Begitu gue buka mata, pemandangan pertama yang gue lihat adalah altar darah dan cincin api. Dunia kedua ini bukan dunia kerajaan kalem macam sebelumnya. Ini dunia kultus dan penyihir — tempat orang jadi dewa lewat pembantaian.
Sistem langsung muncul, gemetar. Karma-chan, masih dalam bentuk bola cahaya pink, sekarang pakai topi kecil bertuliskan "Minta Maaf".
> [Selamat datang di Dunia Kultus Apokaliptik, Kak Gatra. Targetmu adalah—]
“Wakubumi Yadipaku,” gue potong. “Gue udah baca briefing-nya sebelum lompat. Pendeta suci terakhir yang masih bertahan hidup. Simbol moral dan kebajikan. Gue harus bikin dia hancur... dan cinta.”
> [Tapi Kak Gatra... Wakubumi itu penyembuh! Dia polos! Dia bisa melihat aura dosa!]
“Bagus. Biar dia tahu sejak awal kalau yang dia liat ini murni neraka.”
---
BAB 6: Malaikat yang Gue Tundukkan dengan Racun
Gue menyusup sebagai murid baru di kuil suci tempat Yadipaku tinggal. Rambut panjang, muka bersih, senyum munafik — gue tampil seolah-olah penebus yang datang dari reruntuhan.
Wakubumi Yadipaku muncul di hari kelima pelatihan. Mukanya tenang, matanya jernih kayak telaga. Bajunya putih, dan aura moralnya nyaris bikin gue muntah.
"Siapa namamu, saudara?" tanyanya, dengan suara selembut hujan.
“Nama gue... Kurara.” Gue gak perlu pakai gelar. Yang penting, gue tahu target gue.
Sejak hari itu, gue pelajari rutinitasnya. Jam berdoa. Jam menyendiri. Jam dia ngelatih murid-murid kecil yang nyembuhin luka. Gue nonton semua, dan gue mulai masukin racun lambat.
Bukan di makanan. Tapi di pikirannya.
Gue cerita soal murid yang dilecehkan sesama penyembuh.
Gue ngarang surat dari pemimpin kultus yang katanya pernah diselamatkan Wakubumi... lalu dibunuh.
Gue bikin dia mikir, apa artinya moral kalau semua orang akhirnya pakai itu buat topeng?
---
BAB 7: Doa Terakhir Sebelum Gue Telanjangin Hatinya
Minggu keempat, Wakubumi mulai meragukan segalanya. Dia gak berdoa sepenuh hati lagi. Tangan gemetaran waktu menyembuhkan.
Sampai suatu malam, dia datang ke kamar gue. Mukanya basah air mata.
"Aku... aku merasa ada yang rusak dalam diriku, Kurara."
Gue duduk tenang, buka kemeja pelan-pelan. "Lo tahu kenapa? Karena moral itu penyakit, Bumi."
Dia kaget. "Kenapa kau memanggilku begitu?"
“Karena lo gak pantes dipanggil suci,” bisik gue. “Lo cuma manusia. Sama kayak gue. Sama-sama najis.”
Dan malam itu, moral terakhir Wakubumi Yadipaku rontok.
Gue gak perlu sentuhan. Cukup kata. Cukup tatapan. Cukup bisikan di telinga pas dia paling lemah.
> [KAK GATRA, ITU... ITU PELECEHAN EMOSIONAL SPIRITUAL TINGKAT DEWA!]
[LO GAK PUNYA HATI?!]
Gue nyengir. “Salah, Karma-chan. Gue punya hati. Cuma gue simpen di toples kaca dan kasih label: ‘Jangan Dipakai’.”
---
BAB 8: Wakubumi Jatuh, Dunia Ikut Roboh
Wakubumi sekarang tidur di lantai, ketakutan sama bayangan sendiri. Dia mulai mimpi buruk. Mulai ngomong sendiri. Mulai... tergantung sama suara gue buat tenang.
Gue jadi satu-satunya sumber stabil di hidupnya.
Dan pelan-pelan, dia jatuh cinta.
Sialnya?
Dia tahu gue bajingan. Tapi dia gak bisa berhenti cinta.
“Bahkan neraka terasa lebih hangat saat kamu ada,” katanya sambil nyender ke dada gue.
> [999999999 Karma Point terkumpul.]
[Dunia Kultus Apokaliptik dalam status kehancuran.]
[Kak Gatra, lo gak boleh... lo gak boleh terus kayak gini...]
“Gue gak bakal berhenti,” jawab gue dingin.
“Karena gue belum jadi bajingan sepenuhnya... sebelum lo juga cinta sama gue, Karma-chan.”