa?" tanyaku pelan, nyaris tak terdengar.
Belum sempat terjawab, suara kapten menggema dari pengeras suara. Tergesa, namun berusaha terdengar tenang:
"Mohon tetap tenang. Kami mengalami sedikit gangguan teknis. Awak kabin akan membantu kalian. Kami akan segera melakukan pendaratan darurat."
Namun jantungku justru berontak. Berdegup cepat, seperti ingin melarikan diri dari sangkarnya.
Aku mencari Jo—ia sudah berdiri. Sabuk pengaman tergantung di sisinya. Ia memandangi lorong pesawat.
"Jangan!" seruku.
Namun ia hanya mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa ia masih waras. Hanya ingin tahu.
Eleanor tak berkata sepatah pun. Ia memandangku dalam diam. Dan untuk pertama kalinya sejak pagi, aku melihat ketakutan itu—bukan kepanikan, tapi sesuatu yang lebih senyap dan dalam. Seperti pertanyaan yang tak sempat terucap:
Kenapa kita ke sini?
Dan entah kenapa, aku pun ikut bertanya hal yang sama.
Dan pesawat ini... aku melihatnya menghantam sebuah gunung bersalju.
---
Setelah itu, aku terbangun.
Putih.
Hanya putih.
Hamparan salju membentang sejauh mata memandang.
Di mana kami?
Bagaimana kami bisa sampai di sini?
Jonathan... Eleanor...
Di mana kalian?
Jangan tinggalkan aku sendiri...
Lalu aku melihatnya—seorang pramugari. Berdiri tak jauh dariku. Wajahnya pucat, pandangannya kosong. Tubuhnya gemetar, napasnya berat.
"Bisakah... kamu... membantuku?"
ujarnya lirih, nyaris patah.
Pramugari itu menunduk. Matanya berkaca, namun tidak ada air mata yang jatuh. Ia terlihat terputus dari dirinya sendiri—seperti tubuhnya ada di sini, tetapi jiwanya entah ada di mana, di tempat yang tak bisa dijangkau oleh siapa pun.
Tangan kirinya tergantung lemas. Jemarinya membiru—mungkin beku, mungkin patah. Tapi ia tetap berdiri, seakan kewajiban lebih kuat dari rasa sakit yang menahan tubuhnya.
“Aku… baik-baik saja,” ulangnya, kali ini lebih pelan, seolah kalimat itu adalah mantra yang ia hafalkan untuk bertahan hidup.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanyaku lagi, dengan suara yang lebih lembut, hati-hati.
Sebelum ia sempat menjawab, sebuah suara yang tak asing menyela.
“Pilot salah mengambil jalan dan tak sengaja melewati pergunungan bersalji.”
Aku menoleh. Eleanor berdiri di sana, merangkul Jo yang terlihat lelah—atau terluka, sulit untuk memastikan. Pakaian mereka lusuh, sebagian robek, ada noda darah yang belum kering di lengan Jo. Namun mereka berdiri, hidup.
Dan untuk sesaat, hatiku ingin percaya itu sudah cukup.
Namun… ada sesuatu yang terasa janggal.
Eleanor berbicara terlalu tenang. Terlalu sempurna. Tatapannya kosong, senyumnya tak sampai ke mata.
“Eleanor… bagaimana kamu tahu itu?”
Ia menatapku, lama sekali. Seolah menimbang apakah aku pantas tahu lebih jauh.
“Kamu tahu,” katanya pelan, “kadang kita tidak benar-benar tahu apakah kita masih hidup atau sudah mati—sampai semuanya terlambat.”
Dan tiba-tiba, udara terasa jauh lebih dingin.
“Eleanor… cari sesuatu untuk hangatkan diri,” kataku dengan nada mendesak.
Dia mengangguk pelan, lalu berbalik.
“Bagaimana dengan kamu? Berapa banyak yang selamat dari kecelakaan ini?” tanyanya, suara yang kini mulai terasa asing.
“Korban? Aku… jumlah penumpang sekitar tiga puluh tujuh orang…”
“Aku tanya, jumlah yang selamat!” potong Eleanor, suaranya tiba-tiba tajam.
Eleanor terdiam. Pandangannya jatuh ke tanah bersalju, seperti mencari jawaban di sana—atau mungkin sedang berusaha menyembunyikan sesuatu yang tak sanggup ia katakan. Jo memejamkan matanya, napasnya pendek. Keheningan mengisi ruang di antara kami.
“Aku tanya, jumlah yang selamat!” ulangku, suaraku kini sedikit gemetar.
Eleanor mengangkat wajahnya perlahan. Sorot matanya tak lagi kosong, namun penuh kesedihan. Seperti seseorang yang tahu sesuatu yang tak bisa ia katakan, namun terlalu manusiawi untuk terus menyembunyikannya.
“Tiga,” jawabnya, lirih.
Aku terdiam. Rasanya seperti mendengar salju itu sendiri berhenti jatuh.
“Tiga?” ulangku, hampir berbisik.
Eleanor mengangguk. “Kamu. Aku. Dan Jo.”
Aku menoleh ke arah pramugari yang masih berdiri di sana, tak jauh dari kami, memegangi lengannya yang gemetar.
“Lalu… dia?” tanyaku, suara serak.
Eleanor tidak menjawab.
Aku melangkah pelan mendekati sang pramugari. Napasnya masih ada, uapnya tampak di udara dingin. Tapi wajahnya… tetap kosong. Seperti ia tidak lagi benar-benar di sini.
“Apa kau selamat dari kecelakaan itu?” tanyaku, perlahan.
Ia menatapku, lama. Lalu tersenyum tipis, senyuman yang tak sampai ke mata—persis seperti Eleanor tadi.
“Kadang… kita tidak sadar bahwa kita tertinggal,” katanya dengan suara gemetar. “Tubuh bisa selamat. Tapi bukan semuanya kembali.”
“Bagaimana kau tak menyedari itu?” tanyaku, gemetar.
“Itu?” jawab Eleanor, dengan nada yang lebih rendah.
“Pramugari ini tidak akan selamat dengan cuaca yang ekstrem seperti ini… dan lihat ke kanan kamu.”
Aku menoleh ke kanan, dan tiba-tiba perutku terasa mual. Pemandangan yang kulihat jauh lebih mengerikan dari yang bisa kubayangkan.
Aku melihat tubuh-tubuh tak bernyawa terhampar di salju, penumpang yang seharusnya duduk bersama kami, kini tergeletak tanpa nyawa. Wajah mereka... banyak yang tak dapat dikenali. Tubuh mereka terpotong, remuk, seakan dunia ini telah menghukum mereka dengan cara yang sangat kejam.
Aku terhuyung mundur, tubuhku terasa berat, hampir ingin roboh. Di tengah salju yang mendingin, rasanya seolah dunia ini sudah mati, hanya kami bertiga yang tersisa untuk merasakannya.
Akhirnya, setelah tiga puluh hari berlalu, aku, Jonathan, dan Eleanor berhasil bertahan hidup, meskipun setiap hari kami dipenuhi dengan ketakutan dan rasa cemas.