Di sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah seorang wanita tua bernama Bu Ranti. Rambutnya putih seutuh salju, wajahnya keriput oleh waktu, dan lututnya sering bergetar kala berjalan. Meski demikian, ia menyimpan kenangan masa muda yang indah terutama tentang cinta yang tak pernah sempat ia miliki.
Suatu sore, saat pulang dari pasar, Bu Ranti bertemu dengan seorang peramal yang baru membuka tenda di pinggir jalan. Peramal itu memandangnya tajam dan berkata, “Aku tahu hatimu yang masih muda meski ragamu tua. Kau rindu untuk dicintai, bukan?”
Bu Ranti tersentak. Ia hendak pergi, tapi peramal itu menyodorkan sebuah cincin perak kecil berhias batu zamrud hijau. “Kenakan ini malam ini, dan lihatlah apa yang terjadi esok hari. Tapi ingat, cinta sejati tidak melihat umur.”
Dengan ragu, Bu Ranti membawa pulang cincin itu. Malam itu, ia memakainya sambil tersenyum getir. “Tak ada salahnya bermimpi sebentar,” gumamnya.
Pagi harinya, ia terbangun dan mendapati wajahnya di cermin kulitnya kencang, rambutnya hitam legam, tubuhnya tegap. Ia muda kembali! Umurnya kembali ke dua puluh lima tahun.
Kehidupan pun berubah drastis. Bu Ranti yang kini memperkenalkan diri sebagai Rania pindah ke kota besar untuk memulai hidup baru. Dalam sebuah acara gala amal, ia bertemu dengan Damar, seorang CEO muda dan tampan yang sukses tapi dingin. Namun ada sesuatu dalam diri Rania yang menarik perhatiannya kelembutan mata, cara bicara, dan aura kedewasaan yang tidak dimiliki wanita muda lainnya.
Mereka semakin dekat. Damar pun jatuh cinta, tak hanya pada wajah Rania, tapi pada jiwanya yang bijak dan menenangkan. Namun di balik senyum manis itu, Rania menyimpan rahasia. Cincin itu berkilau tiap malam, seolah mengingatkan: keajaiban ini takkan abadi.
Saat Damar melamar Rania, ia ragu. Haruskah ia jujur? Haruskah ia melepaskan cincin dan kembali menjadi dirinya yang sebenarnya?
Malam sebelum pernikahan, Rania berdiri di depan cermin, memegang cincin itu. Ia tahu, cinta sejati bukan soal usia atau raga tapi keberanian untuk menjadi diri sendiri.
Esok paginya, Damar terkejut. Di taman tempat mereka biasa bertemu, berdiri seorang wanita tua dengan mata yang sama mata Rania.
“Aku bukan wanita muda seperti yang kau kenal,” katanya lirih. “Tapi perasaanku padamu nyata.”
Damar menatapnya lama. Kemudian ia tersenyum dan menggenggam tangannya. “Cinta sejati memang tidak melihat umur. Dan aku jatuh cinta pada siapa dirimu sebenarnya.”
Tamat