Terkadang Tuhan menguji manusia dengan adanya cinta beda agama, hanya untuk memastikan apakah manusia lebih mencintai penciptanya atau ciptaannya.
Itulah yang sedang aku rasakan. Mencintai seseorang yang ternyata tidak bisa kita gapai.
Perbedaan menjadikan kami harus terpisah.
Namaku Alvino Devandra biasa dipanggil Vino. Usiaku 23 tahun.
Pertama kali aku melihatnya, saat tanpa sengaja berpapasan di kampus. Dia gadis cantik nan manis, iris mata nya hitam dengan bulu mata lentik. Wajahnya yang tertutupi cadar, menambah kecantikan nya.
Meskipun terhalang, namun aku bisa merasakan betapa lembut dan indah dirinya hanya dari tatapan matanya yang menyejukkan dan menenangkan.
Entah mengapa, aku sampai bisa menyukai dirinya. Padahal melihat wajahnya saja aku tidak bisa. Namun hati ini seakan menginginkan nya.
Mencoba melupakan, namun terus terbayang. Menghantui pikiran.
Dan untuk kedua kalinya, aku kembali melihat dia. Melihat wajah bercadarnya, yang ketika tersenyum, matanya pun ikut tersenyum.
Aku memberanikan diri, ingin menghampiri nya yang sedang duduk bersama temannya di taman.
Namun, langkah ini terasa berat, seakan membawa beban yang sangat berat. Mataku terpaku, seakan sulit untuk berpindah.
"Woy, Vin, lo mau kemana?" Seru Daniel. Diikuti teman yang lain.
"Enggak, tadi nya gue mau pulang. Eh, kalian malah dateng." Kata Vino gugup.
"Lo itu gak pandai bohong, Vin! Jujur aja deh, lagian gue juga udah tahu." Ujar Mario. Teman yang lain nya hanya menganggukan kepala.
"Tau apa, gue gak bohong kok!" Sargahnya.
"Alah.. tinggal bilang apa susahnya. Entar kita bantuin deh." Timpal Daniel.
"Lagi pada ngomongin apaan sih?" Tanya Stella bingung.
"Iya, nih. Kasih tau dong." Seru Violetta.
Vino hanya diam mendengar ocehan teman-temannya. Meski tanpa bilang, mereka pasti akan tahu dengan sendirinya.
Mereka sudah berteman sejak lama, sedari kecil tidak pernah terpisah. Entah bagaimana, mereka bisa senyaman itu terus bersama-sama.
Padahal, biasanya kita punya keinginan tersendiri untuk sesuatu hal. Yang pasti tidak akan membawa orang lain pada keinginan kita.
"Tuh, si Vino. Dia naksir cewek yang waktu itu papasan di kampus." Ucap Mario. Mendengar itu, Vino merasa malu. Karena ini pertama kalinya dia suka sama lawan jenis.
"Yang mana?" Tanya Stella penasaran, dibarengin anggukan kepala Vio.
"Tuh...!" Tunjuk Mario kearah taman sebelah.
Kompak mereka menengok ke arah yang yang di tunjuk Mario, ternyata disana ada dua gadis yang sedang duduk sambil berbicara.
"Yang mana?" Tanya Vio.
"Itu, yang pakai penutup wajah." Jawab Mario.
"Itukan, Shifa. Temen satu jurusan gue di kampus." Kata Stella.
Mereka kompak melotot, mendengar ucapan Stella. Karena selama ini, mereka tidak tahu tentang teman sejurusan Stella.
"Iya, namanya Shifa. Dia anak yang baik dan humble. Gue juga sering ngobrol sama dia, asyik juga tuh orangnya kalau udah kenal." Jelasnya.
"Lo punya nomor telepon nya gak?" Tanya Vino antusias.
"Yee... Giliran nomor nya aja paling cepet." Seru Daniel.
"Ada, sih. Cuman gue gak berani kasih sembarangan. Takutnya, dia marah kalau tau gue kasih ke sembarang cowok."
"Besok coba lo bilang, siapa tahu dia izinin." Ujarnya sambil tertawa kecil.
"Tapi, saran gue. Mending lo buang jauh-jauh deh perasaan lo itu!" Kata Daniel mengingatkan.
"Iya, kalian itu berbeda. Tuhan kalian juga beda. Takutnya, nanti lo semakin patah hati. Lebih baik sekarang daripada nanti." Vio menambahkan.
Vino yang tadinya antusias, mendadak diam. Hatinya berontak, namun pikiran nya menolak. Benar kata teman nya. Mereka memang berbeda.
Antara Adzan yang berkumandang dan lonceng yang berdentang.
Antara kiblat yang menemukan arahnya pulang dan salib yang membuatku tenang.
Antara tasbih dan kalung Rosario.
Kita memang boleh mencintai nya. Tapi jangan ambil dia dari Tuhan-Nya.